Pembentukan kabinet akan menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin setelah dilantik 20 Oktober mendatang. Responden jajak pendapat ”Kompas” menilai pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih pada Pemilu 2019 ini menghadapi tantangan tak ringan. Namun, publik juga menaruh harapan akan hadirnya pemerintahan yang berkinerja baik.
Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi-Amin dalam membentuk kabinetnya untuk lima tahun ke depan. Tiga tantangan itu ialah kemampuan kabinet menyelesaikan pekerjaan rumah; pembentukan kabinet; dan loyalitas anggota kabinet.
Tantangan pertama tidak terlepas dari problem yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi lima tahun terakhir ini. Problem di bidang ekonomi paling banyak disebutkan responden (41,8 persen) sebagai hal yang paling mendesak diperbaiki lima tahun ke depan.
Selain ekonomi, bidang kesejahteraan sosial (32,6 persen) juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Terutama terkait layanan kesehatan dan pendidikan yang menjadi kebutuhan melekat masyarakat.
Terkait tantangan pembentukan kabinet, Presiden Jokowi diharapkan mampu menetralisasi sentimen-sentimen kepentingan partai politik agar kabinet yang terbentuk benar-benar menampilkan performa kabinet kerja yang menekankan profesionalisme.
Tantangan ini tak lepas dari anggapan publik dalam jajak pendapat yang masih melihat pembentukan kabinet tak ubahnya ajang transaksi politik semata. Hal ini diakui 56,6 persen responden.
Pada periode pertama, Presiden Jokowi menjawab skeptisisme ini dengan memunculkan komposisi kabinet dengan proporsi menteri dari kalangan profesional nonpartai politik yang lebih banyak dibandingkan menteri dari unsur partai politik.
Setidaknya 60 persen menteri berasal dari profesional atau bukan dari kader partai politik. Tentu, publik akan menunggu apakah proporsi semacam itu akan dipertahankan di kabinet yang baru nanti, atau malah sebaliknya kabinet baru akan didominasi kader parpol.
Akomodatif
Bagaimanapun, setelah kontestasi Pemilu 2019, terjadi dinamika politik yang berpotensi mengubah konstelasi politik. Politik akomodatif boleh jadi akan terjadi terkait pembentukan kabinet pemerintahan nanti. Terlebih terjadi beberapa pertemuan politik yang mengirim ”sinyal” partai nonpengusung Jokowi-Amin di Pemilu 2019, berpotensi bergabung dalam koalisi parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Amin.
Terkait isu ini, ada kecenderungan publik melihatnya tidak secara kaku. Sebanyak 59,2 persen responden mengaku setuju jika Presiden Jokowi memberikan kursi kepada menteri yang berasal dari partai politik yang tidak mengusungnya di Pemilu 2019. Menariknya, jika dilihat dari latar belakang pilihan responden di pemilihan presiden lalu, juga tidak tampak perbedaan mencolok antara responden pemilih Jokowi dan responden pemilih Prabowo. Kendati begitu, jika dilihat dari kelompok responden yang menolak, sebagian besar merupakan responden pemilih Jokowi-Amin di Pemilu 2019.
Tentu saja politik akomodatif yang terjadi setelah pemilihan presiden bukan hal baru di panggung politik nasional. Lima tahun lalu, kondisi serupa juga terjadi. Sejumlah partai politik yang sebelumnya berseberangan dengan Jokowi di Pilpres 2014 bergabung dalam pemerintahan, termasuk di antaranya Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional. Bergabungnya parpol-parpol tersebut diwujudkan dalam pemberian kursi menteri.
Konstelasi politik semacam ini yang kemudian melahirkan tantangan ketiga bagi kabinet pemerintahan Jokowi di periode kedua nanti, yakni bagaimana kabinet yang terbentuk bisa menjalankan visi dan misi presiden.
Jajak pendapat Kompas merekam separuh responden (50,2 persen) meyakini menteri-menteri terpilih, terutama dari kalangan partai politik, lebih banyak terikat dengan agenda partai politik dibandingkan agenda dan visi yang dibangun presiden dalam menjalankan pemerintahannya.
Sosok muda
Selain tantangan itu, ada harapan yang dikemukakan publik agar Presiden Jokowi membuka peluang yang lebar akan hadirnya sosok-sosok muda sebagai menteri dalam kabinetnya. Sebanyak 79,7 persen responden setuju Presiden Jokowi memberi kesempatan anak-anak muda tampil menjadi bagian dalam kabinetnya.
Apalagi, dalam satu kesempatan presiden pernah menyampaikan kabinet mendatang bisa saja diisi menteri berusia 20-25 atau 30-an tahun (Kompas, 2 Juli 2019). Pelibatan anak muda dalam kabinet juga bisa jadi representasi pemilih muda yang semakin banyak.
Kepuasan publik pada kinerja pemerintah bisa naik apabila ketiga tantangan itu bisa ditangani Presiden Jokowi. Apalagi, jika Presiden Jokowi kemudian memenuhi harapan publik untuk menghadirkan sosok-sosok menteri profesional, berintegritas, dan bisa merealisasikan visi presiden, bahkan menghadirkan sosok muda.
Sebaliknya, jika pembentukan kabinet hanya memberi ruang pada transaksi politik, bukan tidak mungkin pula reaksi publik akan negatif pada kinerja pemerintah.
Sebagian besar responden masih meyakini Presiden Jokowi akan menggunakan hak prerogatifnya untuk memilih sosok terbaik yang memang menjadi kebutuhan bangsa untuk lima tahun ke depan. Tentu, keyakinan ini menjadi modal bagi presiden untuk membangun kabinet terbaiknya tanpa harus dibebani dengan politik transaksional. Semoga saja.