Saluran irigasi secara signifikan memperburuk tanah longsor dan likuefaksi yang dipicu gempa bumi berkekuatan M 7,5 di Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun 2018.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saluran irigasi secara signifikan memperburuk tanah longsor dan likuefaksi yang dipicu gempa bumi berkekuatan M 7,5 di Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun 2018. Fenomena itu menunjukkan bahaya dari saluran irigasi di kawasan yang dilalui sesar aktif.
Demikian kesimpulan studi ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional Nature Geoscience, bertepatan dengan satu tahun bencana gempa, tsunami, dan likeufaksi yang melanda Sulawesi Tengah.
”Daerah yang likuefaksinya dipengaruhi keberadaan aliran irigasi adalah Petobo di Palu, dan dua daerah di Sigi, yaitu Sidera dan Sibulaya,” kata Ella Meilanda, peneliti dari Tsunami Disaster and Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang terlibat dalam penelitian ini, Kamis (10/10/2019).
Selain peneliti TDMRC, kajian yang dipimpin ilmuwan dari Earth Observatory of Singapore, Universitas Teknologi Nanyang (EOS-NTU) Singapura, tersebut juga diikuti peneliti dari Amerika Serikat, Inggris, China, dan Australia.
Seperti diketahui, likuefaksi dahsyat terjadi di Palu dan Sigi sesaat setelah terjadinya gempa bumi tahun lalu. Likuefaksi itu terjadi di sejumlah lokasi, di antaranya yang paling parah di Petobo, Balaroa, Sidera, dan Sibalaya. Menurut Ella, di antara empat lokasi ini, yang likuefaksinya dipengaruhi keberadaan saluran irigasi Gumbasa adalah Petobo, Balaroa, dan Sidera. Tiga lokasi itu berada di bawah aliran irigasi. Sementara Balaroa memiliki mekanisme lain.
”Temuan ini menjadi peringatan untuk setiap area yang dilalui saluran irigasi dan patahan aktif,” kata Kyle Bradley, peneliti utama di EOS NTU yang memimpin kajian itu.
Temuan ini menjadi peringatan untuk setiap area yang dilalui saluran irigasi dan patahan aktif.
”Kita perlu meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang tanah longsor yang berhubungan dengan pencairan tanah (likuefaksi) dan mewaspadai tempat-tempat yang saluran irigasinya secara artifisial mengangkat permukaan air,” ungkapnya.
Dengan menganalisis gambar satelit yang diambil sebelum dan sesudah gempa bumi untuk mengidentifikasi daerah yang terkena dampak tanah longsor dan likuefaksi, para peneliti menemukan bahwa sawah dan ladang yang teraliri irigasi amat terdampak, sementara daerah yang ditanami pohon lebih stabil.
Hal itu menunjukkan irigasi sangat memengaruhi terjadinya likuefaksi. Pemetaan citra satelit ini dilengkapi dengan pengamatan lapangan oleh tim ilmuwan yang dipimpin Ella Meilianda.
Hasil kajian mengungkapkan, tanah longsor dan likuefaksi di Lembah Palu terutama dipicu oleh pencairan yang meluas di daerah yang di bawah aliran irigasi Gumbasa untuk padi. Saluran air yang dibangun sejak masa kolonial Belanda itu awalnya dibangun untuk mengairi sawah.
Namun, hal ini juga menaikkan muka air hingga mendekati permukaan tanah. Ketinggian air inilah yang meningkatkan potensi likuefaksi, yaitu situasi di mana sedimen yang terkubur menjadi seperti fluida karena kuatnya gempa bumi.
Kombinasi dari sedimen seperti cairan ini dan kemiringan dasar lembah memperburuk bencana, menciptakan penyebaran lateral yang luas dari air, tanah longsor, dan puing-puing, yang melanda desa-desa. ”Faktor utama yang menyebabkan likuefaksi adalah tingginya muka air tanah dan adanya lapisan tanah yang mengandung pasir,” kata Ella.
Apabila suatu wilayah memiliki kedua faktor ini, dengan intensitas getaran seismik tertentu akan menyebabkan hilangnya daya dukung tanah, karena air yang tadinya mengisi pori-pori keluar dan naik ke atas permukaan. Dalam kasus likuefaksi yang terjadi di wilayah yang mempunyai kemiringan seperti di Lembah Pali, likuefaksi ini bisa menyebabkan perpindahan atau pergerakan massa tanah.
”Kasus Balaroa bukan dipengaruhi oleh irigasi, tapi kemungkinan akibat adanya sand blow akibat pecahnya lapisan akuifer di bawah tanah yang mengalami tekanan tinggi akibat aktivitas seismik yang terjadi saat itu,” ungkapnya.
Kerentanan ke depan
Ella mengungkapkan, temuan di Lembah Palu itu menjadi perhatian di daerah lain. Kerentanan likuefaksi di Indonesia relatif tinggi, terutama di wilayah pesisir yang terbentuk pada zaman Holocene atau kurang dari 5.000 tahun lalu. Apalagi, jika wilayah ini pada awalnya berupa sungai-sungai purba atau dulunya merupakan wilayah pesisir pantai yang cenderung membawa dan mengendapkan sedimen pasir.
Dalam perkembangan selanjutnya, sungai dan pantai purba tersebut tertimbun oleh endapan aluvial dan membentuk wilayah pesisir modern seperti pada saat ini. ”Wilayah pantai Banda Aceh, misalnya, dengan kondisi pembentukan dataran pesisirnya yang seperti ini, mempunyai kerentanan untuk terjadinya likuefaksi,” kata Ella.
Meski demikian, menurut Bradley, bahaya yang diciptakan oleh manusia sering kali lebih mudah dimoderasi daripada bahaya alam lain. ”Berdasarkan ketahanan relatif dari area yang ditanami dengan tanaman pohon campuran dan lahan beririgasi, kami mengusulkan bahwa penanaman yang lebih banyak dapat mengurangi bahaya tanah longsor besar di masa depan,” katanya.