Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Di tengah kondisi industri yang dinamis, pelaku sektor properti masuk ke pasar pengguna akhir atau pembeli properti untuk digunakan sendiri. Berbagai peluang mesti dimanfaatkan.
Laporan Colliers International Indonesia triwulan III-2019 menunjukkan, pasar perkantoran dan apartemen masih tertekan. Kendati permintaan atau pencarian ruang perkantoran tetap ada, namun pasokan ruang kantor besar.
“Kami melihat permintaan dan proses mencari ruang kantor terus meningkat, terutama di awal tahun ini dan masih terlihat sampai sekarang. Akan tetapi, proses ini belum terefleksi ke transaksi,” kata Head Research Department Colliers International Indonesia Ferry Salanto, Rabu (9/10/2019), di Jakarta.
Pasokan perkantoran seluas 6,7 juta meter persegi di kawasan pusat bisnis, dengan tingkat hunian 82,8 persen. Adapun di luar kawasan pusat bisnis, pasokan perkantoran 3,3 juta meter persegi dengan tingkat hunian 86,7 persen.
Senior Director of Office Services Department Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo menambahkan, rata-rata permintaan ruang perkantoran sekitar 300.000 meter persegi per tahun, sedangkan pasokannya melebihi permintaan. Jika dulu gedung perkantoran hanya seluas 30.000 meter persegi, kini sebuah gedung perkantoran dapat memasok hingga 100.000 meter persegi.
“Kondisi kelebihan pasokan yang terjadi sekarang otomatis akan terjadi sampai 2021. Jika suplai berhenti atau berkurang pada 2022, baru bisa mulai seimbang antara suplai dengan pasokan,” kata Bagus.
Tingkat hunian perkantoran dipastikan membaik seiring perbaikan kondisi perekonomian.
Apartemen
Sementara itu, pasar apartemen saat ini juga lesu. Total stok apartemen 209.286 unit, sedangkan serapannya hanya 87 persen dan diperkirakan akan stagnan sampai dengan akhir tahun ini. Pengembang lebih fokus menjual profuk yang sudah ada dan tidak meluncurkan produk baru.
“Dengan kondisi penjualan apartemen yang lesu, maka pengembang juga mengurangi jumlah produk yang diluncurkan ke publik,” kata Ferry.
Menurut Ferry, kebijakan pemerintah merelaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dapat mendorong properti residensial baik tapak maupun hunian vertikal mewah. Namun, pasarnya kecil, sehingga tidak terlalu berdampak terhadap industri properti secara keseluruhan.
Dengan kondisi seperti itu, lanjut Ferry, pengembang mesti masuk ke segmen menengah-bawah yang merupakan pembeli untuk dihuni, termasuk rumah subsidi. Sebab, pasar tersebut selalu terbuka.
Kendati demikian, kebijakan tersebut masih belum maksimal mendorong properti. Salah satu penyebabnya, suku bunga kredit perbankan yang dinilai masih tinggi. Sebab, dengan uang muka rendah, angsuran lebih besar. Beban tersebut menjadi lebih berat ketika suku bunga kredit masih tinggi seperti saat ini, yakni berkisar dua angka.
Sementara itu, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, mengatakan, tambahan dana subsidi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) telah ditunggu pengembang. Pihaknya berharap agar tambahan kuota subsidi tersebut dapat segera direalisasikan di lapangan. (NAD/ECA)