Tulus Kampanyekan Perlindungan Gajah Sumatera di Paris
›
Tulus Kampanyekan Perlindungan...
Iklan
Tulus Kampanyekan Perlindungan Gajah Sumatera di Paris
Musisi Muhamad Tulus merasa prihatin dengan maraknya konflik antara satwa yang dilindungi, yakni gajah sumatera, dan manusia di Indonesia.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Musisi Muhamad Tulus merasa prihatin dengan maraknya konflik antara satwa yang dilindungi, yakni gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan manusia di Indonesia. Tulus mengajak semua elemen untuk terlibat melindungi gajah. Isu perlindungan gajah sumatera akan dikampanyekan Tulus dalam Forum Perdamaian Paris, di Perancis, November 2019.
Untuk mendalami isu konflik gajah, Tulus berkunjung ke Aceh. Selama di Aceh, penyanyi kelahiran Sumatera Barat itu berkunjung ke Conservation Response Unit (CRU) Peusangan Bener Meriah. Dia juga bertemu dengan warga Desa Karang Ampar, Kabupaten Aceh Tengah, dan mengisi dialog di Museum Aceh di Banda Aceh.
”Mengapa kita harus peduli pada gajah? Karena kita bagian terkecil dari alam, sama dengan makhluk lain. Akan sangat egois jika kita menikmti alam sendiri,” kata Tulus dalam dialog ”Tulus Bicara Perlindungan Gajah”, Kamis (10/10/2019), di Banda Aceh. Dialog tersebut digelar oleh World Wildlife for Nature (WWF) Indonesia Provinsi Aceh.
Tulus terlibat kampanye perlindungan gajah. Bahkan, dia pernah membuat lagu berjudul ”Gajah”. Lagu ini mengantarkan dia mendapatkan Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2015. Saat dia menerima penghargaan, Tulus dikejutkan dengan kabar duka. Gajah bernama Yongki di Taman Nasional Bukit Barisan Lampung, yang menjadi bintang klip video lagu ”Gajah”, mati dibunuh.
”Saya sangat sedih. Namun, ada tanggung jawab untuk lingkungan, itu sebabnya saya bangun gerakan Teman Gajah Tulus,” kata Tulus.
Tulus menuturkan, populasi gajah di Aceh masih terbanyak di Indonesia. Akan tetapi, kehidupan gajah di provinsi paling barat Sumatera itu kian terancam. Perburuan dan alih fungsi lahan membuat habitat gajah berkurang. ”Jika tidak kita selamatkan, gajah suatu saat hanya dongeng,” ucapnya.
Sekarang, populasi gajah di Indonesia sekitar 1.700 individu. Sebanyak 500 individu berada di Aceh, selebihnya tersebar di beberapa provinsi di Sumatera. Laju kematian gajah di Aceh sepanjang 2015-2018 sebanyak 33 individu.
Bagi Tulus, hutan Aceh adalah rumah besar bagi gajah yang harus dirawat.
Dalam kunjungan ke Desa Karang Ampat, Tulus menyaksikan langsung jalur migrasi gajah dan berdiskusi tentang keterlibatan warga melindungi gajah. Desa Karang Ampar merupakan habitat gajah. Dari desa ini, jalur gajah tersambung ke beberapa kabupaten. Sebelumnya, konflik gajah terjadi masif di daerah ini. Bahkan, pada Juli 2017, seekor gajah dewasa mati ditembak senjata serbu.
Setelah peristiwa pembantaian gajah itu, warga Desa Karang Ampar bergerak untuk melindungi gajah di kawasan mereka. Warga membuat qanun (aturan) desa tentang larangan berburu satwa lindung.
Tulus mengapresiasi gerakan warga di akar rumput dalam usaha melindungi gajah. Menyaksikan keseriusan warga, Tulus kian bersemangat. Gerakan ”Teman Gajah Tulus” yang dideklarasikan pada 2015 akan berkolaborasi dengan warga. Bagi Tulus, bicara perlindungan satwa dan alam harus melibatkan semua elemen.
Karena itu pula, Tulus akan mengampanyekan isu gajah sumatera di Forum Perdamaian Paris pada 11-13 November 2019. Dalam pertemuan itu, Tulus ingin mengajak masyarakat dunia untuk terlibat melindungi gajah dan hutan Indonesia, khususnya Aceh. ”Dunia harus tahu apa yang dilakukan warga Karang Ampar dan mereka harus terlibat,” kata Tulus.
Selain Tulus, dari Indonesia akan diwakili juga oleh warga Karang Ampar, Muslim. Muslim akan menyampaikan persoalan konflik satwa dan usaha warga menyelamatkan gajah.
Dulu, orangtua kita bisa berbagi ruang dengan gajah, mengapa kita tidak bisa?
Muslim menuturkan, jalur gajah di kawasan Karang Ampar telah terputus lantaran di jalur itu ditanami sawit oleh perusahaan. Gajah tidak bisa lagi melewati jalur yang selama ini mereka gunakan. Imbasnya, gajah memasuki perkebunan warga dan konflik tidak terhindarkan.
”Kami bisa hidup berdampingan dengan gajah, tetapi ada perusahaan sawit yang memutus jalur gajah,” kata Muslim.
Muslim menambahkan, mereka telah membuat aturan desa yang melarang berburu dan aturan hidup berdampingan dengan gajah. ”Dulu, orangtua kita bisa berbagi ruang dengan gajah, mengapa kita tidak bisa?” kata Muslim.
Kepala Balai Sumber Daya Konservasi Alam (BKSDA) Aceh Sapto AJi Prabowo, di Banda Aceh, menuturkan, di Aceh ada empat spesies kunci yang terancam punah, yaitu gajah, harimau, orangutan, dan badak.
BKSDA Aceh bersama pemerintah setempat dan lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan telah menentukan enam kantong populasi gajah yang akan ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial. Penetapan sebagai kawasan khusus karena kantong gajah itu berada pada kawasan budidaya atau area penggunaan lain (APL).
Keenam kawasan esensial itu berada di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Jaya, Pidie, dan Subulussalam. Nantinya, kawasan itu akan dikelola dengan mengedepankan kepentingan perlindungan satwa. Misalnya, pola perkebunan harus menyesuaikan dengan karakteristik satwa di dalamnya.
”Kalau di kawasan ada gajah, tidak boleh ditanami sawit karena itu justru menjadi makanan kesukaan gajah,” kata Sapto. Selain menetapkan kawasan khusus, saat ini pada kantong habitat gajah juga dibuat barrier atau parit agar gajah tidak masuk ke perkebunan warga.