Perbedaan adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Sejak awal, bangsa ini memilih bersatu di tengah keberagaman dalam banyak hal. Perbedaan tidak ditegaskan sekat-sekatnya, tetapi dicari benang merahnya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Perbedaan adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Sejak awal, bangsa ini memilih bersatu di tengah keberagaman dalam banyak hal. Perbedaan tidak ditegaskan sekat-sekatnya, tetapi dicari benang merahnya guna menciptakan keharmonisan hidup bersama.
Suasana riuh terasa di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRD DIY) di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Minggu (13/10/2019). Terik matahari tidak menyurutkan semangat banyak orang terlibat dalam suasana tersebut. Lagu mars ”Ya Lal Wathon” berkumandang tak henti-hentinya dari setiap rombongan yang berjalan dan berbaris dengan berbagai hiasan meriah.
Mereka tengah menggelar ”Garebek Santri 2019”. Pawai itu diadakan guna menyambut perayaan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2019. ”Garebek Santri 2019” melibatkan 50 kontingen pawai yang terdiri atas 50 pondok pesantren di seluruh wilayah DIY. Adapun tema yang diambil adalah ”Santri Nyawiji, Indonesia Gumregah”.
Kita beragama dengan sangat luas. Hari ini, kawan-kawan santri ingin menghibur masyarakat Yogyakarta dengan kirab ini.
Dalam bahasa Jawa, tema itu dapat diartikan, ketika santri bersatu, Indonesia akan semakin bangkit bersemangat. Makna kata ”gumregah” itu bisa terdapat dalam hal pembangunan ataupun kebangsaan. Intinya, ingin menuju ke suatu hal yang lebih baik, secara bersama-sama.
”Ini menjadi media bagi kami untuk menampilkan kepada masyarakat. Kami santri. Kami cinta kepada Tanah Air dan wajib menjaga Tanah Air,” kata Ketua Panitia Hari Santri Nasional 2019 Muhammad Nilzam Yahya di sela-sela acara.
Para peserta pawai menerjemahkan tema yang dipilih itu dengan beragam hal. Semua membuatnya tampak semarak. Mulai dari kostum Garuda Pancasila, Wali Sanga, tokoh-tokoh wayang, hingga Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Ada sesuatu yang menarik saat rombongan peserta pawai yang mengenakan kostum terlihat seolah-olah sedang digendong Gus Dur. Mereka juga menirukan bagaimana sulitnya menggendong. Sesekali mereka harus berjongkok, lalu mengangkat tinggi-tinggi agar bisa lebih ringan dalam menggendong.
Secara tersirat, Gus Dur yang sedang menggendong itu juga dapat dimaknai bahwa nilai-nilai yang diajarkan Presiden ke-4 Indonesia itu masih menuntun jalannya pemuda pada masa kini. Jika dilihat dari betapa eratnya peserta memeluk replika Gus Dur, juga menunjukkan betapa rindunya mereka terhadap sosok bapak bangsa itu.
Hal menarik lain, tiruan kapal yang dibuat Pondok Pesantren Al-Muhsin. Di dalam kapal itu terdapat simbol-simbol rumah ibadah dari lima agama yang diakui di Indonesia. Sewaktu berjalan, kapal itu seakan terombang-ambing. Namun, rumah-rumah ibadah itu tetap teguh berdiri.
Ketua Kelompok Pawai Pondok Pesantren Al-Muhsin Lukman Hakim (20) mengatakan, ide itu muncul atas keberagaman agama di Indonesia. Ia menyadari, keragaman itu harus hidup harmonis satu sama lain. Toleransi sesama umat beragama pun perlu terus dijaga. Satu sama lain harus saling menghargai agar tidak terjadi perpecahan.
”Kapal ini menunjukkan bergerak bersama-sama. Biarpun agama kita berbeda-beda, kita bisa bergerak bersama-sama. Ombak yang ada bisa kita hadapi. Kita bergerak maju menuju NKRI yang lebih bersatu,” kata Lukman.
Tidak dapat dimungkiri, konflik yang berbasis perbedaan identitas memang sedang terjadi di negara ini. Ada kelompok yang ingin meruncingkan perbedaan untuk menciptakan situasi tidak kondusif dalam hubungan berbangsa.
Menurut Nilzam, santri diharapkan menjadi salah satu pihak yang mampu meredam konflik itu. Semangat menjaga persatuan di tengah keberagaman tersebut dipegang teguh para santri. ”Kami berharap konflik-konflik itu semakin tereliminasi. Santri jadi tulang punggung untuk meredam konflik itu. Sebab, masalah keagamaan ini sangat perlu diperhatikan,” katanya.
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) DIY Fahmi Akbar Idris mengungkapkan, pawai itu salah satu cara ekspresi beragama dari para santri. Hanya saja, dalam kirab, para santri mengajak siapa pun yang melihat mereka turut bergembira.
”Kita beragama dengan sangat luas. Hari ini, kawan-kawan santri ingin menghibur masyarakat Yogyakarta dengan kirab ini,” kata Fahmi.
Sementara itu, Kepala Bagian Kebijakan Sumber Daya Manusia Biro Mental Spiritual Sekretariat DIY Iswantoro, yang membacakan sambutan Wakil Gubernur DIY Paku Alam X, mengatakan, ajang itu menjadi wadah saling bertemu bagi santri seluruh DIY. Tak berhenti di sana, para santri turut mengenalkan budayanya melalui pawai itu.
”Ke depan, para santri yang memang sudah mempunyai bekal, karakter, attitude, dan sebagai kader yang kuat secara mental dan spiritual, serta memiliki potensi seni, bisa berkontribusi dalam pembangunan kebudayaan di DIY,” kata Iswantoro.
Sepanjang pawai, gamelan dan rebana ditabuh, salawat dilantunkan, dan bendera Indonesia dikibarkan. Tak hanya ikon-ikon satu agama saja yang ditampilkan. Mereka justru sedang bercerita indahnya berelasi intim dengan budaya masyarakat dan nasionalisme. Satu pesan yang ingin disampaikan: persatuan di tengah keberagaman.