Teluk Balikpapan Vital untuk Daya Dukung Lingkungan
›
Teluk Balikpapan Vital untuk...
Iklan
Teluk Balikpapan Vital untuk Daya Dukung Lingkungan
Pemerintah diminta mempertimbangkan teluk Balikpapan bagian utara menjadi kawasan konservasi dan dimasukkan dalam pola induk pembangunan calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS – Pemerintah diminta mempertimbangkan teluk Balikpapan bagian utara menjadi kawasan konservasi dan dimasukkan dalam pola induk pembangunan calon ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Teluk Balikpapan perlu dipertahankan sebagai daya dukung lingkungan dan sumber tangkapan nelayan tradisional.
Sebelumnya, titik pasti ibu kota baru belum ditentukan pemerintah di antara Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Kementerian Perhubungan memiliki konsep awal untuk mengembangkan Teluk Balikpapan sebagai penunjang transportasi di sekitar calon ibu kota baru, jika titik nol ada di Kecamatan Sepaku. Salah satunya pengembangan Pelabuhan Mentawir yang terletak di hulu Teluk Balikpapan.
Akses dari Balikpapan menuju Kecamatan Sepaku, sekitar 40 kilometer jika ditempuh melalui Jembatan Pulau Balang yang membentang di Teluk Balikpapan. Itu jauh lebih cepat dibanding melalui jalan provinsi, sekitar 80 km. Saat ini, jembatan Pulau Balang masih dalam tahap pembangunan.
Karena akses yang mudah dijangkau melalui Teluk Balikpapan, terdapat usulan pembangunan infrastruktur transportasi udara juga di Teluk Balikpapan. Kemenhub mengusulkan konsep untuk membangun landasan terbang pesawat terbang air dan kapal terbang rendah di atas permukaan air di Teluk Balikpapan bagian tengah.
Ketua Forum Peduli Teluk Balikpapan Husen mengatakan, pembangunan Teluk Balikpapan sebaiknya cukup sampai di Jembatan Pulau Balang. Sebab, Teluk Balikpapan merupakan komponen penting penjaga keseimbangan ekologis kawasan di sekitarnya.
“Seluruh Kawasan Teluk Balikpapan ke arah utara dari Pulau Balang sebaiknya dijadikan kawasan konservasi, sebagai kawasan ekosistem esensisal. Termasuk di dalamnya wilayah perairan, hutan mangrove, dan hutan daerah penyangga,” kata Husen di Balikpapan, Selasa (15/10/2019).
Total luas Kawasan Teluk Balikpapan lebih dari 180.000 hektar dengan kawasan hutan mangrove sekitar 19.400 hektar. Husen mengatakan, kawasan mangrove yang masih bagus tersisa sekitar 17.000 hektar, lebih dari 2.000 hektar sudah menurun kualitasnya.
Jumlah hutan mangrove semakin menurun akibat pembangunan dan aktifitas industri di kawasan Teluk Balikpapan. Padahal, di sana menjadi tempat hidup hewan dilindungi seperti pesut (Orcaella brevirostris) yang jumlahnya kini sekitar 100 ekor dan bekantan (Nasalis larvatus) sebanyak 1.000 ekor
“Jumlahnya semakin menurun akibat pembangunan dan aktifitas industri di kawasan Teluk Balikpapan. Padahal, di sana menjadi tempat hidup hewan dilindungi seperti pesut (Orcaella brevirostris) yang jumlahnya kini sekitar 100 ekor dan bekantan (Nasalis larvatus) sebanyak 1.000 ekor,” kata Husen.
Saat ini, Teluk Balikpapan di sisi selatan dipenuhi aktivitas lalu-lalang kapal ponton pengangkut batu bara, lalu lintas kapal penumpang, dan kapal barang. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2019 mencatat, lebih dari 10.000 nelayan mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan dari Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Balikpapan.
Husen mengusulkan, kegiatan ekonomi di sisi utara Teluk Balikpapan hanya untuk aktivitas ekonomi berupa ekowisata, perikanan tradisional, dan perdagangan karbon. Hal itu untuk menjaga kawasan itu terjaga agar tak terjadi bencana alam akibat pembangunan, seperti longsor atau banjir.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Koordinasi Jaringan LSM dan Analisis Dampak Lingkungan Hanni Adiati mengatakan, pemetaan masalah makro di sekitar Kecamatan Sepaku sudah dilakukan awal Oktober lalu bersama tokoh masyarakat dan LSM. Itu akan digunakan sebagai rujukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terkait masalah-masalah makro di Sepaku.
“Kami menampung masalah-masalah makro terlebih dahulu terkait kesiapan masyarakat dengan asumsi ibu kota di Kecamatan Sepaku. Sebab, titik nol ibu kota baru belum ditentukan, apakah di Sepaku atau di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara,” ujar Hanni, ketika dihubungi dari Balikpapan.
Ia mengatakan, saat ini masih menunggu lokasi pasti ibu kota baru untuk menyusun KLHS yang lengkap dan detail, termasuk kajian lengkap mengenai Teluk Balikpapan. Ia mengatakan, pemerintah masih mempertimbangkan ketersediaan sumber daya air untuk menopang ibu kota baru.
Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III Anang Muchlis mengatakan, terdapat beberapa potensi sumber daya air yang bisa menyokong kebutuhan air bersih di sekitar Sepaku dan Samboja. Saat ini, BWS Kalimantan III tengah menyiapkan lelang pembangunan Bendungan Sepaku Semoi di Kecamatan Sepaku dengan kapasitas 1.500 liter per detik.
“Pada mulanya, bendungan itu untuk memenuhi kebutuhan air di Balikpapan. Namun, itu bisa juga digunakan untuk penduduk ibu kota baru,” kata Anang.
Pembangunan Bandungan Sepaku Semoi memakan biaya Rp 770 miliar dan ditargetkan akhir tahun ini selesai lelang. Pembangunannya direncanakan mulai tahun 2020 dan selesai tiga tahun kemudian. Selain itu, BWS Kalimantan III juga menyiapkan pembangunan Bendungan Beruas dan Batu Lepek jika ibu kota di Kecamatan Sepaku.
Anang mengatakan, kerja sama lintas sektor sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air di lokasi ibu kota baru. Daerah aliran sungai perlu dijaga agar tak terdapat permukiman liar. Berkaca dari Samarinda, salah satu penyebab kualitas air sungai Karang Mumus menurun akibat pembangunan yang tidak terkendali.