Situ Hilang Bencana Datang
Situ-situ di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi terancam hilang. Sejumlah situ dikuasai pengembang dan diperjualbelikan. Akibatnya, bencana banjir bisa datang kapan saja
JAKARTA, KOMPAS - Terdapat 208 situ di Jabodetabek yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dari jumlah tersebut, 30 situ di antaranya dikuasai perusahaan dan individu melalui sertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (HGB), dan hak guna usaha (HGU).
Penguasaan situ lewat penerbitan SHM dan HGB menyebabkan sejumlah situ di Jabodetabek beralih fungsi. Situ tak lagi berfungsi sebagai penampung resapan air maupun pengendali banjir.
Liputan investigasi Kompas sepanjang September mengungkap, penguasaan situ oleh korporasi dan individu ternyata sudah bertahun-tahun. Pengembang memiliki alas hak dalam bentuk SHM dan HGB seperti Situ Kayu Antep dan Rompang di Tangerang Selatan. Selain itu, Kompas menemukan seluas 15 hektar dari 18 hektar lahan Situ Gunung Putri, Kabupaten Bogor, telah dimiliki perusahaan lewat jual-beli 59 girik tahun 2007 dan 2013.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah mengatakan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang lintas provinsi menjadi kewenangan pemerintah pusat, termasuk situ yang menjadi bagian dari DAS. “Sebanyak 208 situ di Jabodetabek itu pun menjadi kekayaan negara” ujar Bambang di Jakarta, pertengahan September lalu.
Penguasaan situ oleh korporasi dan individu memicu sengketa perdata di pengadilan. Namun di pengadilan, negara hampir selalu kalah.
Dari direktori putusan Mahkamah Agung, diketahui identitas pemegang SHM, HGB, dan dokumen girik, yang diterbitkan di atas situ-situ tersebut. Sertifikat yang diterbitkan di Situ Kayu Antep tercatat atas nama PT Hana Kreasi Persada. Di Situ Gunung Putri, PT Fantasi Gunung Putri memperoleh setidaknya 59 dokumen girik yang dibeli dari warga setempat. Adapun Situ Rompang tengah disengketakan di Pengadilan Negeri Tangerang, melibatkan PT Harapan Permai Indonesia (PT Harperindo) selaku pemilik sertifikat tanah, dengan Pemkot dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tangsel.
Baca juga : Empat Situ di Tangsel Diusulkan Ditata
Setelah melalui proses persidangan hingga pengadilan tinggi, seluruh dokumen tanah itu dinyatakan sah oleh majelis hakim. Kedua perusahaan pemilik dokumen tanah itu pun memperoleh legitimasi sebagai pemilik lahan kedua situ tersebut.
Adapun Situ Rompang sedang disengketakan di Pengadilan Negeri Tangerang yang melibatkan PT Harapan Permai Indonesia (PT Harperindo) selaku pemilik dokumen sertifikat tanah, dengan Pemerintah Kota Tangsel dan BPN Tangsel.
Tak bisa dimiliki
Sebenarnya situ tak boleh diperjualbelikan. Pemerintah menetapkan situ sebagai wadah air, kawasan lindung untuk konservasi air dan pengendali banjir. Pemerintah mencatat 208 situ di Jabodetabek sebagai kekayaan negara di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan.
“Situ itu enggak bisa dimiliki. Baik situ buatan maupun alami, dua-duanya enggak bisa dimiliki. Masyarakat boleh menggunakan, tapi bukan memiliki,” jelas Direktur Barang Milik Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan Encep Sudarwan.
Sebenarnya situ tak boleh diperjualbelikan. Pemerintah menetapkan situ sebagai wadah air, kawasan lindung untuk konservasi air dan pengendali banjir.
Kenyataannya, pemerintah kesulitan menyelamatkan situ-situ di Jabodetabek yang telanjur diperjualbelikan dan beralih fungsi. Proses peradilan melegitimasi kepemilikan situ oleh pengembang.
Situ Kayu Antep, contohnya, dapat dimiliki dan dikuasai oleh pengembang PT Hana Kreasi Persada sejak adanya putusan Pengadilan Tinggi Banten pada 2012.
Direktur Utama PT Hana Kreasi Persada, Hendrik Kadarusman mengungkapkan, perusahaannya bukan pihak pertama yang memiliki lahan situ. PT Hana membeli dari ahli waris pihak yang menguasai situ dengan alas hak berupa SHM. Lahan itu terbagi atas dua sertifikat.
Sertifikat pertama diterbitkan pertama kali oleh BPN atas nama Tadjuddin seluas 12.000 meter persegi atau 1,2 hektar pada 1974 dalam bentuk SHM, dan sertifikat kedua diterbitkan atas nama Itera Suhadi seluas 5.000 meter persegi atau 0,5 hektar pada 1998 dalam bentuk HGB.
SHM atas nama Tadjuddin sempat dibeli Darnelis pada 1996. Dari ahli waris Darnelis, menurut Hendrik, pihaknya membeli lahan itu pada 2008, dan dokumen tanahnya diproses menjadi HGB atas nama PT Hana Kreasi Persada.
Pada 2010, majelis hakim Pengadilan Negeri Serang memutuskan Sertifikat HGB atas nama PT Hana Kreasi Persada sebagai dokumen tanah yang sah. Asal usul HGB yang berasal dari SHM atas nama Tadjuddin dan Darnelis pun disinggung di dalam putusan tersebut. Keputusan itu kembali diperkuat di Pengadilan Tinggi Banten pada 2012 dalam gugatan banding yang diajukan Pemerintah Provinsi Banten.
Dalam pertimbangannya, tertuang dalam putusan Nomor 13/PDT/2012/Pt.Btn, majelis hakim Pengadilan Tinggi Banten menilai, sertifikat HGB atas nama PT Hana Kreasi Persada dalam penerbitannya telah sesuai prosedur seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
“Terbukti di pengadilan, dokumen kami dinyatakan sah oleh hakim. Kami membeli dengan cara benar,” jelas Hendrik.
Berkat putusan pengadilan pula, PT Fantasi Gunung Putri yang diwakili Hans Karyose memperoleh legitimasi sebagai pemilik lahan seluas 15 hektar yang teridentifikasi oleh BBWSCC berada di Situ Gunung Putri.
Di Pengadilan Negeri Cibinong Kelas 1A, kepemilikan lahan itu dibuktikan dengan 55 surat pelepasan hak dan 4 perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dengan girik tertanggal tahun 2007 dan 2013 yang dimiliki PT Fantasi Gunung Putri. Pada Oktober 2018, majelis hakim memutuskan seluruh dokumen girik itu sah.
PT Fantasi Gunung Putri yang diwakili Hans Karyose memperoleh legitimasi sebagai pemilik lahan seluas 15 hektar yang teridentifikasi oleh BBWSCC berada di Situ Gunung Putri.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim PN Cibinong menyatakan surat-surat pelepasan hak tersebut telah sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Permenag Nomor 3/1997). Hal itu karena pelepasan hak itu disaksikan Kepala Desa Gunung Putri dan diketahui Plt. Camat Gunung Putri.
Pada mulanya gugatan ini berangkat dari keberatan pihak PT Fantasi Gunung Putri terhadap aktivitas BBWSCC yang melaksanakan pengerukan Situ Gunung Putri. Pengerukan itu dianggap memasuki areal milik PT Fantasi Gunung Putri.
Sebagai tergugat dalam sengketa lahan Situ Gunung Putri, BBWSCC telah berupaya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Namun hakim pengadilan tinggi kembali memenangkan PT Fantasi Gunung Putri.
Agar situ itu tak lepas dari negara, pada Agustus 2019, BBWSCC kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Topan Oddye Prasetyo, kuasa hukum Hans menyampaikan, kliennya memiliki seluruh dokumen pelepasan hak atas tanah tersebut. “Dokumen kami lengkap,” ucapnya.
Lihat juga : Denyut Kehidupan Situ Cibeureum Saat Kemarau
Di Kantor Desa Gunung Putri, tak ditemukan data terkait lahan Situ Gunung Putri. Sekretaris Desa Gunung Putri, Aep Saepuloh mengaku, berdasarkan informasi dari perangkat desa sebelumnya, Situ Gunung Putri disebutkan memiliki luas 5,2 hektar. Sementara data dari BBWSCC, luas Situ Gunung Putri tercatat sekitar 18 hektar.
“Kami sih (tahu) dari yang dulu-dulu kerja di sini bahwa situ luasnya 5,2 hektar. Dan itu menurut mantan kepala desa juga,” kata Aep.
Sementara Plt. Camat Gunung Putri, M Hery Heriadi mengaku, tak paham soal adanya surat pelepasan hak dan PPJB di Situ Gunung Putri, dan ia juga tak mengenal Plt Camat saat itu. Hery juga mengaku tak mengetahui siapa yang memberi izin sehingga PT Fantasi Gunung Putri memperoleh surat pelepasan hak. Ia malah berbisik, “Saya juga bingung, situ kan punya negara.”
Sementara dalam pertimbangan majelis hakim yang dimuat dalam putusan PN Cibinong, disebutkan izin lokasi PT Fantasi Gunung Putri diterbitkan oleh Bupati Bogor.
Izin itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor 591/407/Kpts/Huk/2007 tentang pemberian izin lokasi kepada PT Fantasi Gunung Putri untuk memperolah tanah yang diperlukan dalam rangka pembangunan pusat rekreasi dan wisata seluas 15 hektar di Desa Gunung Putri.
Melihat nomor surat keputusan itu, Kepala Seksi Perencanaan Ruang PUPR Kabupaten Bogor Erik Mohamar menyampaikan, ada kemungkinan itu diterbitkan oleh Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. Namun dia tidak bisa menyebutkan nama pejabat yang menerbitkannya. “Saya tidak tahu,” ucapnya.
Demikian pula terkait 59 girik di lahan Situ Gunung Putri yang dimiliki PT Fantasi Gunung Putri, Erik pun mengaku, tidak mengetahuinya. Menurutnya hingga saat ini Kabupaten Bogor memang belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sehingga belum dapat mengendalikan pemanfaatan dan alih fungsi lahan per kecamatan. Kabupaten Bogor baru memiliki Perda 11/2016 tentang RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036.
Diblokir
Lewat gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang, lahan Situ Rompang kini tengah diupayakan dapat dimiliki secara utuh oleh PT Harperindo selaku pemegang 3 SHM yang terbit di area situ. Rasyid Tarmizi, wakil dari PT Harperindo mengungkapkan, ada 4 SHM yang terbit di lahan Situ Rompang. Namun hanya 3 SHM seluas 3 hektar yang dimiliki PT Harperindo.
Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah, Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN, Budi Situmorang mengakui, diterbitkannya sertifikat lahan situ di masa lampau, menyebabkan situ sebagai aset negara berpotensi hilang. “Ya begitulah. Kami memang mengakui bahwa dulu zamannya tidak jelas. Zaman antah berantah, kami memang susah menjawabnya,” katanya.
Menurut Budi, baru saat ini BPN mengacu pada peraturan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) untuk menerbitkan sertifikat tanah. Dengan demikian kawasan lindung dapat dijaga, seperti situ.
Namun masalahnya, lanjutnya, RDTR yang sudah dijadikan Perda oleh pemerintah daerah itu jumlahnya masih sedikit. “Cuma persoalannya, berapa RDTR yang sudah ada? Yang sudah siap kan seperti Jakarta dan Bandung. Yang berat (permasalahannya) adalah di daerah yang tidak memiliki RDTR,” terangnya.
Bukti Formil
Sementara menanggapi beberapa putusan pengadilan yang memenangkan pengembang, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah menyampaikan, bahwa di persidangan MA dan pengadilan berfungsi mencari kebenaran formil dalam masalah perkara perdata. “Siapa yang bisa menunjukkan bukti surat yang autentik maka itu lah yang memiliki hak,” jelasnya.
Ia menambahkan, kalau masyarakat sudah memiliki bukti kepemilikan yang jelas, diproses dengan benar sesuai peraturan perundang-undangan, dan sertifikat tanah dikeluarkan oleh lembaga yang sah, maka orang itu harus memperoleh perlindungan.
“Kalau itu memang kesalahan dari lembaga yang mengeluarkan (sertifikat) karena kurang kehati-hatian, seharusnya lembaga itu yang bertanggung jawab. Bukan masyarakat yang dibebani tanggung jawab,” ucapnya.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah menambahkan untuk melindungi seluruh situ di Jabodetabek, Kementerian PUPR bersama Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri telah berupaya menerbitkan sertifikat untuk 208 situ itu supaya tidak dimiliki pihak lain. Sejak 2017, dari 8 situ yang diusulkan BBWSCC kepada BPN untuk diterbitkan sertifikat, baru 4 situ yang berhasil diterbitkan sertifikat hak pakai (SHP) atas nama pemerintah, yakni Situ Pagam, Situ Cogreg, Situ Tlajung Udik, dan Situ Rawa Lumbu.
“Kita usulkan 8, baru 4 situ yang disertifikatkan BPN,” ucapnya.
Sementara berdasarkan data pada peta bidang tanah ATR/BPN, baru Situ Tlajung Udik yang diberikan warna hijau, simbol warna untuk bidang tanah dengan status SHP. Sementara 3 situ lainnya yang sudah diterbitkan SHP belum diberikan warna hijau di peta bidang tanah tersebut.
Baca juga : "Waktu Ada Situ, Sumur Enggak Mudah Kering"
Gubernur Banten Wahidin Halim menyampaikan, sebagai pemerintah daerah, pihaknya telah berkomitmen tak akan menerbitkan maupun mencabut surat apa pun yang bisa menyebabkan situ di wilayah Banten lepas dari penguasaan negara. “Pemda secara tegas, situ akan kita tata, normalisasi. Karena itu (situ) sumber minum warga,” jelasnya.
Mantan camat di wilayah Tangerang dan mantan Walikota Tangerang ini mengungkapkan bahwa, perlindungan terhadap situ telah dibahas sejak lama, semenjak DKI Jakarta dipimpin Gubernur Sutiyoso. Jika situ dipelihara maka keuntungannya bagi Jakarta karena bisa menjadi pengendali banjir.
“Buat masyarakat (sekitar situ), situ untuk konservasi air, dan danau-danau itu menjadi sumber air masyarakat. Itu jadi kantong-kantong yang bisa menjadi sumber air baku,” jelas Wahidin.
Banjir
Hilangnya situ karena berubah fungsi terbukti mengakibatkan bencana. Situ Ciming di Depok kini menjadi Perumahan Mekar Perdana. Warga perumahan, Sulaeman dan Widarso menyampaikan, sejak 2005 Perumahan Mekar Perdana terus-menerus dilanda banjir setiap musim hujan.
Situ Asem di Kelurahan Mekarwangi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, sejak 1998 telah menjadi perumahan Tamansari Persada. Sejak itu, menurut warga setempat, Icah, banjir senantiasa menghampiri rumahnya saat hujan deras.
Untuk menyelamatkan situ-situ di Jabodetabek yang tersisa, pakar hukum agraria Universitas Indonesia, Suparjo mengingatkan agar BPN tidak hanya menjadi lembaga pengukur tanah. BPN diminta tak mudah mengeluarkan sertifikat di area situ. Suparjo mengatakan, BPN harus aktif menjaga kawasan lindung termasuk situ.
Amanat ini tercantum pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria (UUPA). Pasal 1 UUPA menyatakan, bumi, air, angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan kekayaan nasional. Melalui UU tersebut, pemerintah telah berupaya membaca alam dan mengajarkan cara menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
“UUPA mengamanatkan penguasaan tanah tidak boleh merusak lingkungan hidup. Kalau UU tidak dipatuhi maka keseimbangan alam terganggu. Ini di luar kekuasaan manusia, tebusannya mahal,” katanya.
Regulasi Kontradiktif
Terkait penggunaan girik sebagai dasar kepemilikan lahan pun, Suparjo menegaskan, sudah sejak 1993 Direktorat Jenderal Pajak melarang kantor pertanahan, para notaris, dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), menggunakan dokumen girik sebagai alas hukum dalam peralihan hak atas tanah. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-32/PJ.6/1993 tentang tindak lanjut larangan penerbitan girik.
Namun masalahnya, lanjut Suparjo, PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah itu masih memperbolehkan penggunaan girik untuk pendaftaran tanah.
“Celakanya, di peraturan pendaftaran tanah, PP 24/1997 masih narik (girik) itu lagi. Padahal Dirjen Pajak sudah melarang menerbitkan (girik), nggak boleh lagi karena banyak (girik) disalahgunakan. Pun di situ nggak ada solusinya. Harusnya dokumen-dokumen menyangkut pajak tanah zaman dulu (girik) itu diserahkan ke yang ngurusin tanah (BPN). Tapi sampai sekarang enggak,” jelasnya.