Kemeriahan panggung menggambarkan Dian Anic sebagai pelantang tarling dangdut dan penggemarnya yang teramat fanatik, tak hanya di Pantura Jawa Barat tetapi juga mancanegara.
Oleh
Dwi Bayu Radius dan Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Sekitar 1 kilometer sebelum rumah Dian Anic (31), Kamis (19/9/2019), lalu lintas di persimpangan Pasar Gebang macet dengan truk-truk besar. Di rumah yang berada sekitar 100 meter dari pasar itu, ia membangun kedamaiannya sendiri. Burung murai, jalak, nuri, dan poksay berkicau di kediaman Dian yang berada di sudut Desa Gebang Ilir, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Rumah besar itu bertingkat dengan empat pilar kokoh ala Romawi dan lantai marmer. Di garasi yang dilengkapi kamera pengawas, terlihat mobil tipe sport utility vehicle dan hatchback. Di lantai dua rumah itu, tercium baru khas kampung nelayan.
Dian terjaga sekitar pukul 11.00. Ia baru selesai tampil di Kabupaten Subang, Jabar sekitar pukul 01.00 dan tiba di rumah pukul 04.00. “Hari ini saya manggung di Kabupaten Indramayu (Jabar). Besok ke Subang lagi. Ada pentas pukul 15.00,” kata Dian.
Ia mandi, makan siang, lalu bersolek. Sekitar pukul 13.30, Dian sudah siap dan berangkat. Setelah menempuh jarak sekitar 60 kilometer yang dipadati truk selama 1,5 jam, Dian tiba di Desa Arahan Kidul, Kecamatan Arahan, Kabupaten Indramayu. Seusai beramah tamah sebentar dengan tuan rumah yang menyelenggarakan pesta pernikahan, ia naik ke panggung.
Penyanyi tarling dangdut yang tengah naik daun itu berjoget di tengah rumah-rumah sederhana tetapi menggempita dengan sambutan ribuan fansnya. Mereka menyemut di depan panggung yang didirikan di atas saluran irigasi. Ikan-ikan kecil tampak muncul sesekali ke permukaan untuk mengambil napas.
Di atas saluran dengan lebar 5 meter itu, dipasang tenda merah jambu dengan bambu-bambu sebagai lantainya. Sementara, di atas panggung dengan panjang sekitar 10 meter, lebar 8 meter, dan tinggi 2 meter, Dian terus berputar-putar dengan lincah. Siaran tersebut direkam lima kamera, termasuk dua Gopro.
“Kami streaming (siaran langsung melalui internet) untuk memenuhi permintaan mempelai,” ujar Heri Kurniawan (40), suami sekaligus manajer Dian. Pasangan pengantin yang punya hajat ingin saudara dan temannya di kota lain bisa turut menyaksikan kebahagiaan mereka.
Kemeriahan panggung menggambarkan Dian sebagai pelantang tarling dangdut dan penggemarnya yang teramat fanatik, tak hanya di Pantura Jabar tetapi juga mancanegara. Bukan warga asing, mereka adalah pekerja-pekerja migran yang rindu akan alunan irama kampung halamannya.
Fans militan yang gandrung itu menggemakan lagu-lagu Dian di Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Arab Saudi. Mereka menikmati streaming sambil berjoget bekerja, melepas lelah, atau bercengkerama dengan rekan-rekannya dari daerah yang sama. Budaya yang jamak saat tarling dangdut digelar adalah sawer.
Para TKI yang setia menikmati aksi sang idola, mengirimkannya uang lewat daring. Permintaan Dian untuk mendendangkan lagu atau menyebut nama penggemar bisa dipenuhi dengan sawer meski tak berada di depan panggung.
“Sawer daring sekarang lumrah. Orang-orang senang namanya dipanggil penyanyi. Apalagi, kalau nama mereka muncul di internet saat streaming,” ujar Dian sebelum tampil. Besaran untuk penonton yang ingin namanya dicantumkan di internet dan panggung tak ditentukan. Mereka bebas menyawer sesukanya. Jika ditandai di media sosial Dian, fansnya bangga. Sulit menaksir jumlah penggemar Dian di dalam dan luar negeri tetapi pengikut Instagramnya sudah mencapai 130.000 warganet.
Dian punya akun Youtube Anica Nada mengobati kerinduan Dianisme, sebutan untuk penggemarnya, yang ketinggalan menyimak streaming. Sekali streaming, pentas Dian disaksikan penonton hingga 2.000 orang. Sejak empat bulan lalu, Dian bersama Heri punya tim streaming sendiri yang terdiri dari lima orang.
Sebelumnya, ia menyewa peralatan dan kru untuk menyiarkan aksinya di dunia maya selama tiga tahun dengan tarif sekitar Rp 2 juta per penampilan. Dian berbagi penghasilan dari streaming dengan persentase tertentu untuk setiap kru. Ia juga menjadi sasaran endorse via Instagram sejumlah produk.
Heri mengaku menghabiskan lebih dari Rp 60 juta untuk membeli delapan kamera agar bisa melakukan streaming. Setiap konser, lima orang bertugas menjalankan streaming. Dinamika streaming pada gilirannya menstimulus unggahan video-video ke Youtube.
Jumlah kru Dian kini mencapai 50 orang termasuk lima penyanyi pendamping. Mereka sudah punya panggung dan peralatannya sendiri. Dian tak hanya berkonser di berbagai kabupaten di Indonesia tetapi juga belahan dunia lain seperti Taiwan dan Hongkong. Jika pergi ke negara lain, hanya Heri dan Dian yang berangkat.
“Biasanya, Dian nyanyi dengan organ tunggal saja. Kami bisa pergi selama empat hari hingga seminggu karena sekalian jalan-jalan,” ucap Heri. Jika dipanggil ke luar negeri, tarif Dian sekitar Rp 50 juta. Kadang, kepopuleran Dian hingga pelosok lebih kuat dibandingkan sinyal internet. Tak ayal, streaming kerap terganggu, apalagi di pegunungan.
“Kalau streaming kacau, komentar penonton banyak yang pedas. Operatornya dibilang ngantuk. Ada juga yang menuding alatnya rusak,” kata Heri. Konser menjadi ajang untuk menjual cakram kompak. Dian bisa menjual hingga 200 cakram kompak setiap berpentas. Harga cakram kompak Rp 10.000 per keping. Setiap bulan, Dian bisa konser hingga 20 kali.
Dian yang lahir dari keluarga nelayan itu sudah menyanyi sejak sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu, ia bergabung dengan grup musik dan melantunkan lagu-lagu pop. Dian meluncurkan album perdananya tahun 2006. Kumpulan 10 lagu yang masih berformat kaset itu belum disambut publik dengan meriah.
Dian mulai dikenal luas setelah “Ngrangkul Gunung”, lagu dalam album ketiganya, meledak. Selama Oktober 2019, jadwal Dian sudah penuh. “Sekarang, hampir setiap hari muter. Pulang subuh, pagi sudah siap-siap. Capek tapi nikmati saja,” ujar Heri.
Lagu-lagu Dian setelah itu digemari khalayak seperti “Barjo (Baru Jomblo)”, “Rebutan Lanang”, “Ada Hello Kitty Di Antara Kita”, “Pengen Disayang”, dan “Ayang-Ayangan”. Dian sudah menerbitkan 11 album. Ia tak menciptakan lagu tetapi membelinya dari pencipta.
“Sekarang gampang. Pakai Whatsapp pun bisa bikin sampel lagu. Kalau cocok, saya ambil. Dulu, pencipta lagu datang ke rumah saya,” ujar Dian. Setiap lagu dihargai hingga Rp 1,5 juta.
Panggung-panggung Pantura disentuh lewat teknologi dari pelosok dunia lain. Elemen baru dalam industri dangdut mencuat dengan lanskap yang dirombak digitalisasi. Lagu-lagu pop di kota-kota besar tak mampu merambah pelosok pantura Jabar lantaran khalayaknya punya jagad kecil. Jagad Dian dan pemuja setia yang terus menggoyang kampung-kampung dengan tarling dangdutnya.