Saatnya Memeluk Papua
Setelah kerusuhan di Wamena, Papua, tak hanya aparat keamanan yang harus bekerja keras, tetapi juga pemerintah pusat hingga daerah untuk mengatasi jurang yang semakin lebar di antara penduduknya.
Langit mendung, di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (8/10/2019). Dinding-dinding ruko Pasar Woma di tengah Kota Wamena masih hitam menghangus. Kayu-kayu penopang atap rumah gosong dan tergeletak seusai roboh.
Hanya beberapa pasang mata yang menatap ingin tahu rombongan Menko Polhukam Wiranto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Sosial Agus Gumiwang, dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Mereka didampingi aparat setempat.
Kota yang semula berpenduduk 41.000 (BPS 2019) jiwa, kini sepi. Diperkirakan, hampir setengah penduduknya mengungsi ke luar kota. Dalam pertemuan di Markas Kodim dengan pengungsi, Wiranto mengatakan, pemerintah memberikan jaminan keamanan. Hal ini diamini Panglima TNI dan Kapolri. Wiranto juga meminta masyarakat menjaga kebersamaan.
Namun, tiga tokoh Papua kemudian menanggapi. Kepala Suku Mukoko Agus Hubi meminta perbaikan ekonomi. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Wamena Desmod Jigabalom mengatakan, anak-anak muda yang kemarin membuat rusuh mengejutkannya. Ia meminta pemerintah tak menggunakan istilah pendatang dan orang asli. Hal itu dikhawatikan bisa menimbulkan perpecahan.
Tokoh ketiga Papua muncul ketika pertemuan hampir ditutup. Namun, justru itulah yang membuat jadi menarik. Saat para pejabat yang duduk di panggung hendak beranjak, Hengki Heselo, Kepala Kampung Lantipo, mengangkat tangannya. Seorang pejabat kabupaten terlihat agak gusar dan tak menghendaki Hengki bicara.
Namun, Wiranto meminta Hengki maju dan menyampaikan pendapatnya. Hengki menanyakan beberapa kerusuhan di beberapa wilayah di Papua. ”Kenapa gelombang itu tak diantisipasi. Dan, kenapa saat kerusuhan, aparat TNI/Polri terlihat diam saja?” tanyanya.
Hengki juga menyinggung anak-anak Papua yang sudah sekolah tinggi hingga doktor, tetapi tidak mendapat kesempatan bekerja dengan proporsional di Papua. Hal yang sama dikatakan Alex Silo yang menganggap demonstrasi yang berujung pada kerusuhan itu akibat ketimpangan ekonomi. ”Anak-anak asli disisihkan dari pembangunan,” kata Alex.
Di luar forum, beberapa orang juga terlihat tidak puas. Aktivis HAM Theo Hassegem menuding orang-orang yang diberi kesempatan bicara adalah orang-orang yang sudah diatur sebelumnya. Ia menyesalkan, begitu banyak masalah, tetapi begitu sempit waktu. Hal yang sama disampaikan Yoyok Iwik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Ia mengatakan, anak-anak masih trauma melihat teman-temannya jadi korban. Kondisi Wamena masih jauh dari pulih karena yang masuk sekolah baru 50 persen.
Kompleks
Sekilas situasi di atas merefleksikan kompleksitas masalah Papua. Para pemangku kepentingan dalam sektor keamanan dari Jakarta berupaya menyelesaikan masalah secepatnya agar masyarakat Wamena bisa kembali beraktivitas. Namun, keterbatasan ruang dan waktu membuat dialog yang diharapkan sulit terlaksana.
Di sisi keamanan, kerusuhan di Wamena dan rangkaian kerusuhan di Papua pekat aspek internasionalnya. Salah satu pencetusnya adalah salah dengar kata keras yang diucapkan seorang guru di SMA PGRI menjadi kera. Itulah yang segera diasosiasikan dengan insiden rasis di Surabaya. Uniknya, kesalahpahaman ini terjadi pada 17 September atau seminggu sebelum demonstrasi yang berujung kerusuhan pada 23 September, tepat dimulainya Sidang PBB. Peristiwa ini menewaskan 26 orang dan 66 terluka.
Tak heran, banyak pihak menyoroti jeda yang terlalu lama dan kerusuhan. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menceritakan, masalah di SMA PGRI itu sudah diklarifikasi bahkan sudah menyanyi bersama. Ketika pecah kerusuhan, aksi protes siswa yang berujung pada perusakan sekolah mendadak diikuti massa lain yang tak dikenal. ”Masyarakat sendiri terkejut. Sepertinya ada yang sistematis dalam kerusuhan ini,” kata Taufan dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, pentolan Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda berada di acara Sidang PBB untuk membawa masalah Papua. ULMWP ini memiliki jaringan dengan pemuda-pemuda lokal seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
”Makanya aparat ketika rusuh itu jadi pasif karena kalau represif kemudian ada korban karena aparat, bisa jadi hal itu menjadi insiden internasional dan dianggap kita melanggar HAM,” kata seorang anggota Polri.
Kebijakan tersebut menimbulkan dilema. Samuel Toding, dokter Puskesmas Asologaima, Wamena mengatakan, ia geram melihat polisi terlihat tak berdaya. Sambil menunjukkan video polisi yang berlari dikejar perusuh, Samuel bercerita tentang rumahnya yang mau dihancurkan dan dibakar massa. “Polisi dan tentara seperti menghindar, apa kami harus dikorbankan. Apa kami tak boleh bela diri,” ujarnya.
Akar Masalah
Perlu digarisbawahi dari masalah keamanan adalah gejala, dan bukan masalah inti. Sekilas dalam dialog, tercermin adanya gap antara kaum muda dan kaum tua Papua. Anak-anak muda yang akrab dengan dunia maya, punya persepsi sendiri. Mereka juga kecewa dengan para elit di papua yang menerima banyak dana Otonomi Khusus tetapi tak banyak dimanfaatkan untuk rakyat, dan malah disalahgunakan. Di sisi lain, anak-anak muda ini tak merasa mendapat ruang yang cukup untuk berkembang pasca bersekolah dan punya ilmu.
Samuel mengatakan, sejak ia lahir di Wamena, orang-orang Papua sangat baik pada pendatang. Namun, masalahnya, kesenjangan sosial dan ekonomi di antara pendatang dan penduduk asli, tak pernah diatasi. Banyak pendatang dengan semangat juang tinggi, mencari nafkah di Wamena. Sebut saja, seperti Putra Siregar yang menggelar dagangan sembakonya di meja pendek depan kios Wamena Berkat di Pasar Woma. Sebaliknya, orang Wamena seperti kurang berdaya.
Menangani Wamena, atau Papua pada umumnya memang tak bisa setengah hati. Aparat yang diturunkan harus aparat yang profesional. Institusi intelijen juga harus bekerja keras dan tepat agar bisa mendeteksi secara dini dengan tepat. Bangunan kesejahteraan yang adil dan merata, serta utamanya sumber daya manusia yang potensial tetapi dapat bekerja optimal, juga harus menjadi fokus pemerintah pusat hingga di daerah. Inilah saatnya "memeluk" Papua dengan sepenuh hati tak hanya sisi keamanannya saja tetapi juga keadilan dan kesejahteraan penduduknya.