RSUD Banyumas Layani Seribu Pasien Gangguan Jiwa Per Bulan
›
RSUD Banyumas Layani Seribu...
Iklan
RSUD Banyumas Layani Seribu Pasien Gangguan Jiwa Per Bulan
Jumlah pasien dengan gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas, Jateng, mencapai seribu orang per bulan. Pasien yang dilayani hingga wilayah Jabar sisi timur.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Jumlah pasien dengan gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas tinggi. Dalam sebulan, rumah sakit ini melayani lebih dari seribu pasien. Dukungan keluarga serta tindakan medis sejak dini dibutuhkan untuk meminimalkan dampak kronis dari gangguan jiwa pasien.
”Pasien paling banyak yang rawat inap itu 178 orang dan rawat jalan pernah sampai 3.606 per bulan,” kata dokter spesialis kedokteran jiwa RSUD Banyumas, Basiran, Sabtu (12/10/2019), di sela-sela seminar kedokteran dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2019 di Banyumas, Jawa Tengah.
Pasien rawat jalan dengan jumlah mencapai 3.000 jiwa itu, lanjut Basiran, terjadi pada 2018. Saat ini, jumlahnya menurun sekitar 50 persen karena perawatan gangguan kejiwaan seperti skizofrenia bisa dilakukan di tingkat puskesmas dengan adanya sistem zonasi fasilitas kesehatan.
”Sekarang per bulan sekitar 1.800 pasien. Mereka adalah pasien rujukan yang tidak bisa ditangani di puskesmas,” ujarnya.
Basiran menyampaikan, RSUD Banyumas merupakan rumah sakit jiwa satu-satunya di wilayah Jawa Tengah bagian selatan dan barat. Oleh karena itu, pasien pun tidak hanya dari wilayah Kabupaten Banyumas, tetapi juga dari Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, dan Cilacap.
Selain itu, pasien juga berasal dari wilayah Jawa Barat bagian timur. ”Jawa Barat bagian timur juga tidak ada rumah sakit jiwa. Pasien kami tidak hanya dari Jawa Tengah, tapi juga Jawa Barat,” ujarnya.
Pasien kami tidak hanya dari Jawa Tengah, tapi juga Jawa Barat.
Penyebab gangguan jiwa, lanjut Basiran, adalah faktor genetik, fisik, psiko-edukatif, serta masalah atau tekanan yang dihadapi saat ini, seperti faktor pekerjaan dan lingkungan sosial sekitar. ”Dari sisi ekonomi itu hanya faktor pencetus. Belum tentu orang kaya lalu tidak ngeng (mengalami gangguan jiwa),” paparnya.
Salah satu gangguan jiwa berat yang bersifat kronik, kata Basiran, adalah skizofrenia. Gangguan yang bersifat kambuhan ini berdampak pada disabilitas fungsional dan sosial.
Di Indonesia, mengutip Viora, 2014, prevalensi skizofrenia adalah 1,7 per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga. Artinya, diperkirakan ada 2,6 juta warga yang menderita skizofrenia. Sementara jumlah psikiater secara nasional baru ada 987 orang.
Dukungan keluarga serta tindakan medis, ucap Basiran, tetap perlu dipadukan supaya pasien tetap memiliki semangat hidup dan tidak mencoba untuk bunuh diri. ”Kalau dibawa ke rumah sakit jiwa orang, justru takut adanya ketergantungan pada obat. Ini harus diubah. Obat ini justru untuk mengendalikan penyakitnya agar pasien bisa bekerja dengan efektif,” tuturnya.
Dokter spesialis kedokteran jiwa di RSUD Banyumas, Hilma Paramita, yang juga menjadi narasumber dalam seminar, menambahkan, skizofrenia sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. ”Muncul pertama kali biasanya pada remaja akhir atau awal masa dewasa,” katanya.
Hilma menyebutkan sejumlah ciri-ciri orang yang berpotensi bunuh diri, antara lain sedih berkepanjangan, suasana hati yang berubah-ubah (mood swing), marah tidak terduga, dan merasa putus asa dengan masa depan. Selain itu, juga adanya perubahan pola tidur (kurang atau kelebihan), tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri dari sosial, kehilangan minat terhadap kegiatan yang biasa dilakukan, tidak peduli pada penampilan, serta perilaku menyakiti diri.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Banyumas Noegroho Harbani menyampaikan, seminar terkait kesehatan jiwa ini digelar untuk meningkatkan kapasitas serta pengetahuan dokter umum yang berkarya di wilayah Banyumas. Hal ini mengingat perawatan bagi pasien gangguan jiwa bisa dilakukan di puskesmas.
”Ini untuk meningkatkan kompetensi dokter umum perihal penanganan pencegahan kegawatdaruratan skizofrenia dalam kasus bunuh diri,” kata Noegroho.