Tahap final pengerjaan proyek pengembangan produksi gas dari lapangan Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yakni pengeboran sumur, telah dimulai.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahap final pengerjaan proyek pengembangan produksi gas dari lapangan Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yakni pengeboran sumur, telah dimulai. Proyek yang akan menyokong produksi gas nasional itu dinilai melampaui target pengerjaan. Gas yang dihasilkan diperkirakan akan mulai mengalir ke konsumen pada triwulan II tahun 2021.
PT Pertamina EP Cepu (PEPC) selaku operator lapangan memulai pengeboran sumur produksi pada Rabu (9/10/2019). Tahapan pengerjaan ini merupakan yang terakhir, setelah pembebasan lahan, penyediaan infrastruktur, dan penyiapan fasilitas pemrosesan gas (GPF).
Direktur Utama PEPC Jamsaton Nababan mengatakan, progres proyek saat ini 36,9 persen atau lebih tinggi 0,8 persen dari seharusnya. Karena itu, gas bisa mengalir ke konsumen mulai triwulan II-2021.
”Pembebasan lahan seluas 165 hektar dan pembangunan infrastruktur sudah selesai 100 persen. Penyiapan GPF sudah berjalan. Dan terakhir, pengeboran sumur yang menjadi milestone penting bagi proyek ini,” kata Jamsaton.
Pengeboran akan dilakukan pada enam sumur, yakni empat sumur di Jambaran East dan dua sumur di Jambaran Central. Pengerjaan ini membutuhkan waktu sekitar setahun.
Setelah selesai, keenam sumur tersebut dapat memproduksi gas 192 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) selama 20 tahun. Adapun cadangan gas di lapangan tersebut sebesar 2,5 triliun kaki kubik.
Menurut Jamsaton, proyek ini akan sangat menguntungkan. Gas yang dihasilkan akan dialirkan ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tbk untuk pembangkit tenaga listrik. Sisanya akan dipasarkan untuk mendukung industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Gas yang dihasilkan dari JTB harganya lebih murah. Efisiensi nilai investasi dari 2 miliar dollar AS menjadi 1,5 dollar AS menekan harga jual gas dari 8 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) menjadi 6,7 dollas AS per MMBTU.
Di sisi lain, lapangan juga menghasilkan asam sulfat cair 300 ton per hari. Produksi sulfur itu bisa membantu industri yang saat ini masih bergantung pada impor. Sulfur biasa digunakan untuk pupuk.
”Akan muncul multiplier effect yang bisa membantu ekonomi. Masyarakat bisa mendapatkan gas lebih murah. Harga listrik juga akan turun karena gas murah,” ujarnya.
Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Migas Julius Wiratno mengatakan, proyek JTB merupakan salah satu dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Hasil dari proyek ini akan menyokong kebutuhan migas nasional.
”Dengan PSN ini, kita harap pengaruhnya akan terasa, baik di regional maupun nasional. Seperti diketahui, kita sedang masuk darurat produksi. Produksi migas tahun ini masih kurang dari target APBN,” kata Julius.
Proyek JTB merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Hasil dari proyek ini akan menyokong kebutuhan migas nasional.
Julius menambahkan, belum ada masalah berarti pada proyek JTB sejauh ini. Semua itu berkat dukungan dari pemerintah kabupaten dan masyarakat Bojonegoro.
Bupati Bojonegoro Anna Muawanah mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan badan usaha milik daerah (BUMD) untuk mendukung industri hilir dari proyek JTB. Salah satu yang dilirik adalah kontribusi dalam bisnis sulfur.
”Kami sedang menyiapkan administrasi untuk BUMD agar bisa terlibat dan mendapatkan privilege dari industri ini. Dengan terciptanya industri hilir, nanti bisa ada lagi industri turunannya yang melibatkan UMKM,” jelas Anna.