Persaingan memperebutkan investasi di ASEAN kian intensif. Terakhir, Malaysia memperluas insentif pajak guna mewujudkan ambisi jadi hub bisnis regional/global di Asia Pasifik.
Agresifnya negara-negara ASEAN berlomba menggelontorkan insentif pajak menunjukkan sengitnya kompetisi perebutan investasi asing (FDI) di kawasan. Malaysia tidak hanya menawarkan pemotongan drastis pajak korporasi dari 24 ke 10 persen, tetapi juga memperluas sasaran penerima. Selain insentif pajak, Malaysia juga menggagas reformasi ketenagakerjaan.
Penggunaan insentif pajak dalam rangka menarik investasi bukan baru sekarang terjadi. Namun, di tengah ketidakpastian global, daya saing iklim investasi, termasuk pajak, menjadi sangat menentukan. Perang dagang AS-China, yang melonjakkan tarif bea masuk impor di kedua negara, mendorong investor mencari negara pengganti sebagai basis manufaktur.
ASEAN kawasan paling diuntungkan. Malaysia, Thailand, dan Vietnam terbukti menjadi pemenang, dengan lonjakan paling tajam FDI. Dari 33 perusahaan China yang melakukan relokasi, 23 memilih ke Vietnam, sisanya ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand. Hal serupa terjadi pada relokasi industri Jepang dan Korea.
Kebijakan tarif pajak korporasi yang kompetitif menjadi salah satu keunggulan Vietnam menarik FDI, ditunjang ongkos buruh murah, khususnya di industri manufaktur yang padat karya. Vietnam dan Thailand telah dua kali menurunkan tarif pajak korporasi. Malaysia dan Filipina juga melakukan pembaruan sistem pajak dengan memberikan beberapa insentif seperti pengurangan pajak penghasilan.
Kebutuhan untuk bersaing juga mendorong pemerintahan Jokowi terkesan obral insentif pajak beberapa bulan terakhir. Relaksasi fiskal ini antara lain berupa pembaruan tax holiday, insentif PPN atas impor dan penyerahan jasa dan alat angkut tertentu, insentif pengembangan kendaraan listrik dan supertax deduction untuk kegiatan riset dan vokasi.
Gugatan kita, kenapa Indonesia sebagai pasar terbesar kalah dalam perebutan FDI dari negara-negara tetangganya? Kenapa tak satu pun relokasi dari China memilih Indonesia? Laporan AT Kearney, The 2019 FDI Confidence Index, memang menunjukkan pajak salah satu pertimbangan utama investor memilih tujuan investasi. Namun, ia bukan satu-satunya yang utama. Bagi investor, mungkin bukan tarif pajak itu sendiri, melainkan juga kemudahan dalam pembayaran pajak. Artinya, reformasi sistem perpajakan masih perlu dituntaskan.
Ini juga menunjukkan Indonesia masih kurang kompetitif di mata investor meski 16 paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi sudah diluncurkan. Belum sepenuhnya kondusif iklim investasi, ini pula yang menjadi alasan kenapa risiko pelarian modal masih tinggi, mencapai Rp 189 triliun per pada 10 bulan pertama 2019, dan daya saing ekonomi yang sempat meroket di awal era Jokowi kembali melorot saat ini.
Singkatnya, kita perlu fokus pada pekerjaan rumah yang belum selesai, antara lain regulasi yang menghambat investasi, ekonomi biaya tinggi, tumpang tindih perizinan, pasar kerja yang rigid, dan ketidakpastian hukum. Kita harus memastikan investasi yang masuk bukan hanya portofolio, melainkan juga FDI berorientasi ekspor yang menciptakan lapangan kerja.