Kepolisian Perancis membuka kembali penyelidikan internal terkait dugaan radikalisasi di antara para anggotanya. Langkah itu sebagai tindak lanjut atas insiden penyerangan di kantor kepolisian Paris pada 3 Oktober 2019.
Oleh
·3 menit baca
PARIS, SABTU — Kepolisian Perancis membuka kembali penyelidikan internal terkait dugaan radikalisasi di antara para anggotanya. Langkah itu merupakan tindak lanjut atas insiden penyerangan di kantor kepolisian Paris pada 3 Oktober 2019 saat seorang pekerja bagian teknologi informatika kepolisian itu membunuh empat koleganya dengan amukan pisau.
Le Temps, salah satu koran terbitan Paris, dalam laporan edisi Sabtu (12/10/2019), menulis, penyelidikan itu berujung pada pelucutan dua polisi. Keduanya diminta menyerahkan pistol semiotomatisnya.
Kepolisian Perancis tidak mengumumkan secara terinci identitas kedua anggotanya yang dilucuti itu. Meski demikian, diketahui bahwa salah seorang yang dilucuti itu berpangkat kapten dan bertugas di Perancis. Sejumlah dokumen menunjukkan, polisi berpangkat kapten itu sudah diamati sejak 2011 karena perilakunya berubah.
Penyelidikan oleh provos kala itu tidak menemukan bukti ia teradikalisasi. Meski demikian, ia dipindahtugaskan ke bagian yang tidak bisa mengakses informasi keamanan penting.
Sementara seorang lagi adalah petugas biasa yang bertugas di Villeneuve-la-Garenne. Pada 2018, ia dibebastugaskan karena diduga teradikalisasi. Ia menggugat keputusan itu dan menang. Ia bisa bertugas lagi pada awal 2019.
Kedua polisi tersebut kembali diperhatikan selepas insiden 3 Oktober 2019. Kala itu, seorang pegawai di kantor kepolisian Paris, Mickael Harpon, menusuk empat rekan kerjanya dengan pisau hingga tewas. Harpon tewas ditembak polisi lain.
Selepas insiden itu, Kepala Kepolisian Paris Didier Lallement menerbitkan perintah harian pada 7 Oktober 2019. Ia memerintahkan semua pegawai di kepolisian Paris segera melaporkan gejala radikalisasi kepada rekan kerja.
Pegawai di kantor kepolisian Paris, Mickael Harpon, menusuk empat rekan kerjanya dengan pisau hingga tewas.
Sebelum insiden tersebut, Harpon pernah dilaporkan sejumlah rekan kerjanya karena ia memperlihatkan tingkah laku tidak lazim. Harpon, misalnya, membela penyerangan ke kantor tabloid Charlie Hebdo pada 2015. Namun, saat itu tak ada penyelidikan internal dan Harpon tetap berdinas seperti biasa.
Dalam penggeledahan selepas penyerangan 3 Oktober lalu, penyidik menemukan data pengawasan radikalisme oleh kepolisian di rumah Harpon. Padahal, Harpon tidak berhak mengakses data itu.
Ia diduga mencuri data itu dari sistem komputer kepolisian. Sebagai pegawai teknologi informatika, ia punya akses pada berbagai hal dalam sistem komputer kepolisian.
Selain data pengawasan, dalam komputer dan media penyimpan yang disita dari rumah Harpon juga ditemukan materi kampanye kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kepolisian masih menyelidiki bagaimana ia mendapat materi itu dan apakah disebarkan ulang atau tidak. Sedikitnya 160 penyidik dikerahkan untuk mempelajari kasus itu.
Radikalisasi
Penyerangan oleh Harpon membuat oposisi menekan Menteri Dalam Negeri Perancis Christophe Castaner. Dalam dokumen yang dikeluarkan parlemen Perancis, terungkap sedikitnya 30 polisi teradikalisasi dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah itu amat kecil ketimbang sedikitnya 150.000 polisi di seluruh Perancis. Walakin, fakta ini membuat banyak orang waspada seiring peningkatan serangan oleh orang- orang yang teradikalisasi.
Apalagi, Castaner mengakui ada kegagalan sistem pengawasan di Kementerian Dalam Negeri. Kegagalan tersebut diduga ikut berkontribusi pada insiden 3 Oktober 2019. Di Perancis, Kemendagri membawahkan kepolisian.
Sedikitnya 30 polisi teradikalisasi dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun mengakui kegagalan, Castaner menolak desakan mundur. Sejumlah anggota parlemen mendesak ia meletakkan jabatan selepas insiden Harpon.
Harian Le Parisien melaporkan, sedikitnya 19 pegawai Kemendagri Perancis dalam pengawasan. Mereka diduga teradikalisasi.
Anggota parlemen Perancis, Eric Poulliat, menyatakan ada laporan soal fenomena radikalisasi di kalangan pegawai pemerintah. Masalahnya, ada gejala hambatan penindaklanjutan atas fenomena itu. Hambatan utama ialah kekhawatiran stigma anti-kepercayaan tertentu. ”Seharusnya, penyelidikan memisahkan kepercayaan yang dianut dengan orang yang diselidiki. Jika seseorang diduga melanggar batas, ia harus diselidiki,” katanya.
Presiden Perancis Emmanuel Macron menegaskan, aksi Harpon telah mencoreng Islam. Insiden itu membuat semua pihak harus makin waspada dan bersatu. (AFP/REUTERS/RAZ)