Tanpa Penyesuaian Iuran, Defisit BPJS Bisa Capai Rp 77 Trilun
›
Tanpa Penyesuaian Iuran,...
Iklan
Tanpa Penyesuaian Iuran, Defisit BPJS Bisa Capai Rp 77 Trilun
Penyesuaian besaran iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menjadi keniscayaan untuk mendukung keberlanjutan program.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penyesuaian besaran iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menjadi keniscayaan untuk mendukung keberlanjutan program. Jika penyesuaian tidak dilakukan, kondisi defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan terus meningkat. Bahkan, pada 2024 diprediksi bisa mencapai Rp 77 triliun.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris saat berkunjung ke kantor Harian Kompas di Jakarta, Jumat (11/10/2019) menuturkan, pendapatan iuran yang didapatkan tidak sesuai dengan biaya manfaat yang dibayarkan. Hal ini dinilai menjadi penyebab utama terjadinya defisit pada pembiayaan BPJS Kesehatan.
“Jika sistem pembiayaan masih seperti saat ini dan tidak ada penyesuaian iuran ataupun kebijakan lain, defisit diprediksi bisa mencapai Rp 32,8 triliun hingga Desember 2019. Defisit ini bisa terus berlanjut pada 2020 menjadi Rp 39,5 triliun dan terus meningkat menjadi Rp 50,1 triliun (2021), Rp 58,6 triliun (2022), Rp 67,3 triliun (2023), dan Rp 77 triliun pada 2024,” katanya.
Dengan kondisi seperti itu, Fachmi berpendapat, pelayanan JKN-KIS berpotensi terhenti. Berdasarkan analisis mikro terhadap tingkat kesehatan keuangan dana jaminan sosial, faktor yang memengaruhi kesehatan keuangan BPJS Kesehatan antara lain, potensi fraud, kolektabilitas peserta, dan jumlah peserta yang belum mencapai cakupan kesehatan semesta (UHC). Meski begitu, ketidakseimbangan antara penerimaan besaran iuran dan pengeluaran untuk biaya manfaat peserta paling berdampak pada defisit yang dialami saat ini.
Ia menambahkan, iuran JKN-KIS harus disesuaikan karena besaran iuran saat ini sudah tidak sesuai dengan hitungan ideal seuai kaidah aktuari. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur adanya penyesuaian iuran setiap dua tahun. Sementara setelah lima tahun program ini berlangsung belum pernah mengalami penyesuaian.
Pemerintah telah berencana untuk menyesuaikan jumlah iuran JKN-KIS. Pada rapat kerja gabungan di DPR RI akhir Agustus 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, penyesuaian akan diberlakukan untuk semua segmen peserta.
Pada segmen PBI, baik PBI yang dibayarkan melalui APBN maupun APBD, naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000. Pada segmen PBPU kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. Adapun iuran peserta penerima upah badan usaha dari semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta.
“Angka defisit sekarang kian membengkak, bahkan mulai mengganggu pelayanan di rumah sakit dan apotek karena utang yang terus menumpuk. Dari catatan kami, utang jatuh tempo per hari ini mencapai Rp 18 triliun. Penetapan kebijakan penyesuaian iuran dari pemerintah ataupun bantuan pemerintah sangat kami tunggu,” kata Fachmi.
Terlambat membayar
Ditemui secara terpisah, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengatakan, fasilitas kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan sangat berharap agar BPJS Kesehatan bisa membayar utang tagihan biaya pelayanan kesehatan lebih tepat waktu. Sistem Supply Chain Financing (SCF) sebagai alternatif pembiayaan atas keterlambatan pembayaran klaim layanan oleh BPJS Kesehatan tidak bisa dimanfaatkan oleh seluruh fasilitas kesehatan.
Terkait dengan adanya rencana pemerintah untuk menyesuaikan iuran peserta JKN-KIS, Lia mengatakan, BPJS Kesehatan telah menyampaikan bahwa akan terjadi keterlambatan pembayaran iuran kepada fasilitas kesehatan dalam waktu yang lebih lama dibanding biasanya. Pembayaran kemungkinan akan dilakukan setelah kebijakan penyesuaian iuran ditetapkan dan dana bantuan pemerintah diberikan.
Fasilitas kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan sangat berharap agar BPJS Kesehatan bisa membayar utang tagihan biaya pelayanan kesehatan lebih tepat waktu.
Saat dikonfirmasi, Fachmi membenarkan hal itu. “Karena itu, kami telah memohon kepada pihak perbankan atau lembaga pembiyaan mitra BPJS Kesehatan yang memberikan pembiayaan pada faskes lewat SCF agar tidak melakukan past due atas pembiayaan tersebut seperti perpanjangan tenor, peningkatan plafond kredit, atau kebijakan lain. Tujuannya agar penerimaan pembiyaan dari bank ke faskes tetap lancar,” katanya.