Sulut Bentuk Kawasan Cengkeh Berbasis Korporasi Petani
›
Sulut Bentuk Kawasan Cengkeh...
Iklan
Sulut Bentuk Kawasan Cengkeh Berbasis Korporasi Petani
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyusun rencana induk pembentukan kawasan perkebunan cengkeh berbasis korporasi petani di enam kabupaten.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyusun rencana induk pembentukan kawasan perkebunan cengkeh berbasis korporasi petani di enam kabupaten. Kebijakan ini untuk meningkatkan daya saing cengkeh asli Sulut berikut harganya. Pembentukan korporasi petani akan memberikan petani kemampuan mengatur harga.
Kawasan perkebunan cengkeh berbasis korporasi petani itu akan dibentuk di Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow, dan Bolaang Mongondow Timur. Total luas perkebunan cengkeh di enam kabupaten itu, yang semua adalah perkebunan rakyat, mencapai 62.053 hektar.
Produktivitas per hektar hanya 300 kilogram (kg), padahal potensinya bisa sampai 2 ton per hektar.
Hal ini terungkap dalam sosialisasi rencana induk (masterplan), Selasa (15/10/2019), di Manado. Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung mengatakan, rencana ini disusun untuk mengatasi permasalahan yang melilit produksi cengkeh, seperti produktivitas rendah dan harga fluktuatif.
“Masalah pertama yang kita hadapi adalah tanaman cengkeh kita tua dan mudah terserang penyakit. Produktivitas per hektar hanya 300 kilogram (kg), padahal potensinya bisa sampai 2 ton per hektar. Harus ada rancangan terintegrasi selama 5 tahun ke depan untuk membuat perubahan,” kata Refly.
Menurut data Dinas Perkebunan Sulut, selama paruh kedua 2018, dari total 77.482 hektar perkebunan cengkeh di Sulut, seluas 45.649 hektar dapat menghasilkan bunga. Namun, produktivitasnya hanya 83,67 kg per hektar, jauh lebih rendah dari yang dikatakan Refly.
Kualitas tanaman yang rendah menyebabkan harga merosot dari kisaran Rp 74.000-Rp 76.000 per kg pada September lalu menjadi Rp 70.000-Rp 71.000 per kg sekarang. Menurut Refly, ini menunjukkan kualitas cengkeh Sulut tidak memenuhi permintaan pasar.
“Industri rokok mau membeli dengan harga Rp 85.000 per kg asalkan kadar air cengkeh kering tidak boleh lebih dari 13 persen. Kandungan kotornya juga maksimal 3 persen,” kata Refly.
Untuk mengatasi masalah-masalah itu, pembentukan kawasan penghasil cengkeh akan difokuskan pada tiga aktivitas khusus, yaitu rehabilitasi, peremajaan, serta intensifikasi tanaman. Benih-benih unggul cengkeh akan dibagikan kepada petani melalui program BUN500 oleh Kementerian Pertanian (Kementan), yaitu pembagian 500 juta benih unggul tanaman perkebunan.
Refly optimistis, pembentukan kawasan dapat mengembangkan pula cengkeh khas Sulut yang pantas memperoleh indikasi geografis. “Sekarang persaingan ketat, misalnya dengan Sulawesi Selatan yang lahan cengkehnya sudah sampai 200.000 hektar,” katanya.
Kepala Subdirektorat Tanaman Lada, Pala, dan Cengkeh Kementan Galih Surti Solihin mengatakan, pembentukan masterplan merupakan amanat Peraturan Mentan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani. Sulut adalah satu dari delapan provinsi yang memiliki potensi cengkeh.
Masterplan yang berlaku selama 2019-2024 itu disusun oleh pemerintah provinsi berdasarkan analisis teknis oleh tim ahli. “Dokumen ini menjabarkan arah, kebijakan strategis, dan tujuan kegiatan pengembangan kawasan komoditas unggulan di tingkat provinsi,” kata Galih.
Pemerintah kabupaten akan menerjemahkannya menjadi rencana aksi yang berisi detail pelaksanaan program di kabupaten masing-masing. Pemkab juga diminta menyusun road map (peta jalan) yang mencakup tahap-tahap dan cara pencapaian target dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Korporasi petani
Galih mengatakan, aspek penting dari pembentukan kawasan cengkeh ini adalah korporasi petani. Artinya, lembaga berbadan hukum seperti koperasi akan dibentuk bagi petani. Modal dan berbagai faktor produksi pengolahan hasil tani akan dimiliki oleh petani.
“Selama ini, petani berdiri sendiri-sendiri sehingga tidak memiliki posisi tawar terhadap pasar. Jika petani dikorporasikan sesuai kawasan komoditas, mereka akan lebih berdaya dalam mengembangkan kualitas komoditas serta memengaruhi harga di pasar,” katanya.
Galih menambahkan, keikutsertaan petani dalam lembaga berbadan hukum dapat memudahkan mereka dalam memperoleh pinjaman dari bank, sertifikat tanah, hingga menjalin kemitraan dengan industri. Pembinaan dan penyaluran bantuan dari pemerintah akan lebih efisien dan terarah.
Saat ini, sudah terbentuk 10.707 kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan kelembagaan ekonomi petani di lima kabupaten kawasan cengkeh kecuali Bolaang Mongondow. Namun, menurut pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Joko Purbopuspito, petani cengkeh masih tak berdaya karena terjebak sistem ijon oleh pengepul maupun pedagang.
Jika badan hukum sudah dibentuk, petani akan lebih mudah bekerja sama dengan pemerintah, termasuk untuk memproses hasil panen. “Selama ini, cengkeh hanya dibeli industri rokok di Jawa. Padahal, bisa juga dijadikan produk lain, seperti minyak atsiri,” kata Joko.