JAKARTA, KOMPASPerdana Menteri Belanda Mark Rutte mengatakan, kerja sama regional menjadi cara untuk menghadapi unilateralisme yang dimainkan oleh negara adidaya. Bahkan, kerja sama regional antarblok kawasan akan memiliki dampak yang besar dalam menjaga tatanan politik global.
Hal itu disampaikan PM Rutte di hadapan berbagai kalangan yang mayoritas anak muda dalam acara Foreign Policy Community of Indonesia di Jakarta, Senin (7/10/2019). Menurut Rutte, tatanan kerja sama global kini berada di bawah tekanan unilateralisme yang dimainkan oleh negara adidaya.
Misalnya, Amerika Serikat yang menerapkan sanksi ekonomi terhadap sejumlah negara dan China yang terus melebarkan pengaruhnya di berbagai kawasan, termasuk Asia Pasifik. Bagi negara seperti Indonesia dan Belanda, fenomena itu menimbulkan risiko sekaligus tantangan. ”Kita perlu mengerahkan semua energi pada kerja sama dan tatanan global yang berbasis aturan,” ujar Rutte.
Bagi Belanda, itu artinya kerja sama Eropa saat ini menjadi penting dibandingkan sebelumnya. Menurut Rutte, Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama, yaitu arena internasional yang berubah dan tekanan terhadap multilateralisme. Meskipun situasi Indonesia sedikit berbeda dengan Belanda, cara merespons tantangan ini sama.
Melalui ASEAN, Indonesia juga mendorong kerja sama regional. ”Indo-Pacific Outlook” ASEAN yang muncul atas inisiatif Indonesia adalah contoh yang baik. Ini menunjukkan ambisi kawasan yang mendorong koordinasi dan kerja sama serta mengurangi ketidakpercayaan.
Menurut Rutte, itu adalah pilihan yang tepat karena dengan berdiri berdampingan di tingkat regional, Indonesia dan Belanda dapat benar-benar bersuara di tingkat global. ASEAN adalah buktinya, begitu juga dengan Uni Eropa (UE). ”Terlebih lagi, saya yakin bahwa peran Uni Eropa dan ASEAN dapat diperbesar jika kita, sebagai blok regional, saling menjangkau satu sama lain,” ujar Rutte.
Kelapa sawit
Sebelum menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar FPCI, PM Rutte menggelar pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan itu salah satu isu yang dibahas adalah diskriminasi produk kelapa sawit oleh UE. Sebagai mitra lama, Indonesia menginginkan Belanda melakukan kerja sama perdagangan secara terbuka dan adil.
”Di bidang perdagangan, kami sepakat untuk terus meningkatkan perdagangan yang terbuka dan fair. Dalam konteks ini, saya sampaikan kembali concern Indonesia untuk kebijakan Uni Eropa terhadap kelapa sawit,” kata Presiden Jokowi dalam pernyataan bersama dengan PM Rutte seusai pertemuan bilateral.
Seperti diketahui, parlemen UE mengeluarkan kebijakan diskriminatif bagi produk kelapa sawit. Diskriminasi ditunjukkan melalui keputusan Komisi Eropa mengadopsi aturan pelaksanaan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dokumen RED II, antara lain, berisi tidak direkomendasikannya minyak sawit mentah sebagai bahan bakar nabati di wilayah UE.
PM Rutte menganggap isu minyak kelapa sawit sebagai permasalahan yang relatif kompleks. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda adalah membantu memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit. Pemerintah Belanda akan membantu peningkatan kapasitas para petani sawit kecil demi terwujudnya industri sawit lestari. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, nota kesepahaman kerja sama pengembangan kapasitas para petani sawit skala kecil sudah diteken di New York, beberapa waktu lalu. (ADH/NTA)