Surat Kepada Redaksi
DPR Tanpa Rakyat
Meski saat ini sudah surut, gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat selama ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ini merupakan catatan buruk bagi kinerja anggota Dewan Yang Terhormat periode 2014-2019, apalagi pemicu demo adalah penolakan produk mereka berupa undang-undang.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 25-27 September 2019 menyebutkan, 53,5 persen responden tidak percaya DPR mendatang akan mampu mendengar aspirasi rakyat. Selebihnya, 35,3 persen responden masih percaya DPR mau mengutamakan kepentingan rakyat. Sisanya, 11,2 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab.
Tantangan dan tugas berat anggota DPR masa bakti 2019-2024 sudah di depan mata, untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka beda dengan pendahulunya, walaupun sebagian besar masih muka-muka lama.
Mendengar, menyerap, dan menyimpulkan suara rakyat tidak sulit apabila hati nurani dan tekad menyatu. Peran partai yang begitu dominan dengan sejumlah agenda politiknya menempatkan sosok anggota DPR pada posisi dilematis. Banyak hal strategis dipengaruhi oleh keputusan partai dengan berbagai argumennya.
Dengan demikian, sejatinya pemilu langsung sudah tidak berhasil dan berdaya guna ketika sosok-sosok terpilih lebih patuh kepada partai pengusungnya ketimbang konstituennya. Ini potensi ancaman besar bagi demokrasi Indonesia, jika DPR sudah meninggalkan rakyat, dengan segudang harapan dan aspirasi rakyat yang tidak pernah mereka wujudkan.
Fenomena inilah yang saat ini terjadi sehingga memunculkan unjuk rasa berjilid-jilid.
Budi Sartono Soetiardjo
Graha Bukit Raya, Cilame, Bandung Barat
Cegah DPR Abusif
Menurut The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi di Indonesia turun akibat tindakan DPR yang pro- pelemahan KPK, mengabaikan aspirasi rakyat yang antikorupsi yang mengidolakan KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Di lain pihak, pemerintah yang membiarkan polisi aktif rangkap jabatan, sehingga membentuk dwifungsi Polri, telah melanggar amanat reformasi. Ini juga berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
Oleh karena itu, dua artikel di halaman Opini Kompas berjudul ”Akademisi Melawan Korupsi” oleh Sigit Riyanto dan ”Mencegah Politisasi Polri” oleh Usman Hamid (Kompas, 27/9/2019) perlu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo agar menjadi perhatian dalam memimpin bangsa ini ke depan.
Mengapa?
Akademisi adalah insan bangsa yang bersedia membela kebenaran demi kepentingan rakyat, jauh dari kepentingan pribadi. Mereka pakar yang mampu bersuara jujur, jernih, dan bijak di ruang publik untuk mengawal peradaban bangsa yang mereka cintai dan mereka abdi. Dalam masalah korupsi, mereka akan maju tak gentar membasminya karena korupsi menghancurkan peradaban bangsa.
Kontradiktif dengan itu DPR telah memfitnah para akademisi bidang hukum dengan tuduhan palsu bahwa para pakar hukum kita menolak revisi UU KPK karena tak pernah membaca naskah revisinya. Jelas anggota DPR asal bunyi karena soal baca-tulis adalah keseharian para akademisi yang juga pakar.
Beda dengan anggota DPR yang dalam poster demo mahasiswa antirevisi UU KPK disebut kerjanya tidur dalam rapat. Sehari setelah pelantikan anggota DPR 2019-2024 beredar gambar anggota DPR tidur dalam sidang.
Artinya, DPR banyak diisi anggota yang ”abusif”: memanfaatkan politik untuk kepentingan pribadi atau golongan, serta abai aspirasi dan kepentingan rakyat.
Maka, anggota DPR baru wajib membaca The Great Reform Bill, yang menceritakan saat Inggris dilanda penyakit abusif para anggota DPR-nya pada tahun 1832, yang mirip kondisi DPR 2014-2019.
Di Indonesia, sikap abusif anggota Dewan telah dijawab dengan demo mahasiswa dan telah mengakibatkan jatuhnya para korban. Oleh karena itu, jangan lagi terjadi DPR yang abusif ke depan.
Selanjutnya, Usman Hamid yang aktivis HAM mengingatkan agar tidak terjadi politisasi Polri dengan menempatkan anggota polisi aktif di jabatan strategis. Harus diingat, misi Reformasi 1998 adalah mencegah dwifungsi aparat.
Kedua artikel itu berguna bagi masa depan Indonesia.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi, Pasir Mulya,
Bogor