Sosialisasi tentang kesehatan jiwa di Indonesia masih amat minim. Meski gejala gangguan jiwa kerap kita temui, belum banyak informasi mengenai apa dan bagaimana menangani gangguan jiwa.
Tak bisa dimungkiri, banyak mispersepsi di masyarakat bahwa gangguan jiwa adalah penyakit nonmedis. Masih banyak khalayak masyarakat umum di Indonesia yang menganggap gangguan jiwa itu bukan soal media, melainkan masalah gaib, mistis, akibat pengaruh roh halus, kena santet, dan sejenisnya.
Kepercayaan itu melekat sejak zaman prasejarah sampai kini di Indonesia. Di masa prasejarah hingga abad pertengahan, ada beragam pengobatan gangguan jiwa dengan ritual adat kepercayaan tradisional.
Meski pengobatannya tak seekstrem dulu, kini metode terapinya kerap tak menuntaskan soal. Banyak orang mengobati gangguan jiwa dengan minum jamu dan jampi-jampi untuk menolak roh jahat. Di perdesaan, jika pasien mulai mengamuk dan sukar dikendalikan, pemasungan dilakukan.
Penderita gangguan jiwa, menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Gangguan jiwa ialah penyakit dengan patologi gangguan di saraf otak. Menurut Lahargo Kembaren, psikiater di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, penderita disebut ODGJ setelah didiagnosis terkena gangguan jiwa melalui beberapa tahapan pemeriksaan psikiatri.
Merujuk pada Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (Ayuningtyas, 2018), lebih dari 57.000 orang di Indonesia dengan disabilitas psikososial setidaknya pernah sekali mengalami pemasungan dalam hidupnya. Pemasungan itu dilakukan warga karena pengetahuan minim soal kesehatan jiwa dan pertimbangan kepraktisan.
Hampir tiga perempat responden jajak pendapat Kompas yang dilakukan September 2019 mengaku tak pernah mendapat sosialisasi memadai tentang gangguan jiwa. Itu bisa jadi karena merasa tak mungkin terpapar gangguan jiwa dan hanya diderita orang dewasa ataupun kelas sosial bawah. Selain itu, definisi gangguan jiwa dipahami sebagai kegilaan. Padahal, ada berbagai tingkat gangguan jiwa dari kegelisahan (anxiety) hingga antisosial.
Selain itu, sebelum pemberlakuan UU Kesehatan Jiwa, layanan dan penanganan kesehatan jiwa di Indonesia belum diatur dengan jelas. Sosialisasi pada warga pun belum meluas.
Mengutip imbauan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), there is no health without mental health. Artinya, kesehatan jiwa adalah komponen dasar definisi kesehatan. Menurut UU Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa yang baik ialah kondisi di mana individu berkembang dan menyadari kemampuannya, bisa mengatasi tekanan, bekerja secara produktif dan memberi kontribusi bagi komunitasnya.
Persoalannya, kondisi kejiwaan tiap orang tak bisa dipukul rata. Ada yang bisa beradaptasi dengan tekanan hidup dan perubahan sosial, ada yang tidak bisa beradaptasi sehingga berisiko terkena gangguan jiwa skala ringan sampai berat.
Multifaktor
Endokrinolog Hans Selye (ahli sistem kelenjar dan sistem hormon tubuh) mendefinisikan stres sebagai ketegangan fisik, mental, ataupun emosi tertekan. Penderita gangguan jiwa kerap dimaknai karena stres berat. Jadi, stres berat diyakini hampir tiga perempat responden jajak pendapat sebagai salah satu penyebab gangguan jiwa. Padahal, faktor psikologi lain, seperti trauma, perundungan, kekecewaan, atau ditinggal orang terdekat, bisa memicu gangguan jiwa.
Dua faktor penyebab lain adalah faktor biologi dan sosial. Faktor biologi, seperti terkait genetik, misalnya kepala terbentur, narkoba, dan kejang, bisa menyebabkan kerusakan saraf atau hormon pemicu gangguan jiwa. Bahkan, faktor sosial bisa memicu gangguan jiwa.
Faktor sosial yang menjadi pemicu terkait lingkungan keluarga/teman/saudara, norma, agama, dan tekanan ekonomi. Jadi, gangguan jiwa biasanya merupakan dampak bermacam faktor dan berkaitan, tak hanya karena satu faktor. Gangguan jiwa tak bisa dianggap remeh. Gejalanya tak kentara sehingga sukar terdeteksi. Jika tak ditangani, gejalanya makin parah dan berujung pada bunuh diri.
Apakah gangguan jiwa bisa disembuhkan? Dua dari lima responden berpandangan optimis bahwa gangguan jiwa bisa disembuhkan. Pendapat ini benar, penyandang gangguan jiwa bisa sembuh, tetapi harus menjalani pengobatan antara lain konsumsi obat, terapi bicara bersifat suportif dan re-edukatif, rehabilitasi psikosial, serta rehabilitasi kognitif. Faktor lingkungan, nilai, agama, budaya, dan pola asuh orangtua juga menentukan kesembuhan penyandang gangguan jiwa.
Solusi banyak dipilih untuk menangani stres berat dijawab lebih dari separuh responden ialah bertindak spiritual berupa mendekatkan diri kepada Tuhan. Ada 20 persen menyebut, berkumpul bersama teman atau keluarga. Itu menunjukkan, penanganan kesehatan jiwa belum banyak dipahami sebagai gangguan klinis, melainkan semata persoalan mental.
Padahal, pengobatan gangguan jiwa tak melulu melalui kegiatan spiritual atau kembali pada keluarga. Hal lebih penting adalah pengobatan medis dengan mendatangi psikolog atau psikiater. Itu dilakukan 12,5 persen responden. Sosialisasi kesehatan jiwa juga mesti meluas demi memenuhi kehausan informasi kesehatan jiwa di masyarakat. (KRISHNA PANOLIH DAN M PUTRI ROSALINA/LITBANG KOMPAS)