Kesetiaan Panjang Melindungi Raksasa nan Rapuh
Perjalanan panjang Percandian Batujaya menapaki jejak baru. Tahun 2019, kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Perhatian lebih besar harus diberikan semua pihak untuk masa depan kawasan percandian ini.
Perjalanan panjang Percandian Batujaya menapaki jejak baru. Tahun 2019, kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Perhatian lebih besar harus diberikan semua pihak untuk masa depan kawasan percandian ini.
Ditemani sengatan terik matahari, Naisan (45), warga Desa Segaran, Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tak ragu melangkahkan kakinya menuju Candi Jiwa. Jarak rumahnya dengan Candi Jiwa sekitar 200 meter. Beragam peralatan dibawa ikut serta, mulai dari sikat, ember, sapu, hingga selang sepanjang 40 meter.
Tak ada keluhan keluar dari mulutnya. Semua dilakukan dengan bahagia demi merawat rapuh tubuh Candi Jiwa, salah satu bangunan penting yang ada di kompleks Percandian Batujaya. Naisan adalah salah satu juru pelihara kawasan itu.
Kompleks Percandian Batujaya diduga jadi candi Buddha tertua yang pernah ditemukan di Indonesia. Di kawasan seluas 337 hektar ini terdapat dua lapisan budaya, yaitu budaya prasejarah dan budaya Hindu-Buddha, mulai dari abad permulaan era Masehi sampai dengan abad VII.
Keberadaan dua lapisan budaya ini menunjukkan proses transisi dari budaya prasejarah ke masa Hindu-Buddha meskipun secara fungsional tidak mengalami perubahan sebagai tempat suci dan hunian.
Kini, kompleks ini mencakup wilayah Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya. Jaraknya sekitar 47 kilometer arah barat laut pusat kota Kabupaten Karawang.
Satu-satunya akses ke situs yang telah diekskavasi melalui jalan kecil terbuat dari cor beton yang membelah di antara persawahan padi. Pengunjung tak hanya disuguhi kisah sejarah, tapi juga dimanjakan pemandangan sawah, lengkap dengan burung-burung beterbangan.
Kompleks Percandian Batujaya diduga jadi candi Buddha tertua yang pernah ditemukan di Indonesia.
Siang itu, Naisan ditemani Nasri Supriadi (38), juru pelihara lainnya. Mereka melakukan banyak hal, mulai dari membersihkan dinding dari lumut hingga memungut sampah sisa pengunjung. Namun, tugas paling penting, kata Nasri, adalah mengeringkan air yang kerap menggenangi lantai candi.
”Kalau musim kemarau seperti ini, dibersihkan setiap tiga hari sekali. Saat musim hujan, biasanya harus setiap hari dikeringkan,” katanya.
Nasri menyebutkan, kemunculan genangan air itu dipengaruhi letak candi yang berada di bawah permukaan tanah sawah. Apabila tidak dikeringkan, lantai batu bata candi tersebut bakal terendam dan lekas rusak.
”Kami belajar merawat candi dari Pak Kaisin. Saat Pak Kaisin semakin berumur, kami yang meneruskannya,” ucap Naisan, yang tak lain adalah menantu Kaisin.
Baca juga : Bahagia Bersama Goyang Karawang
Nama Kaisin Sapin (82) sangat dikenal di Batujaya. Resmi diangkat jadi juru pelihara Batujaya tahun 1998, jauh sebelum itu ia sudah merawat Batujaya dengan cinta. Dia lantas mengajak anggota keluarga dan tetangganya untuk melakukan hal serupa guna meringankan pekerjaannya. Saat ini, total ada 11 juru pelihara. Mereka dibayar Rp 1 juta-Rp 3 juta per orang per bulan.
”Meski bertambah banyak, tetap saja jumlah juru pelihara masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan luas candi,” kata Kaisin.
Akan tetapi, jadi juru pelihara bukan sekadar pekerjaan bagi Kaisin dan rekan-rekannya. Dia dan juru pelihara lainnya bahkan tidak ambil pusing apabila belum ada bantuan dana yang turun untuk perawatan. Ongkos dari kantong sendiri dikeluarkan tanpa berharap bakal kembali.
Misalnya, pembuatan pagar tanaman yang mengelilingi kompleks candi. Hal itu dilakukan atas inisiatif mereka sendiri untuk mencegah pengunjung menyentuh permukaan batu candi. Selain itu, selang sepanjang 40 meter untuk menguras air juga mereka dapatkan dari hasil patungan berdua.
”Menjaga situs ini sama halnya seperti menjaga rumah sendiri. Ada rasa khawatir jika generasi ke depan tidak sempat menikmati jejak peradaban ini,” ujar Nasri.
Saksi budaya
Situs Batujaya pertama kali ditemukan tim dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1984. Sebelumnya, tim menerima informasi dari warga tentang keberadaan unur (bukit kecil) yang berserak di Batujaya saat melanjutkan penelitian di Situs Cibuaya, sekitar 15 kilometer di timur Batujaya.
Warga mengatakan, ditemukan banyak bata berukuran besar di Batujaya yang terpendam di tanah atau menumpuk membentuk gundukan di tengah sawah. Pemetaan kawasan pun dilakukan, hingga ditemukan 36 unur tersebar di kawasan Batujaya. Sebanyak 20 di antaranya diduga situs percandian. Namun, baru dua situs yang telah diekskavasi, Candi Jiwa dan Candi Blandongan.
Candi Jiwa merupakan bangunan berdinding bata, berbentuk bujur sangkar, berukuran 19 meter x 19 meter dan tinggi 4,7 meter. Menurut arkeolog senior peneliti Kompleks Batujaya dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, Candi Jiwa diyakini bercorak Buddha.
Hal ini terlihat dari adanya jalan yang mengelilingi candi (pradaksina) dengan lebar sekitar 1 meter. Pradaksina adalah prosesi untuk menghormati kisah perjalanan Buddha dengan cara mengelilingi candi searah jarum jam sebanyak tiga kali.
Pada tahun 1992, penelitian dilanjutkan ke Candi Blandongan, berjarak sekitar 250 meter dari Candi Jiwa. Bangunan utama Candi Blandongan berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran 25 meter x 25 meter, dan tangga naiknya terletak di sisi-sisi timur laut, tenggara, barat daya, dan barat laut. Di tengah bangunan terdapat bangunan tidak utuh berukuran 10 meter x 10 meter.
Dari runtuhan Candi Blandongan, lanjut Bambang, ada temuan menarik yang mendukung bahwa kompleks candi itu berlatar belakang agama Buddha, yakni temuan 43 buah votive tablet yang terdapat hiasan relief menggambarkan mandala Buddha.
Votive tablet adalah simbol Buddha berukuran kecil dari tanah liat yang dicetak dengan teknik tekan, selanjutnya dibakar atau bisa pula hanya dijemur. Bentuk penampangnya persegi panjang, bagian atasnya membulat dan sisi-sisinya memiliki bingkai yang berhias garis-garis bersusun menyerupai Sikhara (bagian puncak stupa).
Tidak hanya candi, banyak penemuan menarik di sini selain percandian. Salah satunya, 16 rangka manusia yang ditemukan tiga kali, yakni pada tahun 2005 (7 rangka), Mei 2010 (6 rangka), dan Oktober 2014 (3 rangka). Penemuan lain antara lain berupa gelang emas, manik-manik, gerabah, keramik, dan senjata logam.
”Hampir pasti, inilah kuburan para pendukung budaya Buni, budaya masa Paleometalik, yang sangat akrab dengan alat-alat logam dan mengembangkan teknologi gerabah berslip merah pada akhir prasejarah di Jabar. Kalau melihat candi-candi yang mengacu pada budaya Hindu dan Buddha, mereka ini mewakili masyarakat dari zaman peralihan, prasejarah ke sejarah. Mereka hidup dengan pola prasejarah, tapi memeluk agama baru, lantas mendirikan candi,” papar Harry Widianto, arkeolog dan ahli paleoantropologi (Kompas, 1 Februari 2015).
Tetap menghidupi
Meski dibuat pada awal Masehi, manusia masa kini sesungguhnya bisa belajar banyak dari candi tersebut. Teknologi pembuatan candi terbilang canggih, bertahan hingga kini, dan tetap menghidupi.
Salah satunya adalah penggunaan stuko atau plester berwarna putih berbahan dasar kapur pada dinding candi. Kapur diambil dari pegunungan kapur di Karawang selatan. Perbukitan tersebut masuk dalam Formasi Parigi yang terdiri dari batu gamping klastik dan batu gamping terumbu yang melintang dari barat ke timur sekitar 20 kilometer.
Dalam buku Kompleks Percandian Batujaya, Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat (2011), arkeolog Hasan Djafar mengatakan, bahan dan kegunaannya disesuaikan dengan tujuan pengguna. Untuk melapisi tembok, arsitek mencampur kapur dan kulit kerang.
Hal ini terkait dengan keberadaan candi yang dulu diyakini ada di tepi pantai. Kerang dianggap sebagai bahan kuat penahan abrasi air laut. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Untuk ini, biasanya pekerja membakar kapur dengan suhu 900-1.000 derajat celsius. Untuk memperoleh fondasi yang kuat, kapur dicampur dengan pasir dan kerikil.
Penerapan mitigasi bencana juga sudah terlihat dari usaha meninggikan halaman candi dan mengeraskan lantai dengan lapisan beton stupa guna menghindari banjir. Buktinya bisa dilihat dari reruntuhan Candi Segaran V (Candi Blandongan). Hasan mengatakan, arsiteknya sudah mengetahui risiko banjir apabila hidup di sepanjang sungai dan muara Citarum.
Penerapan mitigasi bencana juga sudah terlihat dari usaha meninggikan halaman candi dan mengeraskan lantai dengan lapisan beton stupa guna menghindari banjir.
Selain itu, Hasan juga mengatakan, teknologi pengolahan tanah liat di Batujaya telah dikenal masyarakat saat itu. Batu bata Batujaya berukuran 40 cm x 20 cm x 7 cm dan terbuat dari campuran tanah liat dan sekam padi. Kemudian, dipanaskan pada suhu sekitar 700 derajat celsius.
Hingga kini, peninggalan teknologi pembuatan batu bata masih melekat pada warga Desa Segaran, Batujaya. Berjarak sekitar 2 kilometer dari lokasi situs, terdapat permukiman yang mayoritas menjadi perajin batu bata. Warga tidak tahu siapa yang pertama kali memulai usaha itu.
Baca juga : Gundah Hidup Nelayan Penjaring Minyak
Satu hal yang mereka pahami, usaha itu merupakan usaha turun-menurun yang tetap dikelola. Sumiyati (30) adalah generasi ketiga dari usaha pembuatan batu bata merek 777 di Desa Segaran. Usaha itu, kata Sumiyati, dimulai oleh kakeknya, almarhum Piran, sekitar 50 tahun lalu. Bahan campuran bata terbuat dari tanah liat yang berasal dari Sungai Citarum, sekam padi, dan pasir.
Pada saat pemugaran situs, warga kebanjiran pesanan untuk memenuhi permintaan peneliti candi. Mereka diminta membuat batu bata berukuran sesuai besaran bata candi. Proses pembuatannya sedikit berbeda, yakni pada tahap penjemuran. Pesanan bata candi itu tidak boleh dijemur di bawah sinar matahari langsung.
”Sudah mengikuti standar permintaan mereka, tapi bata buatan saya banyak yang pecah. Akhirnya tidak banyak membantu untuk melengkapi candi. Tidak tahu bagaimana orang zaman dulu membuatnya bisa awet hingga ratusan tahun kemudian. Kalau ada ilmunya, mungkin lebih baik,” tuturnya.
Harapan itu bisa jadi menemukan jalannya tahun ini. Setelah menempuh perjalanan panjang, pada Maret lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 76/M/2019. Isinya, penetapan kompleks percandian di Batujaya, Karawang, sebagai kawasan cagar budaya nasional.
Dengan status ini, penelitian dan perawatan candi bisa jadi lebih ideal.
Tanggung jawab pelestarian berada di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Sementara pengelolaan museum ditangani oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Banten Juliadi mengatakan, tahun ini, program pelestarian yang dilakukan adalah fokus menata penanganan genangan air di Candi Jiwa. Menurut dia, hal itu merupakan masalah utama yang harus dihadapi dalam upaya melestarikan cagar budaya di Batujaya. Letaknya di daerah persawahan dan di bawah permukaan tanah, membuat situs ini mudah tergenang air. Sebagian besar juru pelihara diturunkan untuk fokus menangani hal ini.
”Lumut pada dinding batu bata hingga genangan air sejauh ini akan menjadi perhatian utama. Semoga ke depan penelitian untuk mengungkap sejarah Batujaya bisa segera terlaksana,” ujarnya.
Pengakuan sebagai kawasan cagar budaya dari negara bukan akhir dari usaha belajar dari kearifan nenek moyang. Masih banyak kerja dan usaha ilmiah yang harus dilakukan agar semua pesan yang lama terkubur bisa terkuak kembali.