Irlandia Pesimistis atas Brexit
Irlandia menilai masih ada kesenjangan besar antara Inggris dan Uni Eropa di tengah proses keluarnya Inggris dari UE. Irlandia pun bergeming dengan penolakannya atas Brexit.
LONDON, RABU— Penegasan soal kesenjangan antara Inggris dan UE itu disampaikan Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar. Varadkar pesimistis kesepakatan akan tercapai hingga tenggang waktu Brexit berakhir.
”Sejujurnya saya pikir akan sangat sulit mencapai sebuah kesepakatan pada pekan depan,” kata Varadkar dalam wawancara dengan RTE, salah satu media di Irlandia.
”Pada dasarnya, apa yang telah dilakukan Inggris adalah menolak kesepakatan yang kami negosiasikan dengan itikad baik dengan PM (Theresa May, mantan PM Inggris) selama dua tahun dan telah disepakati sebagian, seraya mengatakan hal itu adalah sebuah konsesi. Sesungguhnya bukan demikian halnya.”
Komentar tersebut bertentangan dengan pernyataan Pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris mengatakan bahwa justru sikap keras pemimpin UE yang menyebabkan kegagalan dalam negosiasi, minimal sejauh ini.
Sumber dari kalangan pejabat UE pada Rabu (9/10/2019) membantah bahwa Brussels sedang mempersiapkan konsesi utama ke Inggris untuk mengamankan kesepakatan Brexit. Hal itu sebagai bantahan atas pemberitaan The Times. The Times mengatakan, UE siap menawarkan mekanisme bagi Irlandia Utara.
”Sayangnya, tak ada tawaran baru dari pihak UE pada tahap ini,” kata sumber itu. Ia menekankan bahwa blok itu tidak menutup pintu untuk pembicaraan lebih lanjut dengan Inggris.
Pejabat UE lainnya yang berurusan dengan Brexit mengatakan hal senada. Ketika ditanya apakah UE memang siap mengambil langkah seperti itu, ia mengatakan, ”Saya tidak mendengarnya.”
Para pejabat UE umumnya juga mengakui bahwa masih ada kesenjangan terlalu besar di antara sikap kedua belah pihak. Hal itu khususnya mengacu pada pengaturan bea dan cukai setelah Brexit. Ada tawaran terobosan terkait posisi dan peran Irlandia Utara sehingga kesepakatan dapat dicapai.
Otoritas UE mengatakan bahwa pihaknya siap bekerja untuk memberikan otoritas lebih banyak kepada Irlandia Utara setelah Brexit. Namun, Brussels tidak mau menerima mekanisme itu masuk dalam proposal terbaru yang diajukan Inggris.
Pengunduran diri
Di tengah belum tercapainya mekanisme kesepakatan, PM Inggris Boris Johnson dibayangi wacana pengunduran diri dari sejumlah menterinya. Jika benar terjadi, hal itu dinilai sebagai bagian dari pemberontakan sejumlah pejabat di pemerintahannya.
Sebagaimana disebutkan The Times, setidaknya ada lima menteri yang mengambil ancang-ancang untuk mengundurkan diri dari posisi mereka masing-masing saat ini. Menteri Budaya Nicky Morgan, Menteri Inggris untuk Irlandia Utara Julian Smith, Menteri Kehakiman Robert Buckland, Menteri Kesehatan Matt Hancock, dan Jaksa Agung Geoffrey Cox berada dalam daftar itu.
Seorang menteri kabinet yang tidak bersedia disebutkan namanya yang dikutip surat kabar itu mengatakan bahwa ”sangat banyak” anggota parlemen Konservatif akan mundur jika Brexit berakhir tanpa ada kesepakatan.
Pada saat yang sama, Financial Times menurunkan laporan yang menyatakan setidaknya 50 anggota parlemen dari Partai Konservatif akan memberontak terhadap manifesto pemilihan umum yang bertujuan mencapai Brexit tanpa kesepakatan.
Sementara itu, pengadilan Skotlandia telah memutuskan tidak memerintahkan PM Johnson menulis surat yang isinya meminta UE menunda Brexit.
Pengadilan mengatakan belum perlu membuat keputusan karena pemerintah telah berjanji mematuhi undang-undang yang memerintahkannya untuk meminta penundaan jika tidak ada kesepakatan atas Brexit sesuai yang disepakati pada 19 Oktober 2019.
Banyak anggota Parlemen Inggris bertekad mencegah Brexit yang menurut para ekonom akan menjerumuskan ekonomi Inggris ke dalam resesi. Bulan lalu, mereka mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan pemerintah menunda Brexit daripada keluar tanpa kesepakatan pada 31 Oktober. (AP/AFP/REUTERS/BEN)