JAKARTA, KOMPAS--Bank Dunia mengingatkan Indonesia untuk meningkatkan kualitas modal manusia di tengah prospek perekonomian yang lesu. Pemerintah mesti berinvestasi jangka panjang, terutama untuk pendidikan dan kesehatan.
Indeks Daya Saing Global (GCI) 4.0 tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), Rabu (9/10/2019), menempatkan Indonesia pada peringkat 50 dari 141 negara. Tahun lalu, Indonesia di peringkat 45 dari 140 negara.
Dalam penilaian yang didasarkan pada 12 pilar itu, Singapura di peringkat 1. Adapun Vietnam disebut sebagai negara dengan perbaikan terbesar, dari peringkat 77 pada 2018 ke peringkat 67 pada 2019.
Dari 12 pilar itu, Indonesia mendapat nilai paling rendah pada kapabilitas inovasi (37,7), sedangkan nilai terbaik adalah stabilitas makroekonomi (90). Total nilai Indonesia pada 2019 adalah 64,6 atau turun dari 2018 yang sebesar 64,9.
Pendiri dan Kepala Eksekutif WEF, Klaus Schwab, dalam paparan GCI 4.0 menyebutkan, Asia timur dan Pasifik merupakan kawasan paling kompetitif di dunia.
Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Frederico Gil Sander, berpendapat, aspek kesehatan dan keahlian tenaga kerja mesti diperhatikan pemerintah. Kualitas modal manusia merupakan salah satu pertimbangan investor masuk ke Indonesia. “Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia harus dibarengi penguatan angkatan kerja,” ujar Sander dalam wawancara khusus dengan Kompas di Jakarta, Rabu.
Menurut Sander, arah kebijakan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sudah tepat. Namun, ada beberapa fokus kebijakan jangka pendek yang harus segera dilakukan, yaitu penurunan angka tengkes, peningkatan pendidikan dasar, dan pelatihan tenaga kerja.
Sander menambahkan, implementasi pemberian insentif fiskal untuk pendidikan dan pelatihan vokasi sangat dinanti. Indonesia memerlukan lebih banyak tenaga kerja andal di bidang-bidang yang menjadi tulang punggung perekonomian, antara lain industri pengolahan dan pariwisata. Kualitas tenaga kerja mesti segera disesuaikan dengan era ekonomi baru berbasis digital.
“Angkatan kerja Indonesia cukup tinggi, sehingga pelatihan vokasi menjadi keniscayaan,” kata Sander.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk bekerja di Indonesia per Februari 2019 sebanyak 129,36 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 40,51 persen di antaranya berpendidikan sekolah dasar ke bawah.
Namun, Sander mengingatkan, peningkatan modal manusia juga memerlukan investasi. Perekonomian Indonesia harus lebih terbuka untuk memungkinkan transfer ilmu pengetahuan dan mendorong penciptaan lapangan kerja baru.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menyampaikan, realisasi insentif untuk kegiatan inovasi menjadi harapan untuk memperbaiki pilar riset dan pengembangan Indonesia dalam konteks daya saing global.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyebutkan, pemanfaatan inovasi teknologi digital di Indonesia masih harus mengejar negara lain. Diperkirakan, jumlah atau kualitas pekerja yang menguasai teknologi digital di Indonesia masih terbatas.
Bahan pertimbangan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, laporan WEF akan menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
”Komponen keterampilan, infrastruktur, serta kesiapan teknologi informasi dan komunikasi menjadi komponen prioritas yang akan diperhatikan dalam RPJMN 2020-2024,” ujarnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui, pemerintah menyadari semua negara terus memperbaiki diri. Peringkat Indonesia masih di bawah Thailand (40) dan Malaysia (27). "Kita menyadari itu, karenanya perlu diperbaiki, baik regulasi, investasi, dan apa pun yang dianggap masih kurang," katanya. (KRN/DIM/JUD/INA/CAS/MED)