Pentas "Peace" Arahan Putu Wijaya Sentil Situasi Bangsa
›
Pentas "Peace" Arahan Putu...
Iklan
Pentas "Peace" Arahan Putu Wijaya Sentil Situasi Bangsa
Pertunjukan drama modern berjudul “Peace” dari Teater Mandiri di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Kota Denpasar, Bali, Sabtu (12/10/2019), malam menutup rangkaian Seminar Internasional Sastra Indonesia di Bali 2019.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS – Pertunjukan drama modern berjudul “Peace” dari Teater Mandiri di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Kota Denpasar, Bali, Sabtu (12/10/2019), malam menutup rangkaian Seminar Internasional Sastra Indonesia atau SISI di Bali 2019. Pentas itu menyentil kondisi terkini bangsa dan masyarakat.
Malam penutupan SISI di Bali 2019 menghangat dengan pementasan drama modern dari Putu Wijaya bersama Teater Mandiri. Mereka mementaskan drama karya Putu Wijaya yang berjudul “Peace”. Putu Wijaya turut tampil dalam pergelaran itu meskipun sastrawan kelahiran Tabanan, Bali, itu harus duduk di kursi roda.
Melalui karya dramanya berjudul “Peace” itu, Putu Wijaya menyoroti pergolakan yang dialami dan terjadi di Tanah Air yang mengakibatkan kegaduhan dan perpecahan di masyarakat, bahkan peperangan. Kemerdekaan dan kesepakatan mengenai penghargaan atas perbedaan dalam Bhinneka Tunggal Ika nyaris kehilangan makna.
Melalui dialog dan gerak para aktor, beserta musik dan efek cahaya, Teater Mandiri menyuguhkan kegetiran sekaligus kejenakaan dari sastrawan Putu Wijaya. Teater Mandiri menggandeng Jais Darga sebagai bintang tamu dalam pergelaran drama tersebut.
Jais memerankan sosok perempuan yang berani menggugat diskriminasi gender dan kemunafikan meskipun dicap sebagai iblis dan dinyatakan sebagai buron dari aparat keamanan. Jais tampil “berani” ketika dia menyingkap gaunnya hingga menampilkan sebentuk benda menyerupai kemaluan laki-laki.
Melalui dialog antara Pak Amat, yang diperankan Ari Sumitro dan Bu Amat (Laila Uliel) dengan calon asisten rumah tangga bernama Bety alias Nora (Rukoyah) dan tukang bakso (Imron Enrico), Putu Wijaya menyuarakan sindirannya terhadap sejumlah situasi aktual di masyarakat. Misalnya, gaya hidup materialistis, masalah sampah, dan kebebasan berpendapat.
Adapun gugatan Putu Wijaya tentang suasana kekinian yang dialami bangsa dimunculkan dalam monolog sosok pengacara muda yang dimainkan Taksu Wijaya. Pementasan drama dari Teater Mandiri itu berlangsung hampir selama dua jam mulai pukul 20.05 Wita. Drama diakhiri dengan menyanyikan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” secara bersama-sama oleh seluruh pemain dan para penonton.
Giuseppe “Pino” Confessa, seniman yang juga Konsul Kehormatan Italia di Bali, mengapresiasi pementasan tersebut. “Pementasan drama yang menarik,” kata dia.
“Alur ceritanya kuat, seluruh pemainnya taat pada dialog meskipun dialognya panjang,” ujar Pino.
Dalam penutupan SISI di Denpasar, Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Wayan “Kun” Adnyana memberi apresiasi kepada sekitar 150 peserta yang mengikuti kegiatan tersebut sejak Kamis. Adnyana menyatakan, Pemerintah Provinsi Bali di bawah kepemimpinan Gubernur I Wayan Koster memberikan perhatian serius terhadap kebudayaan dan berkomitmen menjadikan Bali sebagai etalase pemajuan kebudayaan Indonesia.
Untuk itu, Pemprov Bali bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali sedang memantapkan penyusunan rancangan peraturan gubernur (pergub) tentang pemajuan kebudayaan daerah.
“Rancangan pergub ini terobosan dari Gubernur Bali untuk memfasilitasi seniman dan sastrawan yang merupakan diplomat kebudayaan yang membawa nama harum tidak hanya bagi Bali namun juga Indonesia,” kata Adnyana, Sabtu malam.
Acara penutupan dihadiri pula istri Gubernur Bali yang juga penyair Ni Putu Putri Suastini Koster, sastrawan Maman S Mahayana, budayawan Jean Couteau, dan penyair Umbu Landu Paranggi bersama sejumlah tokoh sastra dan budaya lainnya.
I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani mewakili tim perumus Seminar Internasional Sastra Indonesia (SISI) di Bali menyebutkan, pertemuan sastrawan, akademisi, dan pemerhati sastra Indonesia di Bali merekomendasikan Pemprov Bali agar memfasilitasi penyelenggaraan festival sastra yang dirangkai pameran buku karya sastra. Adapun SISI di Bali mengangkat tema “Sastra, Lingkungan, dan Kita”.
Selain itu, Pemprov Bali didorong memperbanyak kegiatan sastra berupa lokakarya maupun pelatihan serta lomba-lomba sastra. "Kami juga mendorong pemberian penghargaan atau insentif bagi sastrawan yang aktif menulis karya sastra bermutu. Hal lainnya adalah pembentukan komunitas sastra Indonesia dan penguatan komunitas sastra Indonesia di Bali," ungkap Triadnyani.
Putri Koster mengungkapkan, kehadiran dan keberadaan sastrawan serta budayawan penting dalam kehidupan masyarakat. Pemprov Bali memberikan ruang dan kesempatan bagi seni modern untuk tumbuh dan berekspresi, di antaranya, melalui pelaksanaan festival seni Bali Jani yang akan digelar mulai 28 Oktober.