Aturan baru pada sejumlah rancangan undang-undang terkait sumber daya alam dinilai menguntungkan perusak lingkungan. Perubahan pasal dinilai justru malah melegalkan dan melanggengkan kejahatan perusakan lingkungan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasal-pasal baru yang terdapat dalam sejumlah rancangan undang-undang terkait sumber daya alam dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Perubahan pasal dinilai justru malah akan melegalkan dan melanggengkan kejahatan perusakan lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Legislasi Sesat Vs Kedaulatan Rakyat: Membongkar Motif DPR Menerbitkan Peraturan yang Mengancam Rakyat” yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di kantornya, Selasa (15/10/2019). Hadir pada acara itu antara lain Kepala Departemen Advokasi Walhi Zensi Suhadi, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil, dan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.
Zensi Suhadi mengatakan, saat ini setidaknya ada empat rancangan undang-undang (RUU) yang isi pasal-pasalnya bisa merugikan rakyat dan bahkan melegalkan kejahatan perusakan lingkungan. Keempat RUU itu adalah Mineral dan Batubara (Minerba), Pertanahan, Sumber Daya Air, dan Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
”Setelah kami teliti, pasal-pasal baru dan pasal perubahan di sejumlah RUU ini punya tujuan utama untuk melindungi bahkan melegalkan kejahatan perusakan lingkungan,” ujar Zensi.
Salah satu upaya melegalkan kejahatan perusakan lingkungan yang paling terlihat adalah pada RUU Minerba. Jamil memberi contoh, pada RUU itu menurut rencana Pasal 165 akan dihapus.
Sebelumnya, pada UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba, Pasal 165 berbunyi, ”Setiap orang yang mengeluarkan IUP (izin usaha pertambangan), IPR (izin pemanfaatan ruang), atau IUPK (izin usaha pertambangan khusus) yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta”.
”Dengan dihapuskannya pasal ini, artinya pasal pidana pada pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah dan koruptif sengaja dihilangkan. Ini melegalkan praktik koruptif pemberian izin tambang bermasalah yang berujung pada pengerukan ekstraktif yang liar,” ujar Jamil.
Selain itu, dalam RUU Minerba terdapat revisi pada Pasal 99 Ayat 2 yang menurut Jamil membuat perusahaan mengingkari tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup pasca-aktivitas penambangan.
Pasal itu sebelumnya berbunyi, ”Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang”. Kini, pasal itu ingin direvisi dengan bunyi, ”Peruntukan lahan pascatambang antara lain dapat digunakan untuk bangunan irigasi dan obyek wisata”.
Jamil menegaskan, lubang bekas tambang seharusnya direklamasi untuk mengembalikan ekosistem lingkungan sekitar. Penggunaan lubang bekas tambang untuk irigasi juga bukan hal yang tepat sebab air bekas tambang memiliki kandungan kimia berbahaya yang berbahaya bagi tubuh manusia.
”Revisi aturannya seharusnya mendorong tanggung jawab perusahaan untuk mereklamasi atau merehabilitasi lubang bekas tambang, bukan untuk wisata atau irigasi,” ujar Jamil.
Adapun pada RUU Pertanahan, Zensi mengatakan, keberadaan Pasal 46 Ayat 8 dan 9 membuat akses publik akan kepemilikan tanah tertutup. Sebab, pasal itu mengatur bahwa masyarakat berhak memperoleh data pertanahan kecuali daftar nama pemilik hak atas tanah dan warkah. Padahal, lanjut Zensi, informasi kepemilikan tanah itu mempermudah penyelesaian konflik agraria dan reformasi agraria.
”Kalau tertutup begini, bagaimana publik bisa mengontrol kepemilikan tanah yang sangat besar? Pasal ini hanya melanggengkan kepemilikan tanah yang luas dari korporasi agar tidak diketahui publik,” ujar Zensi.
Kepentingan ekstraksi lingkungan dan korporasi pada legislasi juga tecermin dari kembali digulirkannya RUU Sumber Daya Air. Padahal, pada 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dengan alasan hal itu melanggar konstitusi bahwa warga tidak boleh dibatasi aksesnya terhadap air yang telah dikomersialkan oleh korporasi.
”MK sudah memutuskan ini melanggar konstitusi, maka undang-undang ini dibatalkan. Ini, kok, mau dibuat lagi undang-undangnya. Kan, aneh,” ucap Zensi.
Munculnya pasal-pasal janggal di RUU yang menyangkut sumber daya alam dan lingkungan, menurut Zensi, adalah bukti bahwa lingkungan belum jadi pertimbangan prioritas pengambilan keputusan. Lembaga eksekutif dan legislative, lanjutnya, tampak berpihak kepada korporasi dan investor. ”Pemerintahan Jokowi dan parlemen masih menempatkan lingkungan hidup di bawah investasi,” ujar Zensi.
Asfinawati menjelaskan, munculnya sejumlah pasal yang menyudutkan publik dan menguntungkan pihak tertentu merupakan bentuk nyata dari oligarki. Pasal-pasal janggal dari beberapa RUU itu secara jelas menunjukkan, parlemen diarahkan untuk membuat undang-undang yang menguntungkan pihak tertentu saja.
”Oligarki bekerja salah satunya dengan menciptakan produk legislasi yang cacat. Produk legislasi berisi pasal yang menguntungkan dirinya, tetapi makin menekan publik,” ujar Asfinawati.