Bank Dunia: Pertumbuhan Ekspor-Impor Indonesia Tahun Ini Bisa Negatif
›
Bank Dunia: Pertumbuhan...
Iklan
Bank Dunia: Pertumbuhan Ekspor-Impor Indonesia Tahun Ini Bisa Negatif
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekspor Indonesia minus 1 persen pada 2019 dari sebelumnya 6,5 persen pada 2018. Sementara impor tumbuh minus 3,5 persen pada 2019 dari tahun 2018 yang tumbuh 12 persen.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eskalasi ketegangan perang dagang AS-China dan ketidakpastian ekonomi global semakin menekan neraca perdagangan Indonesia. Penurunan nilai ekspor dan impor sepanjang 2019 diproyeksikan jauh lebih tajam bahkan sampai minus.
Bank Dunia dalam ”Laporan Perekonomian Kawasan Asia Timur dan Pasifik: Risiko Pelapukan Meningkat” memperkirakan, pertumbuhan ekspor Indonesia minus 1 persen pada 2019 dari sebelumnya 6,5 persen pada 2018. Sementara impor tumbuh minus 3,5 persen pada 2019 dari tahun 2018 yang tumbuh 12 persen.
Pertumbuhan ekspor dan impor yang negatif, lanjut Iskandar, mulai terlihat pada data Agustus 2019. Impor menurun lebih tajam dibandingkan dengan ekspor, terutama barang konsumsi dan bahan baku. Penurunan impor bahan baku disebabkan permintaan global yang juga turun. Adapun bahan baku untuk industri dalam negeri relatif terjaga.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi global akibat perang dagang AS-China di luar perkiraan seluruh negara. Kontraksi terhadap ekspor dan impor bukan hanya dialami Indonesia.
”Dari 95 negara yang kami teliti sampai Agustus 2019, ternyata ekspor di 62 negara tumbuh negatif termasuk Indonesia,” ujar Iskandar yang dihubungi Kompas di Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Dari 95 negara yang kami teliti sampai Agustus 2019, ternyata ekspor di 62 negara tumbuh negatif termasuk Indonesia.
Ekspor dan impor yang tumbuh negatif, lanjut Iskandar mulai terlihat pada Agustus 2019. Impor turun lebih tajam dibandingkan ekspor, terutama barang konsumsi dan bahan baku. Penurunan impor bahan baku itu disebabkan permintaan global yang juga turun. Adapun bahan baku untuk industri dalam negeri relatif terjaga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2019 surplus 85,1 juta dollar AS. Sementara pada periode Januari-Agustus 2019, neraca perdagangan masih defisit 1,81 miliar dollar AS.
Penurunan nilai ekspor sepanjang Januari-Agustus 2019 tercatat jauh lebih tajam, yaitu minus 8,28 persen dibandingkan dengan penurunan impor yang minus 6,5 persen secara tahunan.
”Memang dampak perang dagang AS-China di luar perkiraan. Untuk Indonesia, polanya mirip realisasi ekspor impor pada Agustus dan September 2019,” kata Iskandar.
Menurut Iskandar, kondisi ekonomi global saat ini tidak memungkinkan Indonesia untuk memacu ekspor tumbuh lebih tinggi. Untuk itu, kebijakan yang dinilai paling optimal untuk mengantisipasi penurunan ekspor adalah mengurangi impor, terutama barang konsumsi.
”Produksi dalam negeri akan digenjot untuk mengurangi impor barang konsumsi,” ujarnya.
Ancaman panjang
Bank Dunia memperingatkan eskalasi perang dagang AS-China akan menyebabkan harga komoditas turun. Indonesia harus mewaspadai hal itu karena sebagian besar ekspor adalah komoditas. Perang dagang AS-China ini menciptakan ancaman jangka panjang bagi ekonomi kawasan Asia Pasifik dan Timur.
Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander menambahkan, Indonesia harus mewaspadai perlambatan impor karena bisa memengaruhi investasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
”Investasi memerlukan impor barang modal dan bahan baku, seperti industri tekstil dan manufaktur,” ujarnya.
Meski demikian, ekspor dan impor Indonesia diperkirakan kembali tumbuh pada 2020 dan 2021. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekspor 1,5 persen pada 2020 dan 2,8 persen pada 2021. Sementara impor tumbuh 2 persen tahun 2020, kemudian 3,7 persen tahun 2021.
Peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, saat ini Indonesia harus fokus menarik investasi berorientasi ekspor. Investasi yang masuk dalam tiga tahun terakhir didominasi sektor jasa.
Hal itu menyebabkan dampak berganda terhadap perekonomian kecil karena rendahnya penciptaan lapangan kerja. ”Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi di sektor industri pengolahan yang padat karya dan berorientasi ekspor untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi di sektor industri pengolahan yang padat karya dan berorientasi ekspor untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, lanjut Ahmad, daya saing Indonesia harus ditingkatkan untuk memacu ekspor dan menarik investasi asing. Modal investasi mahal karena masalah logistik, transportasi, pengupahan, dan bahan baku yang tak kunjung teratasi. Pemerintah belum fokus mengatasi masalah struktural.
Perbankan terdampak
Perlambatan kinerja perdagangan dan investasi akibat ketidakpastian global juga berdampak pada perbankan. Hal itu terutama tercermin dari lesunya penyaluran kredit.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan, industri perbankan terdampak pelemahan ekonomi global yang membuat lesunya pertumbuhan kredit perbankan tahun ini. Perlambatan tersebut hampir terjadi di seluruh sektor yang disebabkan oleh kondisi ekonomi secara global yang fluktuatif.
Setiap perubahan mendadak dalam kondisi keuangan global dapat berdampak pada biaya pinjaman yang lebih tinggi sehingga mengurangi pertumbuhan kredit dan semakin membebani investasi swasta.
"Perbankan secara industri kreditnya agak melemah dari tahun lalu, menurut saya tahun ini dan tahun depan perbankan harus lebih konservatif untuk pertumbuhan kredit," ujarnya.
Meski begitu, bila merujuk laporan keuangan bulan Agustus 2019, realisasi kredit BCA masih cukup deras. Tercatat total kredit BCA masih tumbuh 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dari Rp 502,76 triliun menjadi Rp 563,12 triliun.
Sampai akhir tahun, Jahja memprediksi pertumbuhan kredit akan berada di kisaran 9 persen-10 persen. Menurut dia masih ada beberapa peluang kredit yang bisa ditangkap salah satunya kredit sindikasi terutama proyek infrastruktur.
Sampai akhir tahun, pertumbuhan kredit diprediksi akan berada di kisaran 9 persen-10 persen.
Pertumbuhan kredit bank yang kian melesu ini menurut Jahja juga bisa berdampak pada peningkatan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Dia menegaskan BCA masih dalam kondisi aman dengan posisi NPL ada di level 1,4 persen.
Sementara itu, dari sisi likuiditas, Jahja menyebut likuiditas BCA masih cukup longgar dengan rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) terjaga di bawah 80 persen hingga triwulan III-2019. Posisi ini berada di bawah rata-rata LDR industri yang mencapai 96 persen.