Turunnya Indeks Daya Saing Indonesia 4.0 tahun 2019 mengingatkan pentingnya konsisten melaksanakan rencana meningkatkan kualitas manusia.
Dalam laporan Forum Ekonomi Dunia tentang Indeks Daya Saing Global (GCI) tahun 2019 yang diluncurkan Rabu (9/10/2019), daya saing Indonesia turun lima peringkat di antara 140 negara. Indonesia kini di peringkat ke-50, sedangkan tahun sebelumnya berada pada posisi ke-45.
Menurunnya peringkat daya saing terjadi di tengah upaya pemerintah terus memperbaiki daya saing agar menarik bagi investor. Kita membutuhkan investasi langsung untuk membuka lapangan kerja berkualitas bagi pekerja usia muda yang kini mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia.
Dari 12 pilar yang dinilai dalam GCI, Indonesia mendapat nilai tertinggi untuk stabilitas makroekonomi, sedangkan kemampuan inovasi mendapat nilai terendah.
Banyak faktor yang menentukan kemampuan inovasi. Selain lingkungan yang mendukung lahirnya inovasi, seperti kebebasan akademis, kebebasan berpikir, serta perlindungan atas hak paten dan hak atas kekayaan intelektual, yang sangat menentukan adalah kapasitas manusia.
Pada periode pemerintahan kedua, selain melanjutkan pembangunan infrastruktur, Presiden Joko Widodo memberikan penekanan pada pembangunan manusia.
GCI memperlihatkan, meskipun stabilitas ekonomi penting, ada hal lain yang harus dimiliki suatu negara agar menarik sebagai tujuan investasi. Indonesia harus bersaing keras dengan negara tetangga di ASEAN sebagai tujuan investasi. Vietnam, misalnya, meskipun peringkat GCI-nya di bawah Indonesia, yaitu 67, tetapi melompat tinggi dari peringkat ke-77 pada tahun 2018. Apa yang kita khawatirkan selama ini terjadi, yaitu semua negara bekerja keras memperbaiki daya saingnya dan negara-negara lain berhasil melompat ke atas.
Bank Dunia menyarankan agar dalam situasi ekonomi global tahun depan yang semakin melambat akibat bayang-bayang resesi di sejumlah negara maju, pemerintah perlu bersungguh-sungguh melakukan investasi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Fokus jangka pendek adalah pada penurunan jumlah anak balita tengkes, peningkatan pendidikan dasar, dan pelatihan tenaga kerja.
Tengkes dan kemiskinan berhubungan seperti bejana berhubungan dengan rendahnya akses pada pendidikan dasar dan makanan bergizi seimbang. Kedua hal ini saling terkait dan berhubungan dengan ketersediaan tenaga kerja berkualitas. Oleh karena itu, penting segera memberikan pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan bagi tenaga kerja kita yang 45 persen berpendidikan sekolah dasar ke bawah.
Pengalaman negara-negara kaya memperlihatkan, investasi modal yang rendah dan alokasi sumber daya yang tidak efisien menyebabkan pekerja tidak berpindah dari sektor dengan produktivitas rendah ke bidang dengan produktivitas tinggi. Rendahnya produktivitas tenaga kerja pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan dapat berujung pada naiknya kembali jumlah orang miskin dan pengangguran.