”Surga dan Neraka” Buah Pala
Kepulauan Maluku dilanda demam bunga pala, yang harganya saat ini tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Para petani pun kembali ke kebun, membersihkan lahan dan rajin memetik buah pala matang untuk mencari bunganya. Harga per kilogram bunga pala menyentuh Rp 235.000 dari sebelumnya sekitar Rp 190.000 per kg. Harga yang lama dinanti.
Abdul Karim Manelet (55) menengadah ke arah pohon pala (Myristica fragrans) di kebunnya di Desa Morella, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Sabtu (5/10/2019). Menggunakan galah bambu, ia sibak daun dan ranting kecil mencari buah matang. Namun, tak banyak buah didapat dari pohon yang lebih tua dari usianya itu.
Hampir 20 tahun kebun pala peninggalan keluarga yang diusahakan turun-temurun itu tak dirawat baik. Tak ada pula niatan meremajakan tanaman yang tak lagi produktif. Hitung sana hitung sini, tak banyak untung dari biaya dan waktu yang hilang. Pengolahan bunga (fuli) pala yang bernilai ekonomi butuh waktu berminggu-minggu, mulai petik, membelah buah, menjemur, hingga memisahkan bunga dari cangkangnya. Demi 1 kilogram bunga pala, harus mengolah sekitar 1.000 biji pala.
Dalam ingatan Abdul, pascareformasi merupakan masa awal kemerdekaan petani pala. Harga fuli pala naik hingga Rp 215.000 per kilogram. Abdul dan hampir semua petani pala tidak akan lupa itu. Mereka punya penanda sendiri. ”Waktu itu presidennya Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Setelah Gus Dur turun, harga juga ikut turun,” katanya. Harga pala pernah turun hingga di bawah Rp 100.000 per kg.
Penghasilan dari pala terlalu sedikit apabila dibandingkan dengan upah satu hari bekerja serabutan atau memancing ikan di laut, yang tentu lebih menjanjikan. Seiring waktu, pengaruh komoditas andalan itu bergeser menjadi sambilan saja. Kebun pala dikunjungi saat panen saja. ”Sebelumnya, saya berniat mau jual kebun ini,” ujarnya.
Kini, petani pala tersenyum lagi menikmati harga fuli di pasaran yang membaik. Hingga Oktober, harganya Rp 235.000 per kg. Sebelumnya, paling tinggi Rp 190.000 per kg. ”Kalau harga ini bisa bertahan satu tahun, bisa beli motor,” kata Abdul Karim. Musim ini, ia sudah mengumpulkan 20 kg fuli pala siap jual.
Melonjaknya harga didorong kenaikan permintaan industri pengguna bahan baku itu, seperti produksi makanan, penyedap rasa, dan farmasi. Mayoritas industri itu ada di luar negeri. Petani berharap harga tersebut tidak turun lagi. Demi menjaga harga pasar, hasil panen pala dijaga kualitasnya. Tidak lagi dijemur di tanah dengan alas karung tipis. Pala jemur di para-para atau rak jemuran. Dijemur hingga kadar air kurang dari 8 persen.
Kenaikan harga juga memanggil banyak petani kembali membersihkan kebun dan menanam bibit baru menggantikan pala tua yang tidak lagi produktif. Antusiasme muncul, seperti Abdul Karim, yang memiliki 100 pohon.
Data yang dihimpun Kementerian Pertanian, Maluku merupakan tanah asal-usul pala dengan kualitas terbaik di dunia. Pohon pala tumbuh pada ketinggian 0-900 meter di atas permukaan laut. Tumbuh subur pada tekstur tanah liat berpasir. Pala cocok di iklim tropis dengan curah hujan 2.656 milimeter per tahun. Suhu terbaik berkisar 25-28 derajat celsius. Pala mulai berproduksi enam tahun setelah ditanam hingga 50 tahun kemudian.
Magis pala
Bunga pala dan aneka rempah lain memang sudah menjadi komoditas perdagangan dunia jauh sebelum bangsa Eropa tiba di Nusantara jelang akhir Abad Pertengahan. Di Kepulauan Maluku, tepatnya Banda, pertama kali didatangi pelaut Portugis pada tahun 1512.
Dari daratan Eropa, Portugis memilih rute Afrika, Asia barat, dan Asia selatan. Pesaing berat Portugis adalah Spanyol yang memilih jalur lain: Samudra Atlantik, selatan Benua Amerika, dan Samudra Pasifik.
Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah menulis, rempah merupakan cita rasa yang melayari samudra. Kabar mengenai dunia baru, tempat tumbuhnya tanaman surga itu, pertama kali diumumkan dalam ruang perjamuan di Barri Gotic, Barcelona, salah satu pusat peradaban Abad Pertengahan. Christopher Columbus, penakluk samudra, mengumumkan itu, meski kemudian salah jalan dan tersesat di Benua Amerika. Ia memimpin ekspedisi Spanyol.
Akhirnya, Eropa mengambil langsung pala dari Maluku. Mereka membelinya dari pedagang China, India, dan Arab. Pedagang China, India, dan Arab menukar pala di Banda dengan keramik, kain wol, pakaian, dan karpet. Dinamika perdagangan itu berubah setelah sejumlah negara Eropa berhasil menemukan sumber rempah di Nusantara, dan kemudian bergantian memonopoli perdagangan.
Sebagaimana tulisan Taufiq Ismail dalam buku Sejarah Banda Naira karangan Des Alwi, pada abad ke-17, bunga pala Banda dijual kepada VOC (kongsi dagang Belanda) senilai 18 stuiver atau 0,9 gulden per kg. Oleh VOC, bunga pala dijual di pasaran Eropa dengan harga 256 stuiver atau 12,8 gulden per kg.
Keuntungan yang didapat hingga 1.600 persen. Khusus perdagangan pala dan bunga pala di Banda, VOC mencatat keuntungan 1 juta gulden setiap tahun. Keuntungan itu dipakai untuk membangun Amsterdam, Rotterdam, dan kota-kota lain di Belanda.
Harga rentan anjlok
Bunga pala di antaranya dibutuhkan dunia industri dengan produk olahan, seperti makanan, minuman, obat, parfum, bahan pengawet, obat bius, dan bumbu. Peneliti teknologi perkebunan pada Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Radjab, menjelaskan, kandungan yang dicari dalam pala adalah myristisin.
Myristisin lebih banyak ditemukan dalam fuli pala, sekitar 12 persen. Selebihnya menyebar pada bagian lain, seperti daging, cangkang, biji, batang, dan daun. Itulah sebabnya, harga fuli pala lebih tinggi dibandingkan dengan harga biji pala.
Saat ini, harga fuli pala Rp 235.000 per kg, sedangkan harga biji pala Rp 60.000 per kg. Menoleh ke belakang, seperti tertulis dalam buku Sejarah Banda Naira, pada abad ke-18, harga fuli pala Rp 90 sen per kg, sedangkan biji pala 13 sen per kg. Secara total, kandungan myristisin lebih banyak di dalam buah pala.
”Sayangnya, proses pemurnian mendapatkan intisari myristin itu belum ada di Indonesia,” kata Radjab. Banyak olahan produksi dalam negeri yang komposisi bahannya berupa intisari myristisin diimpor. Padahal, komoditas penghasil myristisin berasal dari Indonesia.
Ketiadaan industri pemurnian dalam negeri itu membuat harga pala, termasuk bunga pala, sangat bergantung pada industri luar negeri. Bisa jadi, harga yang berlaku sekarang akan kembali anjlok apabila terjadi gejolak pasar di luar negeri.
Oleh karena itu, industri di Tanah Air perlu didorong melakukan pemurnian myristisin dari pala. Jika tidak, tak ada nilai tambah. Mirisnya, di perkampungan penghasil pala, daging pala hanya bisa diolah menjadi sari buah, biji sebagai bumbu, dan bunga pala untuk memberi aroma harum pada air teh. Tak lebih dari itu. Di tengah harga pala yang rendah, petani pala dapat terjerumus dalam jual beli minyak atsiri dari hasil penyulingan buah pala yang masih muda.
Informasi yang dihimpun Kompas, beberapa waktu lalu, ada pengusaha luar negeri yang mendatangi petani pala di Banda dan meminta diproduksi minyak atsiri dari buah pala muda. ”Kami baru sadar, ternyata minyak itu untuk bahan baku produksi salah satu jenis narkoba,” ujar seorang warga Banda.
Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Maluku Brigadir Jenderal (Pol) A Rusno saat dihubungi mengatakan, pala mengandung zat penenang. Jika dikonsumsi berlebihan dapat berbahaya. Ia menuturkan, ada narkoba jenis tertentu mengandung zat penenang. Tidak tertutup kemungkinan, zat penenang itu berasal dari myristisin yang direaksikan dengan senyawa lain secara kimiawi.
Sungguh, begitu kaya manfaat tanaman pala. Wangi dan penyedap berbahan pala membawa rasa seakan terbang ke langit surga. Namun, jika disalahgunakan untuk bahan narkoba, bisa berbelok ke neraka. Untuk saat ini, biarkan para petani pala menikmati harga fuli pala. Di kebunnya, Abdul Karim berharap tanaman palanya benar-benar menghasilkan, mengungkit kesejahteraan warga Maluku. Ia bersyukur belum menjual kebunnya.