Operator maskapai Lion Air, PT Lion Air Mentari Airlines, membuka peluang untuk menghimpun dana pasar modal dengan menjadi perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operator maskapai Lion Air, PT Lion Air Mentari Airlines, membuka peluang untuk menghimpun dana pasar modal dengan menjadi perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Maskapai siap menawarkan saham perdana pada saat kondisi pasar modal tengah bergejolak dan industri penerbangan sedang lesu.
Corporate Communications Strategic Lion Air Group Danang Mandala mengatakan, perusahaan akan melibatkan konsultan untuk merealisasikan penawaran saham perdana (IPO). Namun, dia belum dapat menyebutkan target penggalangan dana publik tersebut.
Danang memastikan aksi korporasi tersebut akan direalisasikan setelah mendapat hasil kajian atas respons pasar. ”Rencana (IPO) akan direalisasikan secepatnya. Saat ini, konsultan masih melakukan analisis terhadap situasi pasar,” ujarnya kepada Kompas saat dihubungi, Sabtu (12/10/2019).
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna, Rabu, mengungkapkan bahwa maskapai Lion Air telah menyampaikan dokumen untuk melakukan penawaran umum saham perdana. Lion Air dijadwalkan akan melakukan mini-expose pekan depan.
”Kami lihat, mudah-mudahan mereka sudah bisa menyampaikan informasinya secara lengkap sehingga bisa kami proses secara cepat,” ujarnya.
Lion Air berencana melakukan IPO dengan menggunakan laporan keuangan tahun buku 30 Juni 2019 sehingga maskapai ini diperkirakan bisa mencatatkan diri sebagai emiten di bursa tahun ini. Jika resmi melantai di bursa, Lion Air bakal tergabung di sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi.
Dilansir dari Bloomberg, Lion Air membidik dana segar hingga 1 miliar dollar AS atau Rp 14 triliun melalui penawaran saham kepada publik. Dengan nilai jumbo tersebut, Lion Air bakal menggeser posisi PT Adaro Energy Tbk sebagai pemegang rekor IPO terbesar pada 16 Juli 2008 di pasar modal Indonesia, yang kala itu meraup Rp 12,25 triliun.
Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menyampaikan, emisi saham jumbo dari maskapai penerbangan Lion Air harus dieksekusi pada waktu yang tepat. Menurut dia, di tengah volatilitas pasar saat ini, target penerbitan hingga Rp 14 triliun akan sulit terserap pasar.
”Kalau mau IPO sebesar itu, waktunya harus tepat dan industri dalam kondisi bagus sehingga bisa memikat investor,” katanya.
Adapun nilai kapitalisasi pasar emiten maskapai terbesar saat ini masih dipegang oleh PT Garuda Indonesia Tbk yang mencapai Rp 13 triliun.
Sementara itu, Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menilai, kinerja yang dibukukan emiten maskapai penerbangan pada tahun ini belum dapat dijadikan sebagai sinyal positif mengenai prospek emiten penerbangan.
Menurut dia, lesunya kinerja industri penerbangan disebabkan oleh beberapa anomali yang tidak terjadi pada periode sebelumnya, seperti kenaikan harga tiket Garuda Indonesia dan penambahan armada yang dilakukan oleh AirAsia.
”Katalis-katalis tersebut diharapkan tidak terjadi lagi pada tahun depan. Butuh waktu untuk melihat industri maskapai penerbangan dapat bekerja dengan stabil,” ujarnya.
Frederik mengatakan, tipisnya margin yang didapatkan perusahaan maskapai penerbangan menjadi pertimbangan penting yang perlu dicermati sebelum investor menanamkan modal mereka ke emiten-emiten tersebut.
Kepala Riset Narada Aset Manajemen Kiswoyo Adi Joe menuturkan, butuh waktu yang tepat untuk mengeksekusi IPO agar saham yang ditawarkan diborong investor. Baginya, triwulan IV-2019 bukanlah waktu yang tepat untuk menawarkan saham perdana karena kondisi pasar masih bergejolak.
Kiswoyo menilai, idealnya emiten berbondong untuk mengantre mencatatkan perusahaan mereka di BEI ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level 6.500. Pada level psikologis tersebut, dinilai minat investor terhadap saham baru yang ditawarkan akan tinggi.
Walau begitu, IPO yang ditawarkan di tengah IHSG yang memerah bisa tetap dilakukan dengan catatan terdapat pembeli siaga sehingga dana yang digalang sesuai dengan target. Secara umum, Kiswoyo menilai, sektor penerbangan kurang menarik karena menawarkan risiko tinggi, tetapi keuntungan rendah.