JAKARTA, KOMPAS— Sanksi dari Tentara Nasional Indonesia kepada tiga anggotanya karena istri mereka membuat status bernuansa ujaran kebencian dan berita bohong di media sosial terkait dengan penyerangan yang dialami Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mendapat perhatian luas. Selain untuk menegakkan aturan, keputusan juga menunjukkan upaya TNI menjaga profesionalitas dan netralitas serta mencegah kemungkinan masuknya paham seperti paham radikal di TNI.
Ketiga anggota TNI yang mendapat sanksi itu adalah Komandan Komando Distrik Militer 1417/Kendari Kolonel (Kav) Hendi Suhendi; anggota Detasemen Kavaleri Berkuda, Sersan Dua Z; dan anggota Polisi Militer Angkatan Udara Lanud Muljono, Surabaya, Pembantu Letnan Satu YNS.
Pada Sabtu (12/10/2019), Hendi dilepas dari posisinya sebagai Komandan Kodim 1417/Kendari, Sulawesi Tenggara. Ia selanjutnya ditahan selama 14 hari.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa pada Jumat (11/10) di RSPAD Gatot Soebroto. Saat itu, Andika menyatakan, ada dua istri anggota TNI AD, yaitu IPDN (istri Hendi) serta LZ (istri Z), yang diduga melanggar UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Andika mendorong kasus itu ke peradilan umum.
Sementara itu, HS (Hendi) dilepas dari jabatannya dan ditambah hukuman disiplin berupa penahanan ringan selama 14 hari karena telah memenuhi pelanggaran terhadap UU No 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer.
Dalam perkembangan selanjutnya, kasus serupa menimpa YNS dan istrinya, yaitu FS. Kemarin, YNS juga dibebastugaskan dari tugasnya di Lanud Muljono, sementara FS telah dilaporkan PM Angkatan Udara Surabaya ke Polresta Sidoarjo, Jawa Timur.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi menjelaskan, setiap personel TNI terikat dengan sumpah prajurit, yang di dalamnya terdapat aturan disiplin. Salah satu isi aturan disiplin itu ialah setiap prajurit TNI bertanggung jawab atas apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh keluarganya.
”Prajurit TNI itu membiarkan istrinya melanggar hukum, maka ia mendapatkan hukuman disiplin. Sementara itu, istrinya dikenai proses pidana,” tutur Sisriadi.
Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin Mayor Jenderal Surawahadi menjelaskan, ketaatan prajurit diatur dalam UU No 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Selain itu, juga ada maklumat untuk tidak membuat unggahan provokatif, hoaks, baik terkait anggota maupun keluarga TNI. ”Saya telah keluarkan aturan pada 9 Januari lalu yang memerintahkan prajurit untuk mengingatkan dan membimbing keluarga agar tidak membuat berita atau postingan yang mengandung hoaks atau provokatif,” kata Surawahadi.
Di sela-sela acara serah terima jabatannya, kemarin, Hendi mengaku menerima kesalahan dan semua keputusan yang dijatuhkan kepadanya. ”Saya terima salah. Saya terima apa keputusan dari pimpinan, dan itu pelajaran bagi kita semua. Ini hikmah bagi kita semua,” katanya.
Efek jera
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi mengapresiasi langkah pimpinan TNI untuk menindak tegas personel karena sikap istrinya di media sosial. Meski telah purnatugas sebagai prajurit TNI, Wiranto merupakan senior yang harus dihormati sesuai dengan kultur militer.
”Tindakan tegas itu bisa menghadirkan efek jera bagi prajurit lain dan menjadi patokan terhadap pimpinan TNI apabila peristiwa serupa terulang pada masa mendatang,” ujar Muradi.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati Perkasa menduga kasus itu muncul antara lain karena masih ada persoalan terkait literasi digital. Akibatnya, unggahan yang dilakukan tiga istri anggota TNI itu tidak dilihat sebagai konten yang bakal menjadi diskursus di ruang publik.
Munculnya kasus itu, kata Djati, juga tidak tertutup kemungkinan dipicu oleh masalah lain seperti paham radikal. ”Kita semua tahu paham radikal menjalar ke mana-mana, (seperti) kampus sudah seperti itu. Dan kemarin ada berita mungkin (menjalar) di tubuh polisi, tubuh TNI,” ucap Djati.
Saat acara halalbihalal Mabes TNI, Juni lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu prihatin karena sekitar 3 persen anggota TNI sudah terpengaruh paham radikal.
Ketua Pusat Studi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan Donny Yoesgiantoro menuturkan, peristiwa itu tak bisa dilepaskan dari kebijakan tertentu dari pemerintah yang terkait dengan isu di internal TNI dan juga eksternal. Jika terkait dengan hal eksternal, menurut Donny, ada kemungkinan hal itu berhubungan dengan paham tertentu. Jika sejumlah kemungkinan itu memang ada, dibutuhkan upaya yang menyeluruh untuk mengatasinya.
Kasus yang dipicu oleh unggahan istri tiga prajurit TNI ini mendapat perhatian luas di dunia maya. Pada pemantauan kemarin dengan rasa kunci ”Istri TNI” ada dua pengguna akun berpengaruh yang cenderung saling berseberangan di Twitter, yaitu akun @puspen_tni dan @angrysipelebegu.
Adapun pencarian web lewat mesin pencari Google dengan frasa kunci ”Istri TNI” juga melonjak sepanjang kemarin.
Pemeriksaan
Kepolisian Resor Kota Sidoarjo masih menyelidiki kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang dilakukan FS, istri Pembantu Letnan Satu YNS.
”Penanganan yang dilakukan penyidik saat ini adalah memeriksa saksi-saksi,” kata Kepala Polresta Sidoarjo Komisaris Besar Zain Dwi Nugroho.
Pada Jumat malam, FS terlihat di Markas Polresta Sidoarjo bersama dengan beberapa anggota TNI AU Lanud Muljono, Surabaya.
Komandan Lanud Muljono Surabaya Kolonel (Penerbang) Budi Ramelan mengatakan, perbuatan FS termasuk serius. Ia senantiasa mengingatkan semua anggota TNI AU dan keluarga besar mereka supaya bersikap netral atau tidak memihak.