JAKARTA, KOMPAS - Materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dijadikan bahan komparasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa uji materi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Sebab, kedua undang-undang itu memberikan penjelasan yang berbeda mengenai pendirian partai politik lokal.
Hal itu dilakukan menyusul adanya permohonan uji materi UU Otsus Papua yang diajukan oleh Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa. Keduanya adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Papua Bersatu yang didirikan pada 2014.
Dalam sidang uji materi kedua dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR, Senin (7/10/2019), Jakarta, kedua pemohon dan penasihat hukum mereka hadir di Gedung MK, Jakarta. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dalam sidang tersebut, perwakilan DPR tidak hadir karena alat kelengkapan Dewan yang mewakili DPR dalam bidang hukum belum terbentuk. Adapun pemerintah diwakili oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Ergani Ahmad.
Dalam persidangan sebelumnya, kedua pemohon mempersoalkan Pasal 28 Ayat (1) UU Otsus Papua, yang berbunyi, ”Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik”. Frasa ”partai politik” (parpol) dalam pasal tersebut dinilai menghalangi hak konstitusional warga Papua mendirikan partai politik lokal atau partai yang mencakup wilayah Papua saja. Sebab, pasal itu tidak secara jelas menerangkan partai politik itu bersifat lokal. Kondisi itu membuat pemohon uji materi tidak dapat menyertakan Partai Papua Bersatu dalam pemilu legislatif ataupun pilkada.
Keduanya telah mengajukan ke Komisi Pemilihan Umum agar menyertakan Partai Papua Bersatu dalam Pemilu 2019.
Tafsir ulang
Namun, menurut KPU, pendirian parpol lokal di Papua tidak bisa dilakukan karena UU Otsus tidak secara spesifik menyebutkannya. Oleh karena itu, pemohon meminta MK menafsirkan ulang frasa ”partai politik” dalam undang-undang itu sebagai parpol lokal di Papua.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Ergani Ahmad menilai sebaliknya. Hak konstitusional pemohon tidak dirugikan oleh pasal tersebut. Sekalipun tidak ada penjelasan mengenai parpol lokal dalam UU Otsus itu, warga Papua tetap bisa menyalurkan hak konstitusional mereka dalam Pemilu 2019 yang berjalan langsung, umum, bebas, dan rahasia.
”Sekalipun pemerintah menghargai satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan diatur khusus oleh undang-undang, seperti di dalam UU Pemerintahan Aceh dan UU Otsus Papua, bukan berarti kedua undang-undang itu harus sama persis,” katanya.
Perbedaan itu pun tidak dimaksudkan sebagai sikap diskriminatif terhadap warga Papua. Ke depannya, menurut Ergani, kedua pemohon yang mengajukan uji materi diharapkan ikut memberikan masukan dalam perbaikan UU Otsus Papua demi kebaikan bersama.
Belum jelas
Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai pemerintah belum menjelaskan latar belakang penyusunan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU Otsus Papua.
”Apa sebenarnya perdebatan yang terjadi dalam penyusunan pasal itu, supaya makna parpol dalam pasal itu menjadi lebih jelas. Jika memang dimaksudkan makna parpol di dalam undang-undang itu bersifat nasional, kenapa harus dijelaskan dalam Otsus Papua,” katanya.
Saldi juga meminta pemerintah menjelaskan pula makna ”parpol” dalam UU Otsus Papua itu apabila dikaitkan dengan UU Pemerintahan Aceh. Sebab, UU Pemerintahan Aceh mengatur pendirian parpol lokal, sedangkan UU Otsus Papua tidak.
Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menambahkan, ketentuan Pasal 28 UU Otsus Papua tidak bisa dilepaskan dari ketentuan selanjutnya. Pasal itu menunjukkan bahwa semangat dari pembentukan parpol itu ialah untuk menyerap aspirasi warga asli Papua.
”Oleh karena itu, menjadi penting untuk dijelaskan lebih detail bagaimana ketentuan ini disusun supaya bisa membantu mahkamah mengetahui faktanya,” katanya.
Ketua MK Anwar Usman pun memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memberikan jawaban secara tertulis dan melengkapi keterangannya pada sidang selanjutnya, 16 Oktober 2019. MK juga akan memeriksa tiga ahli yang diajukan pemohon dalam sidang berikutnya.