Membuka Pintu Aset Disabilitas
Keriangan yang otentik menjelma di Studio Wangirupa, Bandung, Jawa Barat. Mereka tak sabar memapar kisah masing-masing lewat karya yang dipamerkan. Mereka tidak sedang mempertanyakan sesuatu, justru sedang menyatakan sesuatu.
”Ini gambar sketsa aku. Yang ini, aku yang nasionalis. Ini, aku cemberut. Kalau yang ini, gambar sketsa aku yang banyak akal,” ujar Hendra Gunawan (21), lalu menguap dengan mulut menganga lebar tanpa ragu, Sabtu (5/10/2019).
Itulah Hendra yang penuh antusiasme. Ia memiliki karunia spektrum autisme dan menjadi satu di antara delapan penyandang disabilitas yang lolos seleksi open call atau pendaftaran terbuka untuk program ”Kita Projekt” dari lembaga The Special Indonesia, Bandung.
Karya Hendra berbeda dengan karya seni rupa lainnya yang kerap sekadar mempertanyakan segala sesuatu. Hendra justru menyatakan sesuatu. Hendra menyatakan kesetaraan, mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.
Sketsa Hendra yang diberi judul ”Banyak Akal” digambarkan sosok wajahnya disertai lampu pijar di atasnya. Di situlah Hendra menyatakan, penyandang autisme mempunyai banyak akal untuk bertahan dan menjalani hidup di tengah masyarakat. Akan tetapi, yang terjadi justru kerap diabaikan, tidak diberi fasilitas dan kesempatan yang sama.
Hendra bersama tujuh peserta terseleksi selama sebulan penuh berkolaborasi dengan perusahaan rintisan (start up) di Bandung untuk menghasilkan produk industri kreatif. Hasil kolaborasi mereka itulah yang kemudian dipamerkan di Studio Wangirupa, 21 September-12 Oktober 2019.
Sebanyak delapan peserta yang berusia sebaya itu meliputi Hendra, Bisma Muhammad Hanif (asperger), Anandya Zenita (ADHD/gangguan pemusatan perhatian atau hiperaktif), Claudia Panca (borderline personality disorder/gangguan kepribadian ambang), Rangga Putra (spektrum autisme), Fathur Ridho (spektrum autisme), Alisya R Nurandini (tuli), dan Krisna Nugraha (tuli).
Proses kegiatan ini diawali showcase atau pemaparan portofolio karya masing-masing. The Special Indonesia kemudian mengundang beberapa perusahaan rintisan di bidang industri kreatif di Bandung untuk penjajakan kerja kolaboratif dengan delapan peserta tadi.
Sebanyak delapan perusahaan rintisan menyatakan tertarik untuk berkolaborasi. Imansari dan Firli dari The Special Indonesia mengatakan, program Kita Projekt berhasil mempertemukan aset para penyandang disabilitas berupa karya seni rupa dengan para pemilik perusahaan rintisan di bidang industri kreatif.
”Para peserta dengan aset masing-masing itu kemudian memiliki akses ke dunia industri,” ujar Firli.
Pertama
Program Kita Projekt berpotensi membangun kemandirian secara ekonomi. Program ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan The Special Indonesia dan diharapkan berlanjut pada tahun- tahun berikutnya.
Metode program ini menarik dan mudah diterapkan untuk komunitas-komunitas penyandang disabilitas lainnya. Di situ tidak semata motivasi ekonomi diraih, tetapi juga ada aspek lain bagi orang-orang terdekat yang selama ini merawat penyandang disabilitas.
Di Studio Wangirupa, selain karya-karya kolaborasi, ditampilkan juga ruang suvenir yang menampung produk industri kreatif berbasis desain karya penyandang disabilitas lainnya. Di antaranya, belasan gulungan kain hijab yang dikemas apik, memiliki kisah tersendiri. Desain corak kain ini diambil dari karya mural penyandang cerebral palsy atau kelumpuhan otak, Keizar Khrisna Yudha (24).
Desain itu bercorak abstrak didominasi garis lengkung warna-warni. Kedua orangtua Keizar, Yeni Haryani dan Yuda Purnama, mengatakan, desain-desain kain hijab itu diambil dari potongan mural di dinding kamar Keizar.
Sekitar 16 tahun silam, ketika Keizar berusia sekitar 8 tahun, ia mulai senang mencorat-coret dinding di samping tempat tidurnya. Sembari tiduran, Keizar memegang krayon warna-warni untuk digoreskan di dinding. Sesekali Keizar meraih dan menggambar di dinding yang lebih tinggi.
Karunia cerebral palsy-nya tidak membatasi imajinasi Keizar. Hingga beberapa waktu kemudian terciptalah mural sepanjang 2 meter dan tingginya sekitar 1 meter di kamar Keizar.
Karya mural Keizar itu dibiarkan sampai sekarang. Hingga suatu ketika, kedua orangtuanya menyekolahkan Keizar ke Art Therapy Center Widyatama di Bandung.
Dari lembaga itulah mereka mengerti bahwa karya seni rupa Keizar berupa mural tadi sebagai aset penting. Mereka akhirnya tergerak untuk menggunakannya sebagai desain kain hijab.
”Saat ini kami sudah mengumpulkan sekitar 30 desain untuk kain hijab dari gambar mural Keizar. Sebagian sudah diproduksi dan dipasarkan,” ujar Yuda Purnama.
Mural Keizar ini contoh nyata aset penyandang disabilitas yang begitu sederhana, bahkan tidak terencana. Ketika aset diolah, akses ke dunia industri kreatif tercipta.
Karya kolaborasi
Dari ruang pamer Kita Projekt, dihadirkan karya-karya kolaborasi antara delapan peserta terseleksi dan perusahaan rintisan. Karya mereka layak dikonsumsi pasar.
Perusahaan Crisan-Rumah Kemasan Bandung menggandeng Aliya untuk berkolaborasi dan menghasilkan ragam travel kit (perlengkapan perjalanan), antara lain aneka tas beragam ukuran dan model.
Rumah Kemasan Bandung menempatkan obyek tertentu dari karya lukis Alisya untuk desain-desain travel kit tersebut. Di antaranya Alisya melukis Gedung Sate Bandung, Candi Borobudur, Pura di Bali, Monas di Jakarta, dan sebagainya.
Dua peserta, Anandya dan Claudia, digaet perusahaan rintisan NNYL Studio, Neanaila & Empa Handmade. Anandya memiliki keunikan tersendiri dengan hiperaktifnya itu.
”Ini paus orca, paus pemburu…,” ujar Anandya, berulang-ulang seraya menunjukkan serta menggerak-gerakkan moncong boneka paus orca berwarna hitam putih itu.
”Saya suka hitam,” ujar Anandya, yang didamping ibunya, Maya Istiandari. Menurut Maya, Anandya memenuhi kamar dengan banyak boneka, terutama boneka hewan laut. Sejak lama boneka paus orca paling disukainya.
Motif paus orca ini lalu dikembangkan untuk menghasilkan produk kolaboratif berupa buku cerita, hiasan tas, dan boneka paus orca.
Begitu pula dari karya Claudia yang suka kucing. Ragam bentuk kucing yang digambarnya dijadikan hiasan buku, tas, ataupun boneka kucing sesuai dengan imajinasi otentik Claudia.
Adapun karya peserta Fathur Ridho, akrab disapa Edo, digaet perusahaan rintisan Pijak Bumi. Produk kreatifnya berupa sepatu dengan hiasan cetak lukisan karya Edo. Lukisan Edo di sepatu itu di antaranya juga bermotif sepatu dan sandal dengan aneka bentuk sesuai dengan ruang imajinasinya.
Berikutnya, Krisna dan Rangga digandeng perusahaan rintisan Jalan Jajan dan McBlush Gift. Krisna dan Rangga suka melukis. Lukisan mereka kemudian dijadikan desain untuk beragam travel kit, seperti tas dan dompet, juga sampul untuk buku tulis.
Adapun karya Bisma digaet perusahaan rintisan Konco Studio. Bisma dengan karunia asperger ini mampu menyimpan banyak pengetahuan tentang otomotif dan alat transportasi lain.
”Bisma seperti ensiklopedia otomotif berjalan. Bisma tahu banyak tentang tipe atau model beragam alat transportasi, seperti mobil dan kereta api,” ujar Firli.
Konco Studio mengajak Bisma untuk melukis kereta api dan dijadikan desain jok kursi kayu. Lukisan lainnya dikaitkan dengan ikonik budaya Jawa Barat, seperti angklung, corak batik mega mendung, atau pemandangan gunung.
Hendra yang menggambar banyak sketsa tentang dirinya tadi digandeng perusahaan rintisan Recycle Experience. Kemudian lahirlah karya Hendra berupa wajah berukuran besar yang disusun dari barang-barang bekas, terutama berbahan plastik.
”Sepanjang program pameran ini, saya melihat mereka (peserta disabilitas) selalu bahagia,” kata Karangwangi, akrab disapa Angi, pemilik Studio Wangirupa ini.
Di sinilah mereka menyatakan, bukan mempertanyakan. Rasa bahagia, bukan keluh kesah, juga satu hal penting yang selalu mereka nyatakan.