La Paz, 3.600 Mdpl
Masa lalu ada di depan, sementara masa depan itu ada di belakang. Jangan mendebat dulu! Itulah sistem kepercayaan tradisional Aymara dan Quechua,dua etnik yang mendiami Bolivia.
Kepercayaan itu menjadi jawaban ketika pada 2014 banyak orang mempertanyakan jam analog besar di Gedung Kongres Bolivia di La Paz yang berputar secara terbalik (mundur).
Kala itu, Menteri Luar Negeri Bolivia David Choquehuanca berucap bangga, ”Siapa bilang jam harus selalu berputar ke satu arah? Mengapa kita tidak bisa kreatif?”
Itulah ”jam Selatan”: punya mekanisme baru yang tak ortodoks. Jam mundur dianggap sebagai identifikasi akar budaya.
Dalam peta geopolitik dan ekonomi global, hegemoni negara-negara belahan utara sulit tertandingi negara-negara selatan di Amerika Selatan dan Afrika. Utara dan Selatan adalah potret ketimpangan dunia: kemajuan versus keterbelakangan. Tak mengherankan, tulis Harry Stewart di theculturetrip.com, di Bolivia jam mundur menjadi simbol untuk mengembalikan identitas bangsa sekaligus melepaskan diri dari hegemoni Utara.
Cerita jam terbalik itu memang unik, seunik sepenglihatan mata saat berdiri di Plaza Murillo, memandangi puncak bangunan tua Gedung Kongres bercat putih-kuning itu.
Plaza Murillo adalah alun-alun populer. Ia menjadi penanda pusat kekuasaan. Di sisi-sisinya terdapat Istana Presiden, Gedung Kongres, Gereja Katedral, dan gedung bersejarah lain. Plaza yang dibangun pada 1558 itu semula bernama Plaza Mayor, kemudian Plaza de Armas.
Pada 1902 diubah menjadi Plaza Murillo sebagai penghormatan untuk Pedro Domingo Murillo, pahlawan perang kemerdekaan yang dieksekusi di tiang gantungan di alun-alun itu pada 1810 oleh tentara Spanyol. Sejak abad ke-18 hingga saat ini, Plaza Murillo melekat sebagai arena pertempuran kekuasaan politik di Bolivia.
Perang dan konflik adalah potret buram sejak tanah-tanah orang Indian di Benua Amerika dicaplok Spanyol. Setelah menguasai Peru, tentara Spanyol menembus ke pedalaman berburu ke pusat-pusat pertambangan di Potosi dan Oruro di Bolivia. Kala itu, Bolivia masih bernama Peru Atas (Upper Peru). Jarak Peru menuju ladang pertambangan sangat jauh. Apalagi harus melintasi puncak-puncak bumi di Dataran Tinggi (Altiplano) Andes.
Di ngarai yang dalam, tempat berlindung dari angin dingin, di sekitar aliran sungai Choqueyapu, di mana bangsa Inca bermukim; Kapten Alonso de Mendoza menancapkan patok pada 20 Oktober 1548. Sebuah kota penghubung pun dibangun: Nuestra Senora de La Paz (Bunda Maria yang damai). Berada di titik ketinggian 3.250 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 4.100 mdpl.
Pekan depan, La Paz memasuki usia ke-471. Meskipun terletak di ”negara terkunci” di tengah-tengah Amerika Selatan, ”kota damai itu” berkembang menjadi metropolis. La Paz adalah ibu kota kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bolivia memang unik. Punya ”ibu kota kembar”. Kota Sucre yang berada di sebelah tenggara La Paz menjadi ibu kota konstitusional, tempat Mahkamah Agung berada.
Penyakit ketinggian
Maka, perjalanan kali ini agak menggelisahkan. Tak seperti biasanya. Saya mesti menyiapkan kondisi psikis sebelum terbang ke La Paz. Terbayang ketinggian puncak bumi di Altiplano Andes yang membentang dari Peru, Bolivia, hingga Chile dan Argentina. Ketinggian rata-rata La Paz seperti puncak tertinggi di Jawa, yaitu Gunung Semeru, 3.676 mdpl.
Di puncak ketinggian sudah pasti udara teramat dingin meski matahari terasa begitu dekat. Sepanjang Juli-Agustus 2019, suhu udara tertinggi cuma sampai 18 derajat celsius. Malam hari suhu udara rata-rata 0-4 derajat celsius, bahkan hingga minus 7 derajat celsius. Dinginnya bukan main, terlebih jika ada tiupan angin kencang. Namun, bagi warga La Paz, itu suhu normal.
Di ketinggian, sudah tentu kadar oksigen menipis. Paru- paru akan bekerja lebih keras karena oksigen yang dihirup tidak sebanyak biasanya. Saat mendarat di Bandara El Alto di ketinggian 4.061 mdpl, tubuh terasa melayang, sempoyongan, dan napas terasa pendek.
Hari-hari awal di La Paz perasaan serba tak nyaman: napas terengah-engah, jantung berdetak lebih kencang, kepala sakit dan pusing, perut mual-mual, kulit jari jemari serta bibir pecah-pecah dan berdarah, hidung mimisan, hingga reaksi fisik dan pikiran yang agak melamban. Itulah gejala penyakit altitude sickness atau acute mountain sickness yang mulai terasa di ketinggian 2.500 mdpl itu. Hampir semua pelancong yang tiba di La Paz pasti mengalami penyakit ketinggian itu.
Setidaknya butuh seminggu untuk aklimatisasi, bergantung pada kondisi tubuh masing- masing. ”Ada obat soroche, lumayan untuk mengurangi efek penyakit ketinggian,” ujar Duta Besar RI untuk Peru dan Bolivia Marina Estella Anwar Bey di Lima, Peru, seraya memberikan obat soroche sebelum saya terbang ke La Paz, akhir Juli lalu.
Selama sebulan di La Paz, juga bergantung pada tabung oksigen ketika napas terasa tersengal-sengal. Penduduk Andes punya cara tradisional untuk mengurangi efek gejala penyakit ketinggian itu: minum seduhan daun koka. Menurut mereka, koka beda dengan kokain.
Kokain adalah hasil ekstrak kimiawi daun koka yang mengandung alkaloid itu. Tak heran, daun koka adalah barang legal di Bolivia, Peru, Ekuador, Kolombia, Chile, dan Argentina. Dijajakan di pinggir-pinggir jalan. Pada 2017, Presiden Bolivia Evo Morales yang mantan petani koka itu meneken undang-undang yang melipatgandakan luasan areal tanaman koka.
Unik, khas, dan menarik
La Paz memang unik. Terselip di ngarai-ngarai dalam di Altiplano Andes. Gunung kedua tertinggi Illimani (ketinggian 6.438 mdpl) yang berselimut salju selalu terlihat anggun dan indah dari kota La Paz. Permukiman penduduk semakin merambah ke puncak-puncak gunung yang mengitari La Paz. Terletak di celah ngarai membuat kontur tanah di La Paz nyaris tiada yang rata. Jalanan curam, miring, sempit, mendaki, dan menurun. Ditambah lagi dengan oksigen yang tipis, berjalan kaki sungguh melelahkan. Namun, sisi positifnya, melatih gerak jantung dan organ-organ tubuh lainnya.
La Paz juga khas. Salah satunya sistem transportasi cable car atau gondola lift Mi Teleferico. Mirip kereta gantung di Ancol atau Taman Mini Indonesia Indah. Ada 10 lines dan 36 stasiun yang mengitari La Paz hingga El Alto. Moda transportasi yang beroperasi tahun 2014 itu tentu saja antimacet, sekaligus bisa berwisata memandangi La Paz dari ketinggian. Kendalanya cuma angin kencang. Jika angin kencang, sistem transportasi itu dihentikan. Penumpang mungkin akan ”terjebak” beberapa saat di udara, tetapi tetap aman.
La Paz juga kota yang menarik. Warganya suka berpesta dan menari. Atraktif dan energik. Suvenirnya warna-warni, yang pusatnya ada di El Mercado de Las Brujas (The Witches Market). Sistem pemakaman (cementerio) juga unik, seperti rumah-rumah susun mungil. Dan, jangan lupa ke Valle de La Luna (Moon Valley), sekitar 10 km dari pusat kota. Menurut astronot Neil Armstrong, kontur Valle de Luna mirip Bulan. Itulah wajah Bulan di Bumi.
Jadi, meski terkendala suhu dingin dan penyakit ketinggian, La Paz sejatinya kota damai yang menggoda. Di sebuah mirador di titik 3.600 mdpl, setelah melewati patung sang libertador Simon Bolivar—asal nama Bolivia disematkan—saya memutuskan untuk berhenti. Karena ibu kota tertinggi, inilah puncak perjalanan jurnalistik. Memandangi jam mundur, saya mencoba menemukan jejak masa lalu yang ada di depan.