Berbicara Via Telepon dengan Presiden AS Kini Jadi Penuh Risiko
Dulu, punya kesempatan berbicara melalui telepon dengan presiden Amerika Serikat kerap dipandang sebagai suatu keberhasilan diplomatik. Namun, kini berbeda. Berbicara via telepon dengan Presiden AS Donald Trump bisa mendatangkan masalah baru dan serius, mulai dari risiko bocornya transkrip percakapan telepon itu hingga pukulan balik di ranah politik domestik.
Dampak percakapan telepon antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy pada 25 Juli 2019 masih ramai dibicarakan orang di Kiev, Ukraina. Percakapan telepon itu juga telah memantik dimulainya penyelidikan di Washington menuju langkah pemakzulan orang nomor satu di AS.
Beberapa anggota Kongres AS yang getol menggulirkan penyelidikan dalam kasus tersebut sekarang ini ingin bisa mengakses percakapan telepon antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin serta beberapa pemimpin dunia lainnya. Ketua Komisi Intelijen DPR AS menyebut soal kekhawatiran adanya ancaman bagi keamanan nasional dari percakapan-percakapan Trump via telepon itu.
Gerard Araud, Duta Besar Perancis di Washington yang bertugas hingga Juni 2019, membantu mengatur sejumlah percakapan telepon antara Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Trump. Belajar dari kasus telepon Trump dengan Zelenskiy, ia mengatakan bahwa saat ini orang harus menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa berhubungan via telepon dengan Trump tidak sama dengan pemimpin dunia lainnya.
Bagi para pemimpin dunia yang pernah berbicara melalui telepon dengan Trump, kemungkinan bakal dirilisnya transkrip percakapan telepon itu tentulah mengkhawatirkan. Hal ini bisa saja akan mengubah cara bagaimana pembicaraan via telepon antarkepala negara—salah satu bagian utama dalam diplomasi internasional—dilakukan di masa depan.
Belokkan topik
Namun, Araud menyatakan bahwa masalah bocornya percakapan telepon dengan Trump tak terlalu menyita perhatian para pemimpin dunia. Mereka lebih memberi perhatian pada soal kecenderungan Trump dalam percakapan teleponnya untuk membelokkan topik dan arah pembicaraan ke wilayah yang tak terduga dan mengganggu lawan bicara.
”Jika Anda ingin membuat kemajuan dalam kebijakan, kecenderungan seperti itu menjadi masalah nyata. Setiap kepala negara dan kepala pemerintah harus menyesuaikan diri dengan cara-cara nondialog ini,” kata Araud. ”Segalanya (topik yang telah direncanakan) bisa kacau.”
Para pemimpin dunia memberi perhatian pada soal kecenderungan Trump dalam percakapan teleponnya untuk membelokkan topik dan arah pembicaraan ke wilayah yang tak terduga.
Tanda-tanda tentang kecenderungan unik Trump dalam percakapan telepon dengan kepala negara lain sejatinya telah muncul sejak awal masa kepresidenannya. Beberapa hari setelah Trump menjabat pada Januari 2017, ia mengadakan pembicaraan telepon dengan Perdana Menteri Australia saat itu, Malcolm Turnbull.
Pada satu kesempatan dalam pembicaraan itu, Trump berkata kepada Turnbull, ”Anda lebih buruk daripada saya.” Trump juga mengeluhkan, kesepakatan migrasi AS dengan Australia ”menunjukkan saya seperti orang tolol”.
Transkrip pembicaraan telepon tersebut bocor ke koran Washington Post. Dampaknya, Turnbull terbelit masalah di Australia terkait kebijakan-kebijakan anti-imigrasi pemerintahannya.
Pekan lalu, Departemen Kehakiman AS mengonfirmasi bahwa Trump telah melakukan pembicaraan telepon dengan sejumlah pemimpin dunia selain Zelenskiy untuk meminta agar mereka membantu Jaksa Agung William Barr dalam penyelidikan mengenai asal-usul investigasi jaksa khusus Robert Mueller. Jaksa penyelidik khusus ini menggelar investigasi kasus skandal dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016 yang dimenangi Trump.
Daftar nama pemimpin dunia itu tidak disebutkan. Namun, Perdana Menteri Australia Scott Morrison membenarkan bahwa ia telah berbicara dengan Trump tentang hal itu. Pemerintah Inggris mengatakan bahwa Trump telah berbicara dengan PM Inggris Boris Johnson sehari setelah Trump dan Zelenskiy berbicara untuk membahas topik yang tidak terkait.
Jonathan Eyal, Direktur Internasional Royal United Services Institute, mengatakan bahwa di masa lalu, bisa menggelar pembicaraan via telepon dengan presiden AS—bagi para pemimpin dunia—bagaikan mendapat keberuntungan. Namun, Trump telah mengubah pandangan tersebut.
”Melakukan percakapan telepon dengan Presiden Trump kini sangat berisiko. Sangat sulit untuk menghindari percakapan-percakapan via telepon ini. Tetapi, kini para kepala pemerintahan akan lebih berhati-hati dalam berbicara dengan Trump,” kata Eyal.
Persiapan berjam-jam
Mempersiapkan percakapan telepon antar-pemimpin dunia memerlukan waktu dan pengarahan sebelumnya selama berjam-jam. Para penasihat negara akan menyusun pidato pengantar, merumuskan poin-poin pembicaraan, menyiapkan tanggapan terhadap masalah-masalah yang kemungkin muncul dalam pembicaraan, dan mempersiapkan respons atas kebijakan-kebijakan khusus yang tengah diupayakan lewat kerja sama.
Selama percakapan telepon itu berlangsung, sejumlah orang akan ikut mendengar, beberapa di antara mereka akan membuat transkrip percakapan telepon itu yang kemudian diedarkan ke departemen-departemen pemerintah terkait untuk ditindaklanjuti.
Seorang mantan perdana menteri di sebuah negara Uni Eropa mengatakan bahwa andai dia berbicara melalui telepon dengan Trump sekarang ini, dirinya akan sangat berhati-hati jika Trump hendak menyimpang dari topik percakapan yang direncanakan. Mungkin cara itu bisa berakibat gagalnya dan kurang mulusnya dalam memulai awal pembicaraan dengan Trump. Biasanya Trump cenderung mencari kesamaan dengan kepala negara lawan bicara, seperti menyinggung obrolan tentang golf dan menggunakan bahasa yang sangat akrab.
”Tentu saja Anda ingin menjalin hubungan yang baik dengan presiden Amerika Serikat. Tetapi, dalam atmosfer seperti saat ini, Anda tentu ingin tetap berpegang pada naskah pembicaraan (yang sudah direncanakan) dan tetap menjaga percakapan,” kata mantan pemimpin yang tidak bersedia disebutkan namanya karena tak ingin hubungan antara negaranya dan AS terpengaruh oleh pernyataannya.
Menghadapi Trump
Seorang diplomat senior yang sering merencanakan dan mendengarkan percakapan telepon antara perdana menteri dan para pemimpin dunia lainnya mengatakan bahwa kebocoran percakapan via telepon selalu menjadi masalah. Akan tetapi, politik partisan kini menjadi risiko baru.
”Ini hal yang penting. Anda ingin melakukan hubungan telepon yang tepat, menyampaikan poin-poin Anda, dan meningkatkan hubungan. Tetapi, hal itu sekarang menjadi lebih sulit dilakukan dengan Trump. (Percakapan telepon dengannya) itu kurang dapat diprediksi. Rencana Anda yang disusun dengan hati-hati akan dihantam Trump dengan ucapan yang tidak terduga,” kata diplomat senior itu.
Dia mengatakan bahwa mereka yang berbicara via telepon dengan Trump perlu bersikap seperti sedang berbisnis dan ”hanya menyampaikan fakta”, dan perlu menghindari apa yang dialami oleh Zelenskiy. Araud juga menggarisbawahi hal itu. Ia mengatakan, dirinya telah menyarankan Macron agar menghindari menanggapi provokasi Trump.
”Saran saya untuk Macron, setidaknya di Twitter, jangan bereaksi, karena Trump akan lebih bereaksi dan Anda akan bisa kalah,” kata Araud.
Dalam kaitan itu, penting melihat hubungan Inggris dengan AS saat ini yang masih dipengaruhi oleh bocornya kawat diplomatik ke sebuah surat kabar Inggris pada Juli lalu. Surat kabar itu memuat laporan berisi kritik terhadap Trump yang ditulis oleh Kim Darroch, mantan Duta Besar Inggris untuk AS.
Trump merespons kritik itu di Twitter dengan menyebut Darroch ”aneh” dan ”sangat bodoh”. Duta Besar Inggris itu pun mengundurkan diri beberapa hari kemudian. ”Para diplomat tidak dapat melakukan pekerjaan mereka jika ada risiko yang signifikan bahwa penilaian mereka yang jujur dan tanpa filter bocor ke media,” kata Peter Westmacott, mantan Duta Besar Inggris untuk AS dan Perancis. (REUTERS)