Dalam Perjalanan
Memasuki tol, telepon genggamku yang baru kunyalakan kembali berdenting. Sebuah pesan, Ibu.
Nin, jangan pernah mendendam pada siapa pun. Kamu boleh kecewa, tetapi tidak mendendam. Tahu bedanya kecewa dengan dendam? Kecewa adalah perasaan yang lumrah saat harapan tidak terpenuhi. Sementara dendam adalah membenci orang lain karena harapan yang tidak terpenuhi. Pertanyaannya, siapa yang menumbuhkan harapan selain diri kita sendiri? Jangan dendam pada Bapakmu, apa pun yang terjadi.
Ludahku membatu di kerongkongan. Aku tahu bukan Ibu yang mengetiknya sendiri. Aku bisa membayangkan Jumirah, asisten rumah tangga yang setia, duduk di lantai di samping kaki Ibu seraya pelan-pelan menyentuh setiap huruf sesuai kalimat yang diucapkan Ibu.
Yang sudah-sudah, Ibu lebih suka meneleponku. Selain lebih memuaskannya, tentu saja itu jauh lebih mudah baginya ketimbang mengetik pesan. Tetapi ia tahu aku sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun. Terutama dengannya dan tentang lelaki yang telah berpulang dua hari lalu.
***
Surat itu terlalu feminin untuk terselip di dinding lemari pakaian lelaki itu. Amplop lawasnya bergambar bunga-bunga merah, merah jambu, oranye, kuning, ungu. Meriah sekali ya? Pada masanya, amplop ini pasti juga wangi. Dua lembar kertas di dalamnya juga semotif dan aku sempat mengiranya bagian dari kisah cinta almarhum dengan ibuku berpuluh-puluh tahun lalu, sebelum yang manis berubah menjadi hambar bahkan pahit. Waktu memekarkan bunga-bunga; waktu pula yang membuatnya layu, busuk, dan mengembalikannya pada ketiadaan.
Tetapi ternyata surat itu datang dari seorang perempuan yang memanggilnya Papi dan menanyakan kebenaran desas-desus yang telah terlalu lama terdengar. Desas-desus yang tak pernah dibenarkan kedua orang tuanya, tetapi juga tidak disangkal mentah-mentah. Desas-desus bahwa ia dan ketiga saudaranya bukanlah keturunan dari lelaki yang selama ini mereka panggil Ayah melainkan buah cinta terlarang ibu mereka dengan Papi. Papi, Papi, dan Papi! Aku mual sekali setiap tiba di bagian yang satu itu.
Aku tidak tahu apa yang benar-benar kuharapkan. Mungkin aku berharap ada kalimat tambahan di bagian paling bawah surat yang kurang lebih berbunyi, ‘Maaf, semua ini hanya bercanda.’ Mungkin aku berharap tak menemukan apa-apa lagi sebagai jawaban dari tanda tanya sebesar dunia yang serta-merta berayun-ayun di kepalaku. Tetapi mungkin juga, diam-diam aku justru amat mengharapkan penjelasan lebih atas surat itu, sepahit apa pun itu.
Dan aku mendapatkannya. Masih di rak yang sama dalam lemari pakaian itu. Hanya saja kali ini tidak terselip di dinding lemari melainkan di bawah tumpukan baju yang terlalu usang untuk disimpan. Tanpa amplop, tiga lembar kertas fotokopi dari sebuah surat yang ditulis tangan, masih dalam plastiknya. Tulisan tangan yang teramat familier bagiku.
Intinya, lelaki itu membenarkan desas-desus itu. Bak petir yang menyambar langsung ke dada, aku yakin jantungku pasti telah menggelinding ke tumit. Lelaki itu bahkan menyebutkan satu per satu nama lengkap anak buah cinta terlarangnya, dari yang sulung sampai yang bungsu. Empat nama yang bahkan jauh lebih apik dan penuh makna ketimbang namaku dan kedua adikku. Seperti dibuat sepenuh cinta, seiring harapan-harapan agung untuk masa depan.
Aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin berteriak. Aku tidak ingin memainkan drama apa pun saat ibuku dengan kursi rodanya tiba-tiba muncul di ambang pintu yang telah terlalu banyak tahun tak pernah dilewatinya lagi. Seingatku, segera setelah adik bungsuku lahir. Alasannya terlalu mengada-ada: ‘Kami sudah terlalu tua untuk tidur seranjang.’
“Kamu menemukan sesuatu, Nin?”
Aku tidak meremas kertas-kertas itu menjadi bola. Aku tidak merobek-robeknya seperti adegan dalam sinetron. Aku tahu ibuku tahu. Aku bisa membaca itu dengan segera, mendadak sadar mengapa ia tidak cukup tertarik untuk ikut membongkar isi kamar Bapak atau paling tidak menyaksikan aku membongkarnya, bernostalgia dengan kenangan-kenangan lama. Aku meletakkan seluruh kertas itu ke pangkuannya, dengan fotokopi surat balasan lelaki itu di bagian paling atas. Semuanya terbuka lebar-lebar, seperti mulut jurang.
“Sejak kapan Ibu mengetahui ini? Jadi, ini yang membuatnya tak pernah bisa menjadi seorang suami dan ayah seperti yang seharusnya di rumah ini? Kenapa Ibu diam saja? Apakah Ibu juga diam saja saat mengetahuinya? Jika Ibu mengetahuinya setelah pernikahan kalian dan kelahiran kami bertiga, kenapa Ibu tidak meminta cerai saja? Tetapi kalau Ibu tahu jauh sebelum pernikahan itu terjadi, kenapa Ibu masih saja menerimanya?"
"Masalah ini tidak pernah selesai, kan? Dia bahkan tidak pernah menafkahi kita, itu yang aku ingat. Juga tidak menimang Hendi dan Mala, mungkin juga tidak menimangku. Hanya tubuhnya yang mondar-mandir di rumah ini. Tetapi tidak dengan hatinya. Ibu tahu hatinya tidak pernah ada di sini. Tidak sedikit pun.”
Aku mencecar Ibu seolah-olah ini dosanya. Barangkali aku keliru untuk itu. Tetapi mungkin juga tidak. Waktu memberitahuku, tak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang retak di mana-mana. Kurasa, keluarga ini bahkan sudah pecah berkeping-keping. Hanya saja Ibu terus berusaha membuatnya tampak utuh. Seperti pecahan piring yang dipertahankan di atas kedua tangan. Melukai terlalu banyak orang, lebih-lebih aku serta kedua adikku yang tumbuh dengan dahaga kasih sayang dan peran seorang bapak.
Ini perkawinan yang tidak sehat. Jenis hubungan dalam keluarga yang meracuni seluruh anggotanya. Ibu bahkan nyaris tak pernah bercakap-cakap dengan suaminya sendiri. Aku serta adik-adikku apalagi. Kami sudah terlalu sering bertanya pada Ibu, kenapa Bapak tidak sama dengan bapak kawan-kawan kami di sekolah yang bisa diajak bicara bahkan bermain, yang bergantian dengan ibu mereka mengambilkan buku rapor atau mengantar dan menjemput. Dan jawaban Ibu telah kami hafal di luar kepala, bahwa sedikit perbedaan tak akan membuat dunia kami berakhir.
Aku selalu menyangkalnya. Ini bukan sedikit perbedaan melainkan ketidaknormalan yang terlalu nyata dan penting untuk diabaikan. Ini mengganggu perkembangan psikologis dan sosial kami. Ketidakpedulian lelaki itu dan ledakan kemarahannya pada kami yang begitu sering terjadi tanpa didahului sebab apa pun membuat rumah selalu terasa menegangkan. Lelaki itu seperti teror. Jika yang menjadi masalah di rumah ini hanya satu orang, kenapa kami tidak menyingkirkannya saja? Lebih tepatnya, kenapa Ibu tidak menyingkirkannya untuk kami?
Dalam setiap akhir perdebatanku dengan Ibu tentang pilihan untuk bercerai, aku akhirnya berkesimpulan bahwa di dalam rumah ini yang sangat egois bukan hanya lelaki itu melainkan juga ibuku. Mungkin ia terlalu berat menyandang status janda beranak tiga. Namun yang lebih pasti, ia tega membiarkan ketiga anaknya tumbuh dengan hati rompal dan kekosongan dalam jiwa akibat hubungan keluarga yang tidak selayaknya.
Aku tak bisa mengingat percakapan apa pun di antara aku dan lelaki yang selalu kupanggil Bapak selain: ‘Pak, aku berangkat ke sekolah,’ atau, ‘Pak, minta tanda tangan untuk buku rapor.’ Dan semuanya selalu hanya dijawab dengan, ‘Hmm,’ seolah-olah ia tak punya satu pun stok kata yang lebih baik daripada itu.
Yang seperti itu bahkan tidak layak disebut percakapan. Sementara dalam salinan surat balasannya untuk perempuan yang memanggilnya Papi, ia bahkan membuatkan lirik tembang berbahasa Jawa sampai berbaris-baris yang menggambarkan betapa dalam kasih yang terpendam di hatinya untuk mereka, keempat anak yang bahkan tak pernah mendampinginya di masa-masa sulit dan sakit. Keempat anak yang tak pernah merawatnya saat ia tak sanggup lagi pergi ke kamar mandi untuk kencing dan berak.
Jika ada bagian yang paling kubenci dalam hidup ini, itu adalah betapa orang dapat begitu egois, picik, munafik, sekaligus dungu. Kau boleh lebih mencintai yang satu daripada yang lain. Tetapi kau tidak boleh serta-merta membenci yang kurang kau cintai, apalagi jika seharusnya kau mencintainya dengan besaran cinta yang sama.
Aku tahu tak seorang pun dapat membatasi perasaannya. Aku tahu keempat anak itu juga anak-anaknya terlepas dari bagaimana bisa hubungan terlarang itu terjadi hingga melahirkan mereka. Tetapi aku yakin lelaki itu, juga ibuku, seharusnya dapat melakukan yang lebih baik demi mencegah aku dan kedua adikku menjadi korban tak berdosa dari rumah tangga yang payah. Tentu, hanya jika mereka mau.
Aku membiarkan Jumirah menyelesaikan sisanya, nyaris semua yang ada dalam kamar itu, dan meninggalkan Ibu dengan kertas-kertas di pangkuannya.
***
“Nanti sore Mbak Nina jadi saya antar cari oleh-oleh? Jam berapa pesawatnya? Biar saya siap jauh-jauh waktu, takut kena macet. Sebaiknya sih, sebelum sore kita sudah cari oleh-oleh. Daripada telat ke bandara. Atau Mbak Nina sebut saja apa yang mau dijadikan oleh-oleh, biar saya yang carikan sekalian menunggu Mbak Nina selesai.”
“Tidak, Jo. Kapan-kapan saja. Aku sudah batalkan pesawatnya dan sudah memesan hotel. Aku akan menginap. Kalau kamu ada informasi rumah yang dikontrakkan atau hunian lain, itu lebih baik. Tidak ada kriteria khusus, asal cukup aman dan layak. Aku butuh cepat.”
Tarjo, sopir kantor Jakarta yang ditugaskan untuk mengantarku ke mana-mana selama di sini, sontak melihatku penuh kekagetan dari kaca spion tengah.
“Mbak Nina enggak jadi pulang ke Jogja malam nanti? Ada tambahan tugas? Atau baru saja ada keputusan pemindahan Mbak Nina ke kantor sini? Eh, maaf, bukannya saya cerewet. Cuma kok, mendadak sekali ...”
Kamu benar, Jo, itulah yang akan sekalian kuajukan hari ini. Pindah. Toh, aku sudah begitu lama mendapatkan tawaran pindah ke Jakarta dengan posisi yang lebih tinggi dan gaji yang lebih besar. Saat aku mengatakannya nanti, bosku pasti senang sekali dan langsung menyetujuinya.
Sedang pulang? Ke mana aku harus pulang? Rumah itu bahkan tak pernah terasa seperti rumah, tempat yang seharusnya paling menawarkan kenyamanan. Ibu, bukankah rumah kita telah runtuh sejak dahulu kala? Dan aku tidak ingin terus tinggal di antara puing-puing.
Surakarta, 15 Juni 2019
__________________________________________________________________