UU KPK Hasil Revisi Ancam Pencegahan Korupsi di Sektor Penegakan Hukum
›
UU KPK Hasil Revisi Ancam...
Iklan
UU KPK Hasil Revisi Ancam Pencegahan Korupsi di Sektor Penegakan Hukum
Implementasi sistem peradilan pidana terpadu berbasis teknologi informasi belum maksimal. Apalagi jika mengacu UU KPK terbaru, KPK berpotensi tak mampu mendorong lembaga penegak hukum lain untuk menerapkan sistem itu.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan implementasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi terancam dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK hasil revisi. Ini khususnya dalam pencegahan korupsi di sektor penegakan hukum. Pasalnya, UU KPK terbaru berpotensi membuat KPK menjadi subordinasi dari lembaga penegak hukum lainnya.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Korupsi (PK) mengamanatkan pembentukan Tim Nasional (Timnas) untuk mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi strategi nasional pencegahan korupsi secara terukur.
Timnas PK terdiri atas sejumlah menteri yang menyelenggarakan perencanaan pembangunan nasional, dalam negeri, aparatur negara, lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan dukungan pada presiden dan wakil presiden, serta unsur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam perpres itu, ada tiga sektor yang disasar, yakni keuangan negara, perizinan dan tata niaga, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun, di Jakarta, Selasa (15/10/2019), menyatakan, salah satu turunan dari sektor penegakan hukum dan reformasi birokrasi adalah membuat sistem peradilan pidana terpadu berbasis teknologi informasi (SPPT TI). Sistem ini antara lain memandatkan kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk melaporkan perkembangan kasus yang ditangani.
https://youtu.be/v2YiXEES_dc
Menurut Tama, SPPT TI ini akan dapat dilihat manfaatnya di tahun 2020. Saat ini, proses pemasukan data dari masing-masing lembaga masih berlangsung.
Dari pantauan ICW di sepuluh wilayah (Provinsi Aceh, Riau, Jawa Timur, DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Banda Aceh, Kota Pekanbaru, Kota Malang, Kabupaten Jember, dan Kota Makassar), implementasi SPPT TI belum maksimal.
Masalah mendasar yang ditemukan, antara lembaga penegak hukum lain dan KPK belum terhubung dengan baik dalam hal penanganan perkara. Ini misalnya ditandai dengan belum efektifnya pengiriman data surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke KPK.
Dia menyatakan, SPPT TI ini diperlukan untuk mengetahui perkembangan sebuah perkara secara transparan dan akuntabel. Ini juga bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan transaksi perkara yang sering mengemuka di institusi penegak hukum.
“Sekarang kita tak pernah tahu, setelah polisi seorang tersangka, bagaimana nasibnya, berakhir di pengadilan atau SP3. Yang kita tahu, hanya rilis dari penegak hukum soal pengungkapan kasus di akhir tahun. Tetapi publik tidak bisa mengakses prosesnya,” katanya.
Sekarang kita tak pernah tahu, setelah polisi seorang tersangka, bagaimana nasibnya, berakhir di pengadilan atau SP3. Yang kita tahu, hanya rilis dari penegak hukum soal pengungkapan kasus di akhir tahun. Tetapi publik tidak bisa mengakses prosesnya.
KPK sebagai leading sector pelaksanaan Stranas PK, seharusnya mampu mendorong penegak hukum lain untuk mematuhi sistem tersebut. Ditambah lagi, semua dokumen terkait penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani penegak hukum lain harus dilaporkan ke KPK.
Akan tetapi, akan sulit bagi KPK untuk melakukan hal ini jika mengacu pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang terbaru. Sebab dalam undang-undang itu, kewenangan sebagai penyidik dan penuntut umum tidak lagi melekat pada pimpinan KPK.
Dalam UU KPK yang baru, penyidik KPK berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan unsur pegawai negeri sipil. Sementara untuk proses penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan penegak hukum lain.
Menurut Tama, ini akan membuat Komisi Antirasuah menjadi subordinasi dari penegak hukum lain. Akan sulit bagi KPK melakukan supervisi atas penegak hukum lain dengan kewenangan yang dipangkas itu.
“Bagaimana mungkin seorang pimpinan melakukan supervisi penegak hukum lain ketika pimpinan itu sendiri bukan murni penegak hukum?” katanya.
Dihubungi terpisah, Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil menyebut, SPPTI sudah dilakukan penegak hukum lain, terutama yang menyangkut tindak pidana terorisme. Dia menilai, pencegahan korupsi akan stagnan jika terus mengedepankan pendekatan kewenangan.
"Menurut saya, seharusnya Presiden yang menjadi komandan (pencegahan korupsi)," katanya.
Perppu dibutuhkan
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menambahkan, pada 17 Oktober mendatang, revisi UU KPK akan menjadi undang-undang. Kekuatan koordinasi dan supervisi KPK menjadi berkurang. Ini membuat peran KPK sebagai leading sector Stranas PK akan kurang maksimal, terutama di sektor penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
“Oleh sebab itu, kehadiran peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) KPK sangat signifikan dan diperlukan. Publik akan mendukung Presiden,” katanya.
Catatan Kompas, banyak pihak menilai revisi UU KPK berpotensi melumpuhkan komisi antirasuah. Sejumlah pasal yang berpotensi melemahkan antara lain kehadiran Dewan Pengawas KPK, kewenangan menghentikan penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK yang berganti menjadi aparatur sipil negara.
Menjelang akhir September, terjadi gelombang unjuk rasa mahasiswa dan elemen masyarakat di Jakarta, juga di banyak daerah. Salah satu tuntutan mereka adalah membatalkan revisi UU KPK.
Presiden Joko Widodo kemudian menyatakan akan mempertimbangkan untuk mengeluarkan Perppu KPK pada 27 September lalu.
Terkait konten perppu, muncul beberapa usulan dari kalangan pakar hukum tata negara. Ada usulan yang lugas, yaitu perppu membatalkan revisi UU KPK. Namun, ada pula alternatif lain, seperti perppu merevisi sebagian konten UU KPK yang baru.