Penanganan Kasus Pengantin Pesanan Hadapi Kendala Eksternal
›
Penanganan Kasus Pengantin...
Iklan
Penanganan Kasus Pengantin Pesanan Hadapi Kendala Eksternal
Penanganan kasus pengantin pesanan menemui banyak kendala, termasuk dari sisi eksternal. Tidak semua negara menganggap kasus pengantin pesanan berpotensi sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penanganan kasus pengantin pesanan menemui banyak kendala, termasuk dari sisi eksternal. Tidak semua negara menganggap kasus pengantin pesanan berpotensi sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat, jumlah kasus pengantin pesanan dari Indonesia menuju China meningkat menjadi 12 kasus pada 2017, 26 kasus pada 2018, dan 42 kasus pada 2019. Sebagai catatan, kasus pengantin pesanan kebanyakan berasal dari China.
Wakil Duta Besar Indonesia untuk China, Listyowati mengatakan, Indonesia dan China perlu menyatukan pemahaman mengenai kasus pernikahan lintas negara yang terindikasi sebagai TPPO. China masih beranggapan kasus pengantin pesanan sebagai masalah rumah tangga antara pasangan suami-istri beda kewarganegaraan.
“Konsep pernikahan di setiap negara berbeda karena ada juga konsep pernikahan transnasional. Setahu kami, Beijing sedang melakukan pendalaman mengenai kasus ini,” kata Lustyowati di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Pemahaman yang belum sejalan membuat penanganan kasus pengantin pesanan tidak berjalan optimal. Namun, menurut dia, China mulai merespon pengaduan Indonesia meskipun Indonesia tidak memeroleh informasi terkait progres penindakan pengantin pesanan dari China.
“Kami tentu menghormati peraturan dan prosedur yang berlaku di sana. Namun, kedua negara perlu melakukan kajian dan penyamaan persepsi. Kami akan kembali berdialog dalam waktu dekat dan kami akan sampaikan kembali agar China ikut mendalami masalah ini,” tutur Listyowati.
Penyidik Satgas TPPO Bareskrim Polri AKP Henry Prihantoko menyampaikan, dari kacamata hukum, calon pengantin dari kedua negara merupakan korban. Perekrut lapangan dan sponsor (agen) masuk kategori sebagai pelaku kejahatan.
“Penyelidikan kami menempuh mekanisme yang susah karena sudah lintas batas negara. Untuk mengirim surat pemberitahuan mengenai sponsor di negara lain, misalnya, kami perlu mengkaji apakah kedua negara memiliki kerja sama atas kasus tersebut,” ujar Henry.
Bareskrim Polri tengah menangani satu kasus pengantin pesanan dari 13 kasus TPPO yang diselidiki pada 2019. Sepanjang tahun ini, satu orang pelaku telah ditangkap.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Widodo menambahkan, untuk mencegah kasus yang terindikasi TPPO terus berkembang, pihak imigrasi mengetatkan penyaringan paspor. Warga negara Indonesia yang terindikasi TPPO akan ditunda penerbitan paspor atau keberangkatannya.
Dirjen Imigrasi mencatat, jumlah paspor yang ditunda untuk diterbitkan sebanyak 16.430 buku dan WNI yang dibatalkan penerbangan sebanyak 1.919 orang selama 2017 hingga September 2019. Mereka terindikasi sebagai pekerja migran luar prosedur dan terlibat TPPO.
Berubah
Listyowati mengatakan, peningkatan kasus pengantin pesanan selama beberapa tahun terakhir terjadi akibat pergeseran pola pikir. Pengantin pesanan tidak lagi menjadi isu sosial dan budaya.
Dirjen Imigrasi mencatat, jumlah paspor yang ditunda untuk diterbitkan sebanyak 16.430 buku dan WNI yang dibatalkan penerbangan sebanyak 1.919 orang selama 2017 hingga September 2019
Sejumlah pihak, khususnya sponsor, melihatnya sebagai peluang bisnis. Calon pengantin laki-laki bisa membayar sebesar Rp 300 juta-400 juta untuk memeroleh pasangan.
“Kita harus memutus mata rantai ini dari hulu hingga ke hilir. Dari sisi domestik, kita harus melakukan upaya pencegahan supaya kasus ini tidak terulang. Jadi, kami akan meningkatkan hubungan diplomatik dengan China dalam berbagai tingkatan, baik itu menteri, dirjen, dan deputi,” tuturnya.
Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi pendorong utama yang membuat WNI banyak terjebak kasus pengantin pesanan. Kedua akar permasalahan ini perlu diatasi untuk mencegah kasus terulang.
Secara terpisah, Ade, korban pengantin pesanan dengan nama samaran, mengatakan, masalah ekonomi merupakan alasan utama sehingga dirinya sempat bersedia untuk menjadi pengantin pesanan. “Namun, saya berubah pikiran sehingga batal berangkat ke China,” tuturnya.