Regenerasi Politik di Keluarga
Selain menjadi ajang kontestasi, Pemilu 2019 juga menjadi panggung kaderisasi politik sesama anggota di satu keluarga. Kaderisasi dan seleksi di internal parpol jadi syarat terwujudnya anggota legislatif berkualitas.
Panggung Pemilu 2019 ternyata tidak sekadar ajang kontestasi antarcalon anggota legislatif partai politik, tetapi juga panggung kaderisasi politik sesama anggota dalam sebuah keluarga. Fenomena kekerabatan politik pun melekat dalam politik kita.
Fenomena ini konsekuensi dari sistem pemilu yang memberikan ruang bagi semua warga negara memilih dan dipilih. Apalagi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mengatur larangan calon anggota legislatif (caleg) dalam satu keluarga yang sama maju di pemilu. Artinya, seseorang dalam satu keluarga tidak dibatasi untuk maju di pemilu.
Upaya membatasi praktik kekerabatan atau dinasti politik sebenarnya pernah dilakukan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menyebutkan larangan calon kepala daerah yang punya hubungan kerabat dengan petahana. Larangan ini untuk membatasi munculnya calon yang punya hubungan keluarga dengan petahana yang tak bisa maju kembali karena sudah menjabat dua periode.
Aturan ini pun kandas setelah Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, mengajukan uji materi karena dinilainya membatasi hak politik untuk dipilih sebagai kepala daerah. Pada 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi itu. Dengan keputusan ini, calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana dapat maju di pilkada tanpa harus menunggu jeda satu periode setelah petahana tak menjabat.
Sementara itu, di pemilu legislatif belum ada upaya membatasinya. Tak heran jika pada Pemilu 2019, tak sedikit caleg yang muncul punya hubungan kekeluargaan dengan elite politik yang selama ini menghiasi panggung politik, termasuk di daerah.
Tak adanya batasan persyaratan terkait hubungan kekerabatan memang membuka pintu lebar elite politik membangun dinasti, yang salah satunya dengan cara memberi kesempatan kepada anggota keluarganya masuk gelanggang politik.
Akibatnya, pada Pemilu 2019 banyak anggota keluarga bersamaan terpilih jadi anggota legislatif. Lihat saja di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Hasil Pemilu 2019 di daerah ini mencatat, dari 30 anggota DPRD terpilih, lima di antaranya bersaudara. Dari lima bersaudara, empat adalah saudara kandung dan satu lagi saudara ipar. Kelima legislator bersaudara ini berlatar belakang Partai Nasdem (3 orang), PKB (1 orang), dan Partai Golkar (1 orang).
Derajat kekerabatan
Hal yang hampir sama juga terjadi di tingkat DPR. Hal ini, misalnya, terlihat di daerah pemilihan (dapil) Banten I yang meliputi Pandeglang dan Lebak. Dari enam kursi yang diperebutkan, dua di antaranya berhasil direbut pasangan ayah dan anaknya, meski mereka berasal dari parpol berbeda. Hal ini dialami anggota legislatif terpilih dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Achmad Dimyati Natakusumah dan putranya, Rizki Aulia Rahman Natakusumah, yang maju dari Partai Demokrat.
Keberhasilan pasangan ayah dan anak ini mengulang sukses sebelumnya yang diraih Dimyati bersama istrinya, Irna Narulita. Pada Pemilu 2009, Dimyati dan Irna sama-sama terpilih jadi anggota DPR periode 2009-2014 di dapil yang sama, Banten I. Sebelum maju di pemilu, Dimyati adalah Bupati Pandeglang dua periode (2000-2005, 2005-2009).
Pada Pemilu 2014, pasangan suami-istri ini kembali maju di dapil yang berbeda. Irna tetap terpilih dari dapil Banten I, sedangkan Dimyati kembali terpilih dari dapil DKI Jakarta III. Pasangan suami-istri ini kembali jadi anggota DPR 2014-2019. Namun, pada 2016, Irna terpilih sebagai Bupati Pandeglang.
Terpilihnya Dimyati dan Rizki pada Pemilu 2019 meneguhkan dapil Banten I sebagai wilayah yang ”dikuasai” keluarga. Rekam jejak kontestasi antara Dimyati dan istrinya yang dilanjutkan putranya semakin meneguhkan pemilu jadi pintu masuk proses kaderisasi politik keluarga politisi.
Fenomena pasangan suami-istri terpilih bersama jadi anggota DPR juga terjadi pada Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani dan istrinya, Himmatul Aliyah. Pasangan ini maju lewat Partai Gerindra, tetapi dari dapil berbeda. Muzani terpilih jadi anggota DPR lewat dapil Lampung I dengan perolehan suara 61.995, sedangkan istrinya dari dapil DKI Jakarta II dengan 92.289 suara. Tercatat baru di Pemilu 2019 ini pasangan ini terpilih bersamaan.
Kaderisasi
Selain suami-istri, fenomena menarik lain dari terpilihnya anggota DPR 2019-2024 adalah upaya menjadikan pemilu sebagai proses kaderisasi bagi putra dan putri politisi yang sebelumnya dikenal luas publik. Memang ini bukan hal baru karena pada pemilu sebelumnya praktik tersebut juga terjadi. Namun, pada pemilu tahun ini, terlihat lebih banyak muncul sosok baru yang merupakan kader politik dari orangtuanya yang sebelumnya terjun ke politik.
Mereka antara lain Puteri Komarudin, putri dari politikus senior Partai Golkar sekaligus mantan Ketua DPR Ade Komarudin. Puteri terpilih melalui dapil Jawa Barat VII dari Golkar dengan perolehan suara 70.164. Ini dapil yang sama yang selama ini mengantarkan Ade Komarudin terpilih jadi anggota DPR sejak Pemilu 1997 sampai Pemilu 2014. Terpilihnya Puteri disinyalir jadi proses regenerasi dari Ade Komarudin, sang ayah.
Hal yang sama dialami Putra Nababan yang terpilih di dapil DKI Jakarta I dari PDI-P dengan perolehan suara 101.769. Putra merupakan anak politikus senior PDI-P Panda Nababan. Terakhir, Panda adalah anggota DPR terpilih di Pemilu 2009 melalui dapil Sumatera Utara I. Selain Puteri Komarudin dan Putra Nababan, ada sejumlah pendatang baru di parlemen yang juga mewarnai proses kaderisasi politik dari keluarga politisi.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI Aditya Perdana menyebut, munculnya fenomena kekerabatan dalam politik tidak lepas dari sistem pemilu terbuka. Upaya kaderisasi dalam keluarga secara politik menjadi terbuka lebar karena secara sistem, pemilu memang terbuka untuk siapa pun. ”Sistem pemilu kita memunculkan kecenderungan ke arah figur yang populer pasti dapat dukungan publik,” ujar Aditya.
Meski demikian, proses kaderisasi yang menjadikan kekerabatan sebagai medianya jangan mendegradasi peran parpol. Seperti diutarakan Syamsudin Haris (2015), munculnya politik dinasti tak lain karena oligarki parpol. Sistem seleksi ketat dan berorientasi pada kualitas bakal calon harus ditekankan pada setiap parpol yang ikut berkontestasi. Harapannya, cara ini menghasilkan sosok anggota legislatif dan pemimpin eksekutif yang lebih teruji dan berkualitas.
(YOHAN WAHYU/Litbang Kompas)