Bencana asap menyebabkan 22.000 orang di Kalteng menderita infeksi saluran pernapasan. Hal itu mendorong organisasi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia di Kalteng memberikan layanan kesehatan gratis di desa-desa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 dinilai lebih buruk daripada tahun sebelumnya. Bencana asap menyebabkan 22.000 orang di Kalimantan Tengah menderita infeksi saluran pernapasan. Hal itu mendorong organisasi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia di Kalteng memberikan layanan kesehatan gratis di desa-desa.
Kegiatan tersebut dilakukan selama beberapa minggu terakhir, di antaranya di Kelurahan Kereng Bangkirai, Kota Palangkaraya, dan Desa Baun Bango, Kabupaten Katingan, Kalteng, Minggu (13/10/2019).
”Meskipun kondisi kabut asap relatif membaik, dampaknya bagi kesehatan masih tersisa. Memang (layanan kesehatan) dilakukan di satu desa, tetapi warga desa lain juga bisa ikut,” ungkap Manajer Restorasi Hutan dan Pengelolaan Gambut WWF Indonesia Okta Simon.
Okta menjelaskan, pihaknya menyediakan obat-obatan, suplemen makanan, masker asap N95, dan tabung oksigen untuk 150 orang yang hadir. Sedikitnya 11 tenaga medis terlibat dalam kegiatan tersebut.
Kepala Desa Baun Bango Somediyanto mengatakan, sekitar Agustus hingga awal September, asap menyelimuti desanya. Selain mengganggu aktivitas, banyak warganya juga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare.
Saya pikir, setelah kabut asap hilang, semua bisa normal.
”Saya pikir, setelah kabut asap hilang, semua bisa normal. Tetapi, saat pemeriksaan tadi, saya sendiri masih ada batuk, begitu juga warga lainnya,” ujar Somediyanto.
Ia menambahkan, desanya merupakan desa penyangga Taman Nasional Sebangau (TNS), yang beberapa waktu lalu terbakar. Namun, hujan beberapa waktu belakangan membuat titik api di TNS berkurang drastis dan bahkan padam.
Salah satu dokter umum yang ikut dalam kegiatan tersebut, Trechia Lestari, menuturkan, dari konsultasi dan pemeriksaan yang ia lakukan bersama tenaga medis lain, warga paling banyak mengeluhkan ISPA. ”Banyak warga yang tidak pergi periksa kesehatan selama karhutla kemarin itu. Jadi, dampaknya ISPA berlanjut hingga berminggu-minggu,” ucap Trechia.
Menurut dia, ISPA dianggap penyakit yang mudah disembuhkan oleh warga dan menjadi alasan mereka tidak memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Namun, jika dibiarkan dan menjadi infeksi, atau bahkan bercampur dengan penyakit lain, hal itu bisa memperburuk kesehatan.
Di akhir kegiatan, pihak WWF juga sekaligus mengingatkan warga untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar, apalagi di kawasan TNS. Menurut dia, bencana asap karena kebakaran hutan dan lahan sangat mungkin dicegah karena merupakan ulah manusia.
Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kebakaran hutan dan lahan di Kalteng mencapai 44.769 hektar. Setidaknya terdapat 33.450 titik panas sejak Januari hingga saat ini.
Hal itu berdampak pada kualitas udara yang memburuk dan bertahan hingga berbulan-bulan. Dinas Kesehatan Kalteng mencatat, sejak Januari 2019 hingga kini sedikitnya 22.000 orang terpapar ISPA.
”Kabut asap itu sebagian besar karena manusia dan bisa diprediksi. Penekanannya tetap harus pada pendekatan pencegahan,” kata Okta Simon.
Menurut Okta, pendekatan preventif saat mengatasi karhutla tetap harus diutamakan. ”Ini bagian dari kegiatan anti-karhutla yang kami laksanakan dengan menekankan pada pencegahan,” ujarnya.