Surga Sepeda ala Singapura
Sudah hampir empat tahun ini Khaled (33) bersepeda dari rumahnya di kawasan perumahan rakyat (”public housing”) Woodlands di wilayah utara Singapura menuju tempat kerjanya di Punggol, wilayah timur Singapura.
Menjadikan sepeda sebagai bagian dari moda transportasi publik adalah program utama Singapura. Program itu melengkapi program Walk2Ride, yang mendukung warga berjalan kaki di trotoar. Jalur sepeda dan trotoar menghubungkan perumahan, halte, dan stasiun, juga perkantoran serta fasilitas kota lainnya.
Sudah hampir empat tahun ini Khaled (33) bersepeda dari rumahnya di kawasan perumahan rakyat (public housing) Woodlands di wilayah utara Singapura menuju tempat kerjanya di Punggol, wilayah timur Singapura.
Setiap hari ia menempuh sekurangnya 20 km berangkat dan 20 km pulang. Tak ada rasa lelah lagi seperti saat awal memulai, ia pun kini terbiasa dengan waktu tempuh yang lebih cepat daripada naik kendaraan umum.
”Kalau saya naik angkutan umum, saya perlu satu jam lebih untuk sampai Punggol atau sampai rumah. Dengan bersepeda, saya hanya butuh 40-45 menit saja untuk menempuh jarak itu,” kata Khaled, yang ditemui pada Kamis (12/9/2019) di kawasan Tiong Bahru, Singapura, tengah beristirahat usai bersepeda dari rumahnya.
Kamis pagi itu ia kebetulan tengah mendapat jadwal libur sehingga ia memanfaatkannya untuk bersepeda, menjelajah Singapura dari sisi utara ke pusat kota sekaligus mengunjungi kawannya.
”Trek sepeda di Singapura sudah lumayan. Saya tidak kerepotan bersepeda meski kadang harus ekstrahati-hati saat berbagi jalur dengan pejalan kaki. Sepeda membuat badan sehat, dompet aman. Di hari kerja, begitu sampai kantor, saya tinggal mandi dan ganti baju. Kantor saya menyiapkan fasilitas kamar mandi,” katanya sambil tertawa.
Selain Khaled, pemandangan warga di kota Singa bersepeda mudah dilihat. Kompas yang saat ini ada di Singapura bersama 15 jurnalis penerima Asia Journalism Fellowship (AJF) 2019, program yang diselenggarakan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Institute of Policy Study, National University of Singapore, bekerja sama dengan Temasek Foundation, mudah melihat mereka saat hari-hari kerja, juga saat akhir pekan.
Yang membuat mereka, baik para pehobi maupun pesepeda serius, bisa tertarik menggunakan kereta angin ini adalah adanya jalur khusus sepeda. Kementerian Transportasi Singapura melalui badan yang berwenang, Land and Transport Authority (LTA), bekerja sama dengan sejumlah badan, seperti National Park Boards atau badan yang mengelola taman dan area konservasi, menata (kembali) kota seluas 720 kilometer persegi itu dan melengkapinya dengan jalur sepeda.
Dalam laman resmi LTA disebutkan, sampai dengan 2030, Singapura akan memiliki 700 km jalur sepeda yang terbentang di seluruh negeri. Dana yang digelontorkan juga tidak main-main, puluhan juta dollar Singapura untuk membangun jalur sepeda yang aman dan nyaman. Jalur itu terbentang di sekitar kawasan perumahan, lalu menghubungkan kawasan taman dan hutan kota hingga ke pusat kota.
Target yang diluncurkan pada 2009 oleh LTA itu sasaran awalnya adalah di kawasan permukiman (Housing and Development Board/HDB towns). Selanjutnya setahun kemudian muncul program National Cycling Plan atau program sepeda nasional, yang dikerjakan bersama antara LTA, NPC (badan pengelola taman dan hutan kota dan area konservasi), juga Urban Redevelopment Authority (URA) atau badan yang berwenang atas penataan kota.
Jalur sepeda dibangun dengan cara mengurangi lajur jalan atau menata ulang jalur yang semula hanya ada untuk pejalan kaki. Di kawasan permukiman ada jalur khusus dengan tanda-tanda yang banyak dan jelas bagi sepeda dan memberi peringatan bagi kendaraan lain, tanda kecepatan, hingga pohon-pohon peneduh sehingga para pengguna sepeda bisa melaju lancar karena faktor keselamatan dan keamanan diperhatikan. Di taman-taman kota ada jalur bertuliskan park connector network (PCN) atau jaringan jalan sepeda yang menghubungkan antartaman.
Setiap lajur diberi tanda sehingga diharapkan pengguna tidak salah jalan. Di setiap stasiun MRT, permukiman ataupun pusat perbelanjaan, disiapkan rak-rak untuk parkir sepeda. Saat ini jalur sepeda yang dibangun sudah tercapai lebih dari setengah dari target.
”Untuk di beberapa titik, sering kali kami harus berbagi jalan dengan pesepeda di jalur pejalan kaki,” kata Dani (40), warga Yishun.
Saling berkait
Niat dan komitmen Singapura menjadikan kotanya sebagai kota yang ramah sepeda demi memperlancar perjalanan juga mengurangi polusi layak dicontoh. Apalagi, memang tren dunia, banyak kota besar saat ini sepeda ditempatkan sebagai sarana transportasi alternatif selain angkutan umum. Sebutlah di Kopenhagen, Denmark, atau di Belanda atau di Taiwan.
Di Singapura, LTA mencatat pada 2008 waktu tempuh perjalanan dengan angkutan umum masih 1,7 kali lebih lama dari naik kendaraan pribadi. Penataan kota dengan jalur sepeda diharapkan makin memberi kelancaran perjalanan dan mengurangi waktu tempuh bagi warga.
Program itu juga melengkapi program lain yang diluncurkan, yaitu Walk2Ride, program yang mendukung warga berjalan kaki di jalur pejalan kaki. Caranya yakni memberi peneduh pada trotoar di radius tertentu dari titik stasiun, halte bus, sekolah, ataupun perumahan.
Dalam laporan terbaru LTA 2018, bersepeda sudah menjadi bagian dari cara warga Singapura bermobilitas tanpa naik mobil pribadi.
”Kalau saya, karena pekerjaan, bersepeda lebih tepat di akhir pekan. Namun justru saya melihat bersepeda di area taman seperti East Coast Park tidak bisa lancar. Ada banyak orangtua yang membawa anaknya bersepeda, tetapi tidak memberitahu harus bersepeda di lajur kiri supaya memberi jalan bagi yang lain. Kalau saya tidak hati-hati, saya bisa menabrak. Jadi, faktor-faktor semacam itu malah yang membuat agenda bersepeda tidak lancar,” kata Choonwei, warga Tiong Bahru, yang juga teman Khaled.
Jalur lambat
Bagaimana dengan Indonesia? Djoko Setijawarno, pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Semarang, yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menjelaskan, mimpi semacam itu sudah dikerjakan di sejumlah kota besar di Indonesia. Sebutlah Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, ataupun Balikpapan.
Keberadaan jalur sepeda diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 25g, setiap Jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Pasal 45b, fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi lajur sepeda. Pasal 62, pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.
Keberadaan jalur sepeda diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 25g, setiap Jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Pasal 45b, fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi lajur sepeda. Pasal 62, pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.
”Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas,” ujar Djoko.
Jalur sepeda yang dibangun itu dikenal sebagai jalur lambat. Sayang, jalur lambat itu banyak yang sudah dihilangkan untuk pelebaran jalan demi kelancaran arus kendaraan bermotor juga tempat parkir. Itu membuat minat dan semangat warga bersepeda berkurang. Tambahan lagi, polusi udara menjadi faktor penghambat orang memilih bersepeda sehari-hari.
Jakarta dengan segala perkembangan transportasi umum, berencana membangun jalur sepeda sepanjang 63 kilometer. Itu juga layak diapresiasi. Sebelumnya, meski masih minim, sesungguhnya juga sudah terbangun jalur sepeda. Di antaranya, Cipinang-Pondok Kopi sepanjang 6,7 km di area Kanal Banjir Timur/KBT, Pondok Kopi Marunda 14 kilometer, Taman Ayodya-Kantor Wali Kota Jakarta Selatan sekitar 2 kilometer, Jalan Imam Bonjol-Diponegoro sekitar 2 kilometer, di kawasan Gelora Bung Karno, di kawasan Masjid Istiqlal, juga Jalan Jenderal Sudirman. Akan tetapi, jalur sepeda itu tidak terintegrasi dan tidak berkesinambungan.
Integrasi
Jika Jakarta mau membangun jaringan jalan sepeda, didorong agar fasilitas jalur sepeda dibangun dengan memperhatikan faktor keselamatan, keamanan, dan ramah lingkungan. Jaringan jalur sepeda yang dibangun pun tidak hanya di jaringan jalan tengah kota, tetapi dimulai dari kawasan perumahan dan permukiman warga.
Sepeda juga bisa digunakan sebagai sarana transportasi jarak pendek dari rumah menuju halte, stasiun, ataupun pasar. Asalkan, di tempat tersebut disediakan lahan parkir khusus sepeda. Pemerintah bisa membuat kebijakan mewajibkan semua kantor, sekolah, kampus, pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal, halte menyediakan parkir sepeda.
Baca juga : Mandi Keringat di Paru-paru Singapura
Lalu karena iklim tropis membuat Jakarta selalu dicecar cuaca panas, pohon peneduh sekaligus jalur hijau di sepanjang jalur sepeda didesak untuk diadakan. Untuk mewujudkan itu semua, memang perencanaan yang matang diperlukan. Supaya Jakarta juga bisa menempatkan diri sebagai kota ramah sepeda, sepeda menjadi sarana alternatif yang dipilih untuk transportasi sehari-hari yang ramah lingkungan, selamat, aman dan berkelanjutan.
Baca juga : Negara Merancang agar Warga Nyaman Berjalan Kaki
Baca juga : Menikmati Kerindangan Negeri Singa