Indonesia menjadi produsen perikanan tangkap terbesar kedua di dunia, tetapi ekspornya di peringkat ke-13. Faktor tingginya bea masuk dianggap menggerus daya saing.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia jadi produsen perikanan tangkap terbesar kedua di dunia, tetapi ekspornya di peringkat ke-13. Faktor tingginya bea masuk dianggap menggerus daya saing.
Upaya Indonesia meningkatkan ekspor perikanan memerlukan pembenahan data sebaran produksi serta diplomasi untuk menekan bea masuk di negara tujuan. Saat ini, ekspor perikanan Indonesia terganjal tarif impor yang relatif tinggi di Uni Eropa sehingga daya saingnya tergerus.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, upaya pemberantasan perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF) berdampak pada peningkatan hasil tangkapan nelayan. Dia mencontohkan produksi tuna, tongkol, dan cakalang Indonesia yang meningkat pesat.
”Lima tahun lalu, nelayan sulit menemukan ikan tuna berukuran 12 kilogram per ekor. Sekarang ini tuna yang ditangkap bisa mencapai ukuran 50-70 kg per ekor,” kata Susi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Sekalipun produksi membaik, Susi mengakui, peningkatan ekspor perikanan Indonesia masih terganjal bea masuk ke beberapa negara, seperti Uni Eropa. Akibatnya, ekspor ke Uni Eropa terpaksa lewat beberapa negara, seperti Vietnam, yang dibebaskan dari bea masuk impor.
Pihaknya mengatakan telah mengajukan keberatan terhadap Uni Eropa terkait pengenaan bea masuk impor perikanan hingga 20 persen. Pengenaan tarif impor perikanan itu memukul daya saing produk Indonesia karena harga jualnya jadi lebih mahal.
”Produk perikanan Indonesia hampir tidak bisa masuk ke Uni Eropa karena terlalu mahal. Produk Indonesia kalah harga karena dikenakan bea masuk 20 persen,” kata Susi.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2018, Indonesia menjadi produsen perikanan tangkap laut kedua terbesar setelah China. Namun, ekspor Indonesia hanya menduduki peringkat ke-13 dunia, sedangkan China di peringkat teratas.
Pemerintah Indonesia terus melakukan diplomasi ke Uni Eropa agar tarif masuk dihapus, seperti telah dilakukan terhadap Amerika Serikat. Pada tahun 2015, Amerika Serikat membebaskan bea masuk atas upaya Indonesia memerangi penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF).
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo, pihaknya sedang mengkaji pembatasan ekspor ikan cakalang beku dan utuh guna mendorong ekspor ikan olahan bernilai tambah. Salah satunya cakalang yang diminati pasar Jepang adalah ikan cakalang asap (katsubushi).
Penegakan hukum
Sementara itu, Indonesia dan Organisasi Polisi untuk Tindak Kriminal Internasional (Interpol) bertemu dalam pertemuan analisis dan investigasi regional di Jakarta, Senin (14/10), untuk mendorong penegakan hukum terhadap jaringan dan otak pelaku dalam kasus kejahatan lintas negara terorganisasi terkait kapal perikanan STS-50 dan MV Nika yang mencuri ikan di perairan Indonesia.
STS-50, kapal tanpa bendera kebangsaan, memalsukan identitas menggunakan delapan bendera negara berbeda. Adapun MV Nika merupakan kapal buronan internasional yang dimiliki oleh pemilik yang sama dengan STS-50.
Menurut Criminal Intelligence Analyst Interpol, Mario Alcaide, komitmen pertemuan itu untuk mengumpulkaan negara-negara yang memiliki informasi potensial, khususnya terkait Indonesia, dan wilayah yurisdiksi lain yang memerlukan informasi menyeluruh guna menindak kru, nakhoda, pemilik, operator, dan pihak lain yang terkait IUUF.
Koordintor Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) Mas Achmad Santosa menyatakan, pemilik dan pelaku intelektual kasus belum terjerat. Pertemuan itu diharapkan menjadi sarana bertukar info lintas negara dan membuka kesadaran negara yang terkait. ”Kejahatan lintas negara terorganisasi tak bisa ditangani sendiri, tetapi harus berkerja sama dengan negara lain. Interpol akan jadi fasilitator,” ujarnya. (LKT)