Untuk pertama kali, pemerintah meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan. Ini merupakan instrumen untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Untuk pertama kali, pemerintah meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan. Ini merupakan instrumen untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil penghitungan Indeks Pembangunan Kebudayaan 2018 menunjukkan ada 13 provinsi di Indonesia yang memiliki nilai IPK di atas angka nasional yang sebesar 53,74. Dari 13 provinsi tersebut, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan nilai IPK tertinggi, yaitu sebesar 73,79.
Secara berurutan, sebanyak 13 provinsi yang nilainya di atas IPK nasional meliputi: DIY 73,79; Bali 65,39; Jawa Tengah 60,05; Bengkulu 59,95; Nusa Tenggara Barat 59,92; Kepulauan Riau 58,83; Riau 57,47; Jawa Timur 56,66; Sulawesi Utara 56,02; DKI Jakarta 54,67; Kepulauan Bangka Belitung 54,37; Lampung 54,33; dan Kalimantan Selatan 53,79. Selain 13 provinsi di atas, masih ada 21 provinsi lainnya yang mendapat nilai IPK di bawah nilai nasional.
“Dalam lingkup nasional, berdasarkan hasil penilaian IPK Tahun 2018, pembangunan kebudayaan Indonesia dianggap cukup baik, namun masih perlu terus ditingkatkan. Nilai IPK tingkat nasional dengan rentang nilai 0 – 100 sebesar 53,74,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, Rabu (9/10/2019), di Jakarta. kementerian Pendidikan dan kebudayaan akan meluncurkan IPK 2018 dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (10/10).
Dalam lingkup nasional, berdasarkan hasil penilaian IPK Tahun 2018, pembangunan kebudayaan Indonesia dianggap cukup baik, namun masih perlu terus ditingkatkan.
IPK merupakan instrumen untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan, dan bukan untuk mengukur nilai budaya suatu daerah. Untuk menyiapkan penilaian ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Pusat Statistik menyusun IPK dengan mengacu pada konsep Culture Development Indicators (CDIs) UNESCO.
Diharapkan, indeks tersebut bisa memberikan gambaran bagaimana pembangunan kebudayaan secara lebih holistik dengan memuat tujuh dimensi. Ketujuh dimensi tersebut meliputi dimensi ekonomi budaya, dimensi pendidikan, dimensi ketahanan sosial budaya, dimensi warisan budaya, dimensi ekspresi budaya, dimensi budaya literasi, dan dimensi kesetaraan jender.
Nilai untuk setiap dimensi di tingkat nasional adalah sebagai berikut: dimensi ekonomi budaya (30,55), dimensi pendidikan (69,67), dimensi ketahanan sosial budaya (72,84), dimensi warisan budaya (41,11), dimensi ekspresi budaya (36,57), dimensi budaya literasi (55,03), dan dimensi kesetaraan gender (54,97). Dari angka-angka tersebut tampak bagaimana dimensi ketahanan sosial budaya memiliki nilai paling tinggi, sementara dimensi ekonomi budaya memiliki nilai paling rendah.
Dimensi ketahanan sosial budaya memiliki nilai paling tinggi, sementara dimensi ekonomi budaya memiliki nilai paling rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kebudayaan Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan, dan praktik budaya pada kehidupan sosial cukup baik. Namun demikian, kontribusi kebudayaan dalam mendukung pembangunan ekonomi masih perlu terus ditingkatkan.
Perumusan kebijakan
Publikasi IPK membantu para pengambil kebijakan untuk menyusun kebijakan yang berbasis pengetahuan sehingga ke depan perumusan kebijakan pembangunan kebudayaan di setiap provinsi dan kabupaten/kota bisa lebih tepat sesuai kondisi masing-masing daerah. Selain itu, IPK juga dapat dimanfaatkan para akademisi dan peminat kajian kebudayaan untuk memperkaya data dan informasi terkait pembangunan kebudayaan.
Secara umum, langkah-langkah penghitungan IPK dimulai dengan pemetaan indikator kandidat penyusun IPK, proses seleksi indikator sehingga diperoleh indikator hasil seleksi, normalisasi indikator, penentuan bobot tiap dimensi, dan penghitungan IPK. Hasil penilaian IPK ini diharapkan bisa digunakan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 sebagai acuan untuk memajukan kebudayaan di Indonesia.
Hasil penilaian IPK ini diharapkan bisa digunakan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 sebagai acuan untuk memajukan kebudayaan di Indonesia.
Sebelumnya, mantan Ketua Panja Rancangan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Ferdiansyah mengatakan, kebudayaan dan kearifan lokal menjadi kekayaan dan identitas Indonesia yang harus dimanfaatkan keberadaannya. Oleh karena itu, upaya-upaya pemajuan kebudayaan jangan diartikan sebagai pengeluaran biaya atau anggaran, tetapi investasi.