Desa dinilai berpotensi menjadi penggerak ekonomi nasional dalam menahan tekanan dari resesi global pada tahun-tahun mendatang. Akan tetapi, potensi desa belum maksimal akibat masih kekurangan infrastruktur.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desa dinilai berpotensi menjadi penggerak ekonomi nasional dalam menahan tekanan dari resesi global pada tahun-tahun mendatang. Akan tetapi, potensi desa belum maksimal akibat masih kekurangan infrastruktur.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendesa PDTT) Eko Putro Sandjojo mengatakan, masalah terbesar dalam menggerakkan ekonomi desa adalah infrastruktur. Pemerintah sudah membangun infrastruktur melalui dana desa, tetapi itu masih belum cukup.
”Kebutuhan infrastruktur masih banyak lagi walaupun dana desa sudah membangun secara masif dalam empat tahun terakhir. Infrastruktur bisa membuat biaya di desa turun. Itu bisa menggerakkan disposal income yang diikuti peningkatan konsumsi,” kata Eko dalam peluncuran bukunya berjudul Rural Economics III: Menguatkan Pilar Ekonomi Desa, Selasa (15/10/2019), di Jakarta.
Sebelumnya, pemerintah telah membangun infrastruktur pendukung desa antara lain, 201.889 kilometer jalan desa, 4.265 unit embung, 198.244 penahan tanah. Hal itu untuk mendukung program Kemendes PDTT dalam memacu aktivitas ekonomi warga di lebih dari 74.000 desa.
Menurut Eko, infrastruktur perlu digenjot lagi karena peningkatan konsumsi di desa bisa menjadi penahan utama ekonomi nasional dari tekanan global. Kenaikan konsumsi warga desa dinilai mampu menggantikan lesunya kinerja ekspor akibat perang dagang AS dan China.
Kehadiran infrastruktur terbukti meningkatkan pendapatan warga desa. Adapun pada 2019 pendapatan per kapita masyarakat desa mencapai sekitar Rp 800.000 per bulan naik dari sebelumnya pada 2014 sekitar Rp 500.000 per bulan. Kenaikan itu signifikan jika dihitung dengan total warga desa yang mencapai sekitar 120 juta jiwa.
Dana desa sebaiknya inline dengan program pemerintah lainnya seperti reforma agraria. Di beberapa desa di daerah, Bank Indonesia juga punya desa binaan. Mungkin bisa dikolaborasikan dengan dana desa untuk menekan inflasi perdesaan
”Sekarang pertumbuhan pendapatan per kapita cukup bagus. Bisa naik 40 persen lebih. Angka kemiskinan dan pengangguran di desa juga terus turun. Tinggal genjot lagi infrastruktur maka desa bisa semakin berpotensi,” jelasnya.
Meski begitu, Eko menyatakan desa harus mulai meningkatkan nilai tambah produksi komoditas pada tahun depan. Sebab, ekspor komoditas yang menurun akan berdampak pada desa. Adapun 80 persen desa masih bergantung pada komoditas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengatakan, dana desa memang potensial. Akan tetapi, target sasaran dana desa masih belum maksimal.
”Contohnya, pembangunan irigasi lebih memberi manfaat bagi pemilik lahan sehingga tidak memutus persoalan sosial. Ketimpangan pendapatan di desa cenderung stagnan,” ucapnya.
Menurut Abdul, pemerintah perlu memperbanyak alokasi dana desa untuk menciptakan sumber pendapatan lewat pariwisata. Sebab, warga desa yang bekerja di luar sektor pertanian semakin tinggi. Hal itu diikuti dengan semakin menurunnya lahan pertanian.
”Dana desa sebaiknya inline dengan program pemerintah lainnya seperti reforma agraria. Di beberapa desa di daerah, Bank Indonesia juga punya desa binaan. Mungkin bisa dikolaborasikan dengan dana desa untuk menekan inflasi perdesaan,” ujarnya.
Dana desa terus bertambah setiap tahun. Pada 2019, dana desa sebesar Rp 70 triliun atau naik sekitar 338 persen dari 2015 yang sebesar Rp 20,6 triliun. Penyerapan dana tersebut mencapai 90 persen.
Realisasi penyaluran dana desa pada semester I-2019 sudah Rp 41,83 triliun. Dana itu difokuskan untuk program pembentukan produk unggulan kawasan perdesaan (prukades) dan badan usaha milik desa (BUMDes) serta membangun infrastruktur berupa embung dan sarana olahraga.