Eslandia mengalami cek realitas, ketika disingkirkan oleh Perancis di perempat final Piala Eropa 2016. Kini, mereka akan bertemu di Reykjavik, dalam kualifikasi Piala Eropa 2020.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
REYKJAVIK, KAMIS – Tiga tahun silam, tim nasional sepak bola Eslandia mengejutkan jagat sepak bola Eropa. Tim dari negeri kecil di tepi Kutub Utara itu bak “anak ajaib” dengan lolos pertama kalinya ke pentas akbar dan menjungkalkan tim tradisi sepak bola, Inggris, 1-2, di babak 16 besar Piala Eropa Perancis 2016.
Reykjavik, ibukota Eslandia, pun larut dalam kegembiraan tidak terkira. Mereka pun berpesta hingga semalam suntuk menyambut kemenangan bersejarah di Piala Eropa Perancis 2016 itu. Negara yang tidak memiliki satu pun liga sepak bola profesional itu di luar dugaan membekap Inggris, kiblat sepak bola yang memiliki liga terglamor sejagat.
Namun, pesta itu tidak berlanjut lama. Mereka dipaksa mengepak koper pada babak berikutnya, yaitu perempat final. Mereka dihancurkan tuan rumah Perancis 5-2. Kekalahan itu seketika membangunkan Eslandia dari mimpi indahnya. Laga itu menyadarkan Eslandia akan realita pahit berupa kesenjangan kualitas sepak bola mereka dengan tim kaya talenta itu.
“Pengalaman ini akan sangat membantu kami tumbuh. Saya yakin, setelah ini, tim ini (Eslandia) akan ada pengembangan. Piala Eropa ini hanyalah awal dari tahapan itu. Saat ini, makin banyak lapangan artifisial dibangun di kota-kota kami. Kian banyak talenta pula yang bermunculan,” tukas Daniel Smari Brynjolfsson, suporter Eslandia yang ditemui Kompas di Stadion Stade De France, Perancis, Juli 2016 silam.
Tiga tahun berlalu, publik Eslandia, khususnya Reykjavik, akan menyambut Perancis, si “penyadar realita”, pada laga babak penyisihan grup H kualifikasi Piala Eropa 2020, Sabtu (12/10/2019) dini hari WIB. Laga ini sangatlah krusial bagi Eslandia. Mereka wajib menang jika ingin mengulang sensasi empat tahun silam, yaitu lolos ke babak utama Piala Eropa.
Eslandia, yang sempat melanjutkan keajaibannya dengan lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia, kini berada di posisi kurang aman untuk melenggang ke Piala Eropa 2020. Mereka saat ini bercokol di peringkat ketiga atau tertinggal tiga poin dari Turki dan Perancis, dua tim teratas di grup H yang sama-sama mengemas 15 poin dari enam laga.
Pada babak kualifikasi itu, Eslandia telah kalah dua kali, yaitu dari Albania dan lagi-lagi Perancis. Dalam pertemuan sebelumnya, kedua tim kembali bertemu di Stade De France. Berbeda dengan duel tiga tahun sebelumnya, Eslandia kali ini dibuat lebih tidak berdaya oleh raksasa yang memiliki sejumlah talenta berkelas dunia seperti Antoine Griezmann dan Kylian Mbappe Lottin itu. Mereka digilas Perancis tanpa ampun, 0-4.
Padahal, untuk lolos ke babak utama Piala Eropa, setiap tim, termasuk Eslandia, wajib finis di peringkat kedua babak kualifikasi itu seperti yang mereka lakukan empat tahun silam. Saat itu, Eslandia finis sebagai runner-up grup A dan berhak lolos ke Perancis. Hal yang tidak kalah membanggakan, mereka menyisihkan tim kuat dan penuh tradisi, Belanda, di babak itu.
Namun, Eslandia kini tidak lagi sama seperti empat tahun silam maupun masa puncak di Piala Dunia Rusia. Tim itu kini menua, sementara regenerasi tidak berjalan mulus. Bek 36 tahun, Kari Arnason, dan gelandang 35 tahun tanpa klub, Emil Hallfredsson, masih menjadi andalan di tim itu. Kedua pemain yang yang kurang kompetitif secara fisik itu bakal menjadi bulan-bulanan dari barisan pemain cepat Perancis macam Griezmann.
Di sisi lain, tidak ada lagi pelatih sekaligus dokter gigi yang sangat dekat dengan para pemain, Heimir Hallgrimson. Posisinya kini digantikan Erik Hamren, mantan pelatih timnas Swedia. Ia mengundang tanda tanya publik dengan tetap memainkan Hallfredsson dan Birkir Bjarnason di timnas meskipun tidak lagi memiliki klub. Ini kontras dengan tim Perancis yang seluruh merupakan andalan klub, bahkan raksasa seperti Barcelona dan Paris Saint-Germain.
“Saya yakin ini keputusan yang benar. Pengalaman dan kualitas mereka bakal banyak membantu tim saat melawan Perancis dan Andorra,” ujar Hamren dikutip Stod 2, stasiun televisi Eslandia.
Melawan dingin
Di lain pihak, “Les Bleus”—julukan timnas Perancis—tidak bisa meremehkan tuan rumah di kandangnya. Eslandia, negara yang suhunya saat ini dingin mencapai enam derajat celcius, selalu menjadi medan yang sulit ditaklukkan tim lain, tidak terkecuali Perancis. Pada duel terakhir kedua tim di Reykjavik, 21 tahun silam, Perancis ditahan 1-1.
Padahal, serupa saat ini, ketika itu Les Bleus berstatus juara dunia. Mereka bahkan lengkap membawa barisan bintang hebatnya seperti Zinedine Zidane, Robert Pires, Lilian Thuram, dan Didier Dechamps yang kini menjadi pelatih tim itu. Namun, pada duel kali ini, Perancis tidak bisa diperkuat barisan pemain andalannya seperti Mbappe dan kiper sekaligus kapten tim, Hugo Lloris, yang tegah cedera.
“Kapten kami (Lloris) tidak akan bermain. Itu adalah kehilangan besar buat kami. Namun, kami punya banyak pemain penting lainnya. Kami harus bisa menunjukkan karakter bagus dan tampil solid jika ingin lolos ke babak utama,” tutur Raphael Varane dikutip laman Federasi Sepak Bola Perancis.