Trauma Pengungsi di Ujung Konflik Papua
Konflik di Wamena, Papua menimbulkan banyak korban jiwa, kerusakan sarana publik, hingga gelombang eksodus ke luar Papua. Perlu rehabilitasi dan jaminan keamanan untuk memulihkan derita pengungsi.
Konflik selalu menimbulkan derita bagi pengungsi. Rangkaian konflik di Papua yang melibatkan warga ataupun aparat keamanan menimbulkan banyak korban jiwa, kerusakan sarana publik, hingga gelombang eksodus ke luar Papua.
Pengungsi atau orang yang mengungsi merupakan orang-orang yang terpaksa mengungsi atau meninggalkan rumah terutama karena atau demi menghindari akibat-akibat konflik bersenjata, aksi kekerasan, atau bencana alam. Mereka yang mengungsi namun tidak melintas batas-batas negara yang diakui secara internasional, disebut pengungsi internal.
Salah satu dampak dari konflik adalah munculnya gelombang eksodus atau pengungsi ke luar daerah, seperti yang terjadi di tanah Papua. Awal Desember 2018, terjadi insiden penembakan belasan pekerja konstruksi oleh kelompok kriminal separatis bersenjata di Kabupaten Nduga. Akibatnya, sebanyak 45.532 orang mengungsi.
Gelombang pengungsi kembali muncul setelah tim gabungan TNI/Polri melakukan penyisiran kembali saat seorang anggota Polri, Briptu Heidar, meninggal dunia karena kontak senjata. Total 800 orang mengungsi dari Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua, pada awal September 2019.
Sementara kerusuhan pasca-unjuk rasa di Wamena pada akhir September 2019 memaksa ribuan orang eksodus keluar Wamena. Jumlah pengungsi dari 24 September hingga 5 Oktober 2019 mencapai 14.896 orang. Dampak yang begitu besar dirasakan masyarakat tidak bisa dibiarkan saja. Pemerintah harus turun tangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan warga negara.
Setidaknya ada tiga kelompok rentan yang paling terdampak saat terjadi kerusuhan, yaitu anak-anak, wanita, lansia. Ketiganya perlu mendapatkan jaminan keamanan, terlebih sudah diatur oleh sedikitnya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Bencana sosial
Konflik atau kerusuhan menjadi salah satu jenis bencana, dinamakan bencana sosial. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Tiga poin utama yang menggambarkan peran utama pemerintah dalam kondisi konflik, sesuai yang tertulis di Pasal 6 poin a hingga c, yaitu perlindungan masyarakat dari dampak bencana, penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum, dan pemulihan kondisi dari dampak bencana.
Secara nasional, penanggulangan bencana secara nasional dikoordinasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sementara sisi teknis di tingkat daerah, kewenangan dipegang oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang memiliki tugas secara terintegrasi, meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana.
Namun, di antara banyak konsekuensi karena adanya konflik, dampak terhadap kesehatan mental penduduk sipil adalah salah satu yang paling signifikan.
Sementara UU Nomor 35 Tahun 2014, setidaknya menjamin enam hal untuk anak-anak, yaitu perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, peperangan, dan seksual.
Tak hanya itu, dalam Pasal 21 Ayat (1), tertulis Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik atau mental.
Poin-poin di atas menjadi gambaran jelas bahwa setiap anak yang berada di tengah-tengah konflik atau kerusuhan, wajib dilindungi dan diberikan jaminan keamanan untuk hidup, termasuk kembali bersekolah. Sementara kelompok rentan, seperti wanita dan lansia, perlindungannya telah dijamin UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pendekatan budaya
Bukan hanya membuat warga mengungsi, kerusuhan di ibu kota Kabupaten Jayawijaya juga meninggalkan jejak kengerian. Setidaknya sebanyak 465 ruko, 150 rumah, 165 motor, dan 224 mobil serta truk dibakar massa. Tak hanya itu, insiden ini menelan korban jiwa sedikitnya 31 orang, serta 76 warga lainnya luka-luka. Korban meninggal termasuk seorang dokter, warga sipil, dan anak-anak.
Tindakan intimidasi terhadap guru dan pembakaran tiga pelajar yang tidak mau ikut unjuk rasa turut menjadi gambaran kengerian insiden di Wamena. Komnas HAM menyatakan bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan di Wamena.
Hasil investigasi Komnas HAM mengungkap bahwa aksi unjuk rasa yang berakhir kerusuhan telah direncanakan sejak 21-22 Agustus 2019. Pelayanan publik, seperti sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, lumpuh beroperasi.
Baca juga: Menjaga Asa Kembali Bangkit
Diskusi harian Kompas pada 6 September 2019 bertajuk “Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua” memberikan gambaran pendekatan penyelesaian konflik yang selaras dengan pendekatan dialog, yaitu pendekatan kultural. Sebuah pendekatan yang menempatkan pemahaman terhadap karakteristik kultural tiap kelompok di tempat teratas.
Sasaran dari pendekatan kultural adalah anak muda Papua, baik yang berada di daerah maupun yang tengah belajar di luar Papua. Usulan tersebut tak lepas dari transformasi anak muda menjadi kelompok strategis baru yang mulai menggantikan posisi tokoh agama dan tokoh adat Papua.
Kedua pendekatan baru demi meredam api konflik Papua perlu segera didetailkan ke langkah-langkah teknis yang strategis. Jika dibiarkan terus, banyak insiden yang akan terus berulang dan dampak yang ditimbulkan semakin banyak.
Masa depan
Sebuah konflik mampu membawa banyak dampak negatif, seperti kerusakan infrastruktur, lumpuhnya kegiatan ekonomi, hingga korban jiwa. Namun, di antara banyak konsekuensi karena adanya konflik, dampak terhadap kesehatan mental penduduk sipil adalah salah satu yang paling signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh R. Srinivasa Murthy dan Rashmi Lakshminarayana, mengungkap tentang dampak perang dan konflik terhadap kesehatan mental. Prevalensi gangguan mental dipastikan meningkat pasca-kejadian. Selain itu, wanita lebih terpengaruh dibandingkan pria. Kelompok rentan lainnya adalah anak-anak, orang tua, dan orang dengan disabilitas.
Hasil riset dan laporan internasional yang membahas hubungan peperangan dan konflik terhadap kesehatan mental telah banyak dipublikasi, seperti Mental health and conflicts – Conceptual framework and approaches oleh World Bank, The state of the world’s children – Childhood under threat oleh UNICEF, dan Trauma interventions in war and peace : prevention, practice and policy oleh the United Nations.
Menurut data WHO tahun 2019, satu dari lima orang hidup dengan beberapa bentuk gangguan mental, seperti depresi ringan hingga psikosis. Lebih buruk lagi, hampir satu dari sepuluh hidup dengan gangguan mental sedang hingga berat di kawasan konflik atau perang.
Tak hanya itu, hampir 132 juta orang di 42 negara di seluruh dunia membutuhkan bantuan kemanusiaan akibat konflik atau bencana. sementara hampir 69 juta orang di seluruh dunia telah dipindahkan secara paksa oleh kekerasan dan konflik, jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II.
Oleh sebab itu, konflik di Papua juga bicara tentang jaminan masa depan bagi generasi mendatang yang terancam. Usaha keras dan terus-menerus dari seluruh elemen bangsa dibutuhkan untuk kedamaian di tanah Papua, tempat tinggal saudara-saudara kita. (LITBANG KOMPAS)