Hidup sebagai kaum tuli di Indonesia bukan perkara mudah. Lingkungan tidak mendukung untuk kekhususan bagi kebutuhan mereka. Stigma tentang keberadaan disabilitas masih menjadi tantangan besar. Pekerjaan rumah terbesar adalah bagaimana mengajak orang-orang bukan disabilitas agar bisa memahami isu disabilitas.
Panji Surya Putra Sahetapy yang menjadi pengurus Handai Tuli terus terlibat dalam perjuangan tentang kaum tuli. Saat ini ia sedang menyelesaikan studi dengan beasiswa dari Nippon Foundation Jepang di Rochester Institute of Technology di Amerika Serikat Jurusan International-Global Studies.
Di Amerika Serikat, Surya merasakan lingkungan yang lebih kondusif bagi kaum tuli. Terkait layanan rumah sakit di AS misalnya, selalu ada akses berupa penerjemah bagi kaum tuli dan layanan ini tersedia gratis.
”Saya merasa bukan orang tuli di sini. Karena ada akses. Negatifnya, makanannya enggak seenak Indonesia,” ujar Surya yang terus aktif mengembangkan komunitas tuli dan menjadi edukator untuk orang-orang tuli.
Surya berencana membaktikan diri untuk mendukung komunitas tuli, terutama di Indonesia bagian timur, jika sudah merampungkan pendidikan.
”Karena bagi saya mereka tertinggal, bahkan kegiatan program tuli lebih sering diadakan di Jawa. Adik-adik tuli menjadi alasan kenapa kami terus berjuang serta terinspirasi dari komunitas tuli dari negara lain dalam memperjuangkan hak tuli,” ujarnya. (WKM)