Kumandang Pergerakan dari Panggung Syncronize
Dua pekan lalu, kita menyaksikan besarnya energi kaum muda di berbagai kota yang berunjuk rasa menolak pengebirian demokrasi di Indonesia. Energi itu masih terbawa sampai Kemayoran, Jakarta Pusat selama tiga hari penuh di ajang Synchronize Fest 2019. Aktivis, penggila pesta, dan barisan patah hati, semua dapat menyuarakan aspirasinya.
“Lagu ini buat mahasiswa dan mahasiswi yang kemarin berjuang untuk Indonesia. Mereka sudah berjuang,” kata vokalis Burgerkill Vicky Mono, dari atas panggung Dynamic Stage, Jumat (4/10/2019) sebelum membawakan lagu “Air Mata Api”.
Penontonnya, yang muda-muda itu, berlarian berputar-putar di arena dansa. Tiba-tiba ada yang jatuh tersandung. Beberapa orang di dekatnya langsung mengangkatnya lagi. Di sudut yang lain, mereka mengusung temannya di atas kepala meningkahi musik metal racikan Burgerkill. Solidaritas semacam itu serupa dengan yang terjadi di arena demonstrasi dua pekan lalu: tolong-menolong tanpa memandang siapa.
“Air Mata Api” ada di album teranyar band dari Ujungberung, Kota Bandung itu yang berjudul Adamantine. Ketika mereka tampil, mereka mengenalkan format piringan hitam album itu yang baru keluar. Sebenarnya, itu bukan lagu mereka, melainkan ciptaan Iwan Fals yang ada di album Mata Dewa (1989).
Si empunya lagu, tak ada di daftar penampil festival yang kali ini memasuki penyelenggaraan keempat ini. Tapi, ternyata, Iwan naik di panggung yang sama dengan Burgerkill sehari setelahnya, atau Sabtu (5/10/2019) pukul 22.00. Di jadwal acara, jam itu seharusnya jadi milik Oom Leo Berkaraoke.
Kehadiran Iwan adalah kejutan. Begitu pun dengan daftar lagunya. Iwan main bersama band pengiringnya selama sekitar satu jam. Selama durasi itu, dia tidak membawakan lagu-lagu terpopulernya seperti “Bento”, “Bongkar”, “Guru Oemar Bakri”, atau yang romantis seperti “Aku Bukan Pilihan”.
Iwan sepertinya sadar sedang ada di mana, di masa seperti apa. Penontonnya masih muda-muda, maka dia memilih lagu “Buku Ini Aku Pinjam” sembari menyisipkan penggalan kisahnya di bangku SMP. Aransemen lagu itu pun berusaha mengaktualkan dengan masa kini. “Ini musiknya kayak Coldplay, hahaha,” kata Dedi, seorang penonton.
Iwan melanjutkan romantisme itu dengan lagu “Kembang Pete” dari album kolaborasi dengan sesama pengamen Kelompok Penyanyi Jalanan di tahun 1985. Larik “cinta kita cinta jalanan, yang sombong menghadang keadaan,” berirama reggae terlantun di hadapan penonton, yang tiket masuknya sampai Rp 350.000 per orang itu.
Banyak isu
Bisa jadi, itu adalah kali pertama Iwan Fals naik panggung dengan puluhan ribu penonton tanpa ada bendera OI (Orang Indonesia, kelompok penggemar Iwan). Alih-alih demikian, seorang penonton naik ke pundak temannya, lantas membentangkan spanduk bertuliskan #ReformasiDikorupsi, sebuah slogan yang berdengung pada masa-masa demonstrasi dua pekan lalu.
Spanduk itu terbentang ketika Iwan melantunkan lagu “Surat Buat Wakil Rakyat”. Si pembentang spanduk bergeming ketika petugas menyorotnya dengan cahaya hijau supaya turun. Mestinya, cahaya itu menyorot ke obyek lagu Iwan, bukannya pembentang spanduk.
Puncak penampilan Iwan terjadi ketika ia merangkai beberapa lagu ke dalam aransemen yang repetitif. Ragam isu yang berentetan menerpa bangsa ini disikapi Iwan dengan suguhan medley sepanjang lebih dari 10 menit itu. Isu kebakaran hutan dan lingkungan ada di penggalan lagu “Isi Rimba tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, dan “Balada Orang-orang Pedalaman”. Ada pula isu korupsi (“Tikus-tikus Kantor”), Papua (“Cendrawasih”), dan militerisme (“Serdadu”).
“Pilihan lagunya Iwan begini (mengacungkan dua jempol). Dia masih jadi tukang kritik, ternyata,” kata Rio, seorang penonton.
Malam itu, kritik belum berhenti melantang meski Iwan sudah pulang. Navicula, band grunge dari Bali menggempur Lake Stage tepat tengah malam. Salah satu lagu yang diusung Robi dan kawan-kawannya adalah “Mafia Hukum” dengan bintang tamu Dandhy Laksono di posisi gitar ritem. “Satu-satunya alasan kita percaya pada negara adalah (keberadaan) KPK. Sekarang (KPK) sedang dilemahkan,” ucap Robi sebelum lagu itu.
Di ajang Synchronize, pesan sosial itu tak cuma beruwujud slogan serius, tetapi bisa juga jenaka. Band grindcore dari bandung, Mesin Tempur meminta penontonnya belajar membaca lewat lagu “Mari Membaca”. Liriknya adalah rangkaian abjad dari a sampai z.
“Kalian harus pintar, biar jangan dibodohi elit-elit politik,” pesan vokalisnya, Lord Butche yang memimpin gerombolan bodor bertopeng tengkorak itu. Salah seorang penontonnya memakai rompi dengan emblem bertuliskan “jaga kewarasan, jangan tiru pejabat.”
Puluhan ribu penonton, yang sebagian melahap pesan-pesan politis itu, bermuara di panggung-panggung besar. Mereka beramai-ramai menyanyikan lagu “Cidro” dari Didi Kempot, memohon diberikan jodoh lewat lagu “Cari Jodoh” dari band Wali, juga bergoyang irama koplo sampai jam tiga pagi diiringi grup Feel Koplo.
Soal botol
Perhelatan Synchronize Fest keempat yang berlangsung tiga hari dari Jumat (4/10/2019) hingga Senin (7/10/2019) dini hari, menghasilkan “benturan-benturan” yang asyik. Perbedaan pandangan musik—yang keren dan norak, yang urban dan ndeso, yang politis dan hedonis—berbaur tanpa bergesekan. Serombongan penonton, yang masing-masing punya selera individu, bisa sama-sama menikmati festival, bisa berbagi minuman dari botol yang sama.
Omong-omong soal minuman, tahun ini, penyelenggara menganjurkan pengunjung membawa botol minuman sendiri, walaupun salah satu mitra acaranya adalah perusahaan air minum. Penyelenggara menyediakan stasiun pengisian air minum dengan donasi serelanya.
Stella Baretha, seorang penonton mengapresiasi upaya kesadaran lingkungan itu. Dia ikut mengumpulkan sampah bekas makanan untuk ditukarkan tas jinjing. Dia juga bawa botol minumnya sendiri. “Pengalamanku, baru festival musik ini yang boleh membawa tempat minum dan makan daur ulang,” kata Stella.
Para penampil juga dibekali botol pakai ulang untuk konsumsi di panggung. “Gara-gara festival ini, gue jadi mikirin sampah botol minuman,” kata Buluk, vokalis band pop punk Superglad. Agaknya, jargon bahwa acara ini bukan urusan musik semata, melainkan sebuah pergerakan, menampakkan wujudnya. (*/***)