Konsep trotoar multifungsi, yakni sarana bagi pejalan kaki sekaligus pedagang kaki lima, belum sepenuhnya dipahami warga Jakarta. Sejauh ini, warga memahami keberadaan trotoar sebagai hak penuh pejalan kaki.
Oleh
M Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Konsep trotoar multifungsi, yakni sarana bagi pejalan kaki sekaligus pedagang kaki lima, belum sepenuhnya dipahami warga Jabodetabek. Sejauh ini, warga memahami keberadaan trotoar sebagai hak penuh pejalan kaki. Hadirnya pedagang kaki lima dianggap mengganggu keindahan dan kenyamanan serta melanggar aturan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merevitalisasi trotoar di 31 ruas jalan yang dilayani transportasi umum dalam dua tahun ini. Tujuan utamanya, warga memiliki akses nyaman menuju transportasi umum sehingga mau beralih memakai angkutan umum.
Pemprov DKI juga memanfaatkan sebagian trotoar yang telah dilebarkan sebagai lokasi berjualan pedagang kaki lima (PKL). PKL nantinya berjualan menggunakan gerobak, lapak portabel, food truck, atau boks kontainer.
Trotoar multifungsi berada di bawah payung hukum Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, serta Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Pasal 13 Ayat (2) aturan ini menyebutkan, trotoar bisa digunakan sebagai aktivitas kegiatan usaha kecil formal.
Namun, konsep trotoar multifungsi baru dipahami sebagian warga Jabodetabek. Hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan September menyebutkan, baru sekitar 45 persen responden yang mengetahui jika trotoar dapat dipakai PKL, selain fungsinya sebagai fasilitas pejalan kaki.
Konsep trotoar
Sebagian besar warga yang mengetahui ketentuan trotoar multifungsi (62 persen), memahami konsep trotoar secara tepat. Trotoar multifungsi dapat dipakai kegiatan berdagang usaha kecil, tetapi hanya berlaku di ruas trotoar tertentu. Lampiran Peraturan Menteri PU 03/PRT/M/2014 menyebutkan, ada beberapa syarat pemanfaatan trotoar untuk kegiatan usaha kecil formal.
Di antaranya, ada organisasi yang mengelola usaha kecil dan ada pembagian waktu berjualan bagi jenis kegiatan usaha yang berjualan di depan gedung. Selain itu, trotoar yang boleh digunakan berjualan hanya yang memiliki lebar minimal lima meter. Area berjualan dipatok lebar maksimal tiga meter.
Kemudian, jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5-2,5 meter, agar tidak mengganggu sirkulasi pejalan kaki. Terakhir, trotoar tidak berada di sisi jalan arteri primer, sekunder, serta kolektor primer, atau tidak berada di ruas jalan dengan kecepatan kendaraan tinggi.
Ketentuan yang lebih kurang sama juga disebutkan dalam ”Jakarta NMT Vision and Design Guideline (ITDP, 2017)”. Lebar trotoar yang diperbolehkan berdagang yang berukuran lebih dari 2 meter. Ruang bebas berjalan minimum dua meter, dengan area berjualan untuk berbagai macam jenis kegiatan, seperti sidewalkcafe, limpasan toko, kios, dan gerobak sekitar 0,8-2 meter. Juga harus disiapkan pelengkap kebersihan, akses listrik, dan air.
Ada juga warga yang belum memahami benar rencana revitalisasi trotoar menjadi trotoar mulitifungsi. Hampir seperempat responden menyebutkan, PKL boleh berjualan di trotoar mana pun. Hal ini menunjukkan, pemda DKI harus mengeluarkan aturan teknis dan sanksi ketat terkait pemanfaatan trotoar sebagai area berdagang PKL, tak bisa sekadar mengandalkan Permen PU.
Keberadaan PKL di trotoar Jakarta masih dibutuhkan. Pedagang kecil ada untuk mendekatkan diri pada pembeli sekaligus memenuhi kebutuhan saat berjalan kaki. Barang yang paling dibutuhkan pejalan kaki, di antaranya makanan dan minum.
Adanya PKL akan menghidupi trotoar selama 24 jam dan menciptakan rasa aman bagi para pengguna jalan.
Polemik ruang
Di sisi lain, hampir enam dari 10 responden yang belum memahami bahwa trotoar dapat difungsikan sebagai tempat usaha kecil formal, menganggap rencana ini melanggar peraturan. Sebanyak 64 persen, yang menilai rencana ini melanggar aturan, menyatakan, fungsi utama trotoar hanya untuk pejalan kaki.
Presepsi tersebut terbangun karena sejumlah aturan mengenai jalan, lalu lintas, angkutan jalan dan transportasi (UU No 22/2009, UU No 38/2004, PP No 34/2006) menyebutkan dengan jelas bahwa trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5/2014 tentang Transportasi juga melarang mengoperasikan kendaraan di trotoar.
Esensi trotoar sebagai hak pejalan kaki benar adanya. Selama ini, tidak sedikit juga PKL yang berjualan di trotoar dan mengurangi keindahan sekaligus kenyamanan pejalan kaki. Hampir seperlima responden mengungkapkan hal tersebut.
Aturan mengenai jalan dan transportasi juga menyebutkan sejumlah pasal terkait larangan mengganggu fungsi trotoar, termasuk kegiatan berdagang. Kecuali hal ini difungsikan gubernur sesuai dengan Pasal 25 Perda DKI No 8/2007 mengenai Ketertiban Umum.
Tak terhindarkan, kehadiran PKL di trotoar memicu polemik sejak lama. Pada satu sisi, PKL di trotoar mengganggu aktivitas pejalan kaki lantaran terlalu banyak menggunakan ruang trotoar. Di sisi lain, pejalan kaki juga membutuhkan PKL karena cara mereka berjualan ”mendekatkan” diri kepada pembeli.
Jika rencana trotoar multifungsi terwujud, pemerintah, PKL, dan masyarakat harus ikut menata keberadaan PKL. Pemerintah harus hadir dengan aturan teknis dan sanksi ketat. Adapun Organisasi PKL ikut bersama menjaga keberadaan PKL.
Trotoar multifungsi di sejumlah ruas jalan akan menampilkan wajah baru trotoar di Jakarta. Trotoar lebar akan semakin aman dan nyaman, ditambah ada penjual makanan dan minuman di sejumlah titik.