Persepsi wajib pajak mengenai prospek perekonomian Indonesia mendatang merupakan salah satu hal yang menentukan penempatan dana repatriasi.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO /KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persepsi wajib pajak mengenai prospek perekonomian Indonesia mendatang merupakan salah satu hal yang menentukan penempatan dana repatriasi. Dana repatriasi diyakini tetap berada di dalam negeri sejauh memberikan hasil yang menarik.
Demikian pendapat sejumlah kalangan ketika dimintai pandangan mengenai dana repatriasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Pengampunan Pajak, wajib pajak harus menempatkan dana repatriasi di dalam negeri paling singkat selama tiga tahun. Dengan demikian, masa penempatan dana repatriasi dari pengampunan pajak periode I dan II berakhir pada 31 Desember 2019.
Dana yang dideklarasikan pada pengampunan pajak senilai Rp 4.866 triliun, yang Rp 146,7 triliun di antaranya direpatriasi.
”Dana repatriasi itu ada yang sudah ditanam dalam bentuk investasi di perusahaan, tetapi ada juga yang masih bersifat portofolio, seperti dalam wujud saham dan obligasi,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani ketika dihubungi, Rabu (9/10/2019).
Menurut dia, penempatan dana repatriasi, terutama berupa portofolio, dipengaruhi persepsi wajib pajak dalam memandang prospek ekonomi Indonesia.
Selain itu, tambah Hariyadi, sepanjang regulasi betul-betul mampu menjamin arah perkembangan ekonomi mendatang lebih solid, dana repatriasi juga akan tetap bertahan di Indonesia.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menuturkan, jaminan keamanan akan mempertahankan dana repatriasi tetap di Indonesia dalam bentuk investasi.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menuturkan, pemilik dana memikirkan cara untuk meningkatkan hasil dana tersebut. ”Pergerakan dana, apakah akan bertahan di Indonesia atau pindah ke luar negeri, kemungkinan akan ditempatkan pemilik dana di instrumen-instrumen atau bentuk investasi dengan memperhitungkan imbal hasil yang menguntungkan,” kata Piter.
Namun, Piter menilai, keterbatasan instrumen merupakan salah satu isu terkait pemanfaatan dana repatriasi.
Tantangan agar dana repatriasi dapat ditanamkan di sektor riil masih seputar isu proses perizinan yang selama ini menghambat investasi. Hambatan seperti ini harus segera diselesaikan, termasuk melalui terobosan untuk memperlancar investasi.
”Kalau itu bisa dilaksanakan, bukan hanya instrumen keuangan yang bisa menjadi pilihan untuk mempertahankan dana repatriasi, tetapi juga pada investasi langsung di sektor riil,” kata Piter.
Dana yang ditempatkan di instrumen keuangan lebih mudah masuk dan keluar pasar Indonesia dibanding dengan diinvestasikan langsung di sektor riil. Dana di instrumen keuangan kapan pun bisa keluar sehingga ada harapan pemilik menempatkan dana repatriasi dalam investasi langsung.
”Terobosan-terobosan, seperti pemerintah menginisiasi skema konsesi terbatas, khususnya di sektor infrastruktur, saya kira bisa menjadi solusi atau wadah untuk menampung dana-dana repatriasi yang sudah habis waktunya,” ujar Piter.
Pemerintah masih merumuskan strategi untuk mengantisipasi pembalikan dana repatriasi ke luar negeri. Koordinasi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang mengelola dana repatriasi juga tengah dilakukan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman, kepada Kompas, Rabu (8/10/2019), mengatakan, dana repatriasi yang ditempatkan di Tanah Air itu disimpan dan dikelola perbankan dan lembaga keuangan.
Luky menambahkan, pemerintah memantau pergerakan dana repatriasi yang disimpan dan dikelola perbankan dan lembaga keuangan. Sebagian dana ditempatkan dalam bentuk ekuitas atau penanaman modal. Penempatan dana repatriasi juga bisa sesuai preferensi pemilik dana, misalnya, surat utang, deposito, dan saham. (CAS/KRN)