Meski belum sepenuhnya pulih, kabar melegakan berembus dari Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kota utama kabupaten itu, Wamena, kembali menggeliat.
Ratusan warga kabupaten yang dilanda kerusuhan, yang diikuti dengan eksodus warga Wamena ke luar pulau itu, kembali beraktivitas. Pelajar kembali mendatangi sekolah, dan layanan kepada masyarakat mulai pulih. Sebagian aparatur sipil negara (ASN) berkantor di gedung yang tersisa, yang penting layanan kepada publik tetap bisa dilakukan.
Laporan harian ini, kemarin, menggambarkan dengan jelas, bukan hanya warga asli Papua yang masih tinggal di Wamena, dan secara luas di Jayawijaya. Namun, warga dari daerah lain, yang tetap tinggal di daerah itu, tidak mengungsi, juga mulai beraktivitas. Di sisi lain, memang masih ada ratusan warga lain yang mengungsi. Kalau situasi di Wamena kembali tenang, damai, dan keamanan pun terjamin, warga yang meninggalkan daerah itu diyakini akan kembali lagi.
Jayawijaya, khususnya Wamena, selama 30 tahun terakhir, dalam catatan Kompas, memang beberapa kali dilanda konflik, termasuk konflik antarwarga, kontak senjata antara TNI/Polri dan kelompok kriminal bersenjata, serta perang suku. Namun, konflik yang disertai dengan ribuan penduduk meninggalkan daerah itu baru terjadi September lalu. Jayawijaya, yang ter- kenal dengan Lembah Baliem, dan dihuni mayoritas suku Dani, terbuka kepada penduduk Indonesia lainnya.
Harian ini juga melaporkan, saat kerusuhan di Wamena pecah, 23 September lalu, sejumlah warga asli Papua pun mempertaruhkan jiwanya untuk melindungi saudaranya, yang berasal dari daerah lain. Oleh sebab itu, menjadi pertanyaan, bagaimana di daerah yang tersubur di Papua itu bisa muncul kerusuhan, yang diikuti dengan eksodus warga lainnya. Padahal, menurut Pastor Justinus Rahangiar Pr, perang (suku) bagi orang Dani bukanlah untuk menghancurkan, tetapi demi kesejahteraan (Kompas, 1/5/1993).
Oleh karena itu, selain penegakan hukum, dengan menghukum mereka yang diduga memicu kerusuhan di Wamena, akar masalah kekerasan yang terus terjadi di Jayawijaya, serta Papua, harus ditemukan dan diselesaikan. Kebijakan otonomi khusus sejak tahun 2002 ternyata tak menyelesaikan persoalan, bahkan terkadang memicu masalah. Pembangunan infrastruktur—Jayawijaya dilalui proyek Trans-Papua sepanjang 700 kilometer—juga tidak membuat ”bara dalam sekam” di daerah itu meredup. Pendekatan keamanan diyakini justru menimbulkan trauma di masyarakat.
Yogotak hubuluk motok hanorogo, itulah slogan Kabupaten Jayawijaya, yang berasal dari bahasa lokal, yang berarti ”Hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Untuk mewujudkan slogan itu butuh komitmen yang kuat dari penduduk Jayawijaya dan Papua, serta penyelenggara negara, pemerintah daerah, dan aparat keamanan untuk menghadirkan damai di Papua. Hanya dalam damai, kesejahteraan rakyat bisa mewujud.