Dua Pendekar Menyemai Integrasi Bangsa melalui Museum
›
Dua Pendekar Menyemai...
Iklan
Dua Pendekar Menyemai Integrasi Bangsa melalui Museum
Oleh
Harry Bhaskara dari Melbourne, Australia
·4 menit baca
Bagaimana menyampaikan hasil sebuah konferensi ke penduduk yang tinggal di kampung-kampung? Itulah keprihatinan Azmi Abubakar (47), pendiri Museum Peranakan Tionghoa di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten. ”Betapa sering hasil diskusi tentang topik Tionghoa Indonesia berakhir pada saat konferensi atau seminar selesai,” katanya pada salah satu sesi dari belasan diskusi panel di kampus Clayton, Universitas Monash, Melbourne, Australia, Rabu (2/10/2019).
Azmi mengatakan, ia akan membawa hasil konferensi ini sampai ke ”lorong-lorong sempit” agar usaha memperalat masyarakat bawah demi tujuan-tujuan politik sempit bisa ditangkal. Menurut dia, pendidikan bukan jawaban untuk menyelesaikan masalah Tionghoa. Sebab, orang yang berpendidikan pun tidak otomatis terbebas dari sentimen rasial.
”Yang diperlukan adalah suatu cara atau metode,” kata Azmi dalam konperensi tentang sejarah dan identitas Tionghoa Indonesia yang diselenggarakan Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre di Melbourne, 1-3 Oktober 2019. Termasuk dalam metode yang ia maksud adalah pendidikan anti-diskriminasi yang dimulai dari anak didik sejak kecil.
”Pelajaran anti-diskriminasi harus ada dalam buku pelajaran anak sekolah,” kata Azmi.
Di museumnya, ia memiliki koleksi 30.000 benda yang terdiri dari majalah, komik, surat, koran, dan buku. Dari buku-buku yang ia kumpulkan, kata Azmi, ia mengetahui bahwa banyak kiprah orang Tionghoa dalam proses pembentukan bangsa yang dihilangkan dari sejarah.
”Ini harus diluruskan dan setelah itu harus masuk ke kurikulum sekolah agar anak-anak sejak kecil sudah mengenal sejarah mereka,” ujar pencinta buku yang sudah sembilan tahun mengelola museum di samping profesinya sebagai kontraktor bangunan itu.
Museum yang dimilikinya, lanjut Azmi, juga merupakan salah satu metode. ”Pertama, karena museum ini didirikan bukan oleh orang Tionghoa. Kedua, karena museum ini tidak menerima pendanaan dari orang Tionghoa,” ujar pemilik museum yang menjadi salah satu pusat dokumen sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia dan ASEAN.
Ditemui di sela-sela konferensi, Azmi mengatakan, ia terinspirasi mendirikan museumnya dari buku- buku yang dibacanya. Di antara buku itu, antara lain buku Lima Zaman karangan Siauw Giok Tjhan (almarhum), mantan Ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang dipenjara belasan tahun oleh pemerintahan Orde Baru sejak tahun 1965 tanpa pernah diadili.
”Buku ini dahsyat sekali. Sebuah pemikiran kebangsaan yang mendalam,” katanya kepada Kompas.
Orang-orang di akar rumput, menurut Azmi, perlu tahu tentang sejarah orang Tionghoa di Indonesia karena mereka paling rentan diperalat oleh politisi.
Dalam presentasinya, Azmi mengingatkan bahwa sebenarnya sikap diskriminasi terhadap Tionghoa berjalan dua arah. ”Sikap itu juga datang dari orang Tionghoa, ini tidak boleh kita lupakan kalau kita membicarakan masalah Tionghoa,” katanya.
Pelestarian bangunan tua
Apabila Azmi mendirikan museum, budayawan Udaya Halim (66) melestarikan bangunan tua untuk dijadikan museum. Udaya gemar mengutip penyair dari Senegal yang mengatakan, ”Pada akhirnya kita hanya melestarikan apa yang kita cintai, kita hanya mencintai apa yang kita mengerti dan kita hanya mengerti apa yang diajarkan pada kita.”
Pada titik ”apa yang diajarkan pada kita” itulah Azmi dan Udaya bersentuhan. Sebenarnya keduanya sedang bergelut untuk mengajarkan sejarah kepada generasi penerus. ”Kita harus belajar tentang budaya lain agar bisa mengerti, agar bisa mencintai, dan agar bisa melestarikan warisan yang ditinggalkan kepada kita semua,” ujar Udaya saat ditemui di sela konferensi.
Pada tahun 2007 ia membeli sebuah bangunan tua berarsitektur Tionghoa yang dibangun tahun 1684, beratap pelana di kampung halamannya di Tangerang. Restorasi memakan waktu empat tahun sebelum Museum Benteng Heritage di Jalan Cilame, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Banten, itu dibuka untuk umum.
Kini ia sedang memugar sebuah bangunan dua tingkat abad ke-18 di kota Rembang, Jawa Tengah, bekas tempat tinggal Kapitan Liem yang sudah dibelinya untuk dijadikan museum. Rembang dan juga Lasem, dua kota di Jawa Tengah, merupakan tempat tinggal paling tua orang Tionghoa.
Pengalaman memugar bangunan tua itulah yang disampaikan Udaya di salah satu panel diskusi konferensi yang dihadiri seniman, akademisi, dan non-akademisi dari tujuh negara. Udaya mengatakan, ia berharap usaha memugar rumah tinggal Kapitan Liem akan menghasilkan Restoration Award atau Penghargaan Restorasi serta pengakuan dari UNESCO dengan memanfaatkan pengalamannya merestorasi Museum Benteng Heritage.
Jauh sebelum aktif memugar gedung tua, Udaya sudah menggeluti dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah kursus Bahasa Inggris bernama King’s English Course pada awal tahun 1980-an di Tangerang. Ia kemudian mendirikan Prince’s Creative School pada 1993, juga di Tangerang, yang menerima murid sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama.
”Membuat yang biasa menjadi luar biasa adalah moto saya,” ujar Udaya, yang sudah 20 tahun tinggal di Perth, Australia Barat.
Ia memperluas cakrawala budaya anak didiknya sejak kecil dengan membawa mereka ke beberapa negara, antara lain, Singapura, Malaysia, dan Australia sambil memperkenalkan budaya Indonesia, seperti angklung, tarian Saman Aceh, dan Gambang Kromong.
”Murid-murid saya juga mengajarkan permainan congkak pada anak- anak Australia. Saya ingin mereka berjiwa nasional, tetapi berwawasan internasional,” kata Udaya, lulusan SMP yang sering dipanggil profesor berkat pengetahuannya yang mendalam tentang sejarah Tionghoa di Indonesia.