BALIKPAPAN, KOMPAS —Kondisi Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, akan berubah jika konsep pembangunan penopang ibu kota negara baru disetujui. Pemerintah diminta mempertimbangkan bagian utara teluk tetap sebagai kawasan konservasi yang mempertahankan daya dukung lingkungan dan sumber tangkapan nelayan tradisional.
Dari sisi transportasi, jika titik nol ibu kota baru ada di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Pelabuhan Mentawir di hulu Teluk Balikpapan akan dikembangkan. Selain itu, ada usulan pembangunan landasan pesawat terbang air di teluk itu.
Akses dari Balikpapan menuju Sepaku akan lebih pendek, sekitar 40 kilometer, jika melalui Jembatan Pulau Balang yang sedang dibangun. Menggunakan jalan darat provinsi, jaraknya sekitar 80 km.
Ketua Forum Peduli Teluk Balikpapan Husen mengatakan, pembangunan Teluk Balikpapan sebaiknya cukup pada Jembatan Pulau Balang. Seluruh kawasan teluk ke arah utara dari Pulau Balang diharapkan dijadikan kawasan konservasi, sebagai kawasan ekosistem esensial. ”Termasuk di dalamnya wilayah perairan, hutan mangrove, dan hutan daerah penyangga,” katanya di Balikpapan, Selasa (15/10/2019).
Total luas kawasan Teluk Balikpapan lebih dari 180.000 hektar dengan kawasan hutan mangrove 19.400 ha. Kawasan mangrove yang masih bagus tersisa 17.000 ha. Lebih dari 2.000 ha menurun kualitasnya.
Pembangunan dan aktivitas industri di kawasan Teluk Balikpapan relatif ramai. Kawasan itu juga tempat hidup satwa dilindungi, seperti pesut mahakam yang terancam punah dan bekantan yang tersisa sekitar 1.000 ekor.
Sisi selatan Teluk Balikpapan juga padat lalu lalang kapal ponton pengangkut batubara, lalu lintas kapal penumpang, dan kapal barang. Data Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2019, lebih dari 10.000 nelayan mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Mereka datang dari Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Balikpapan.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Koordinasi Jaringan LSM dan Analisis Dampak Lingkungan Hanni Adiati mengatakan, pemetaan masalah makro di sekitar Kecamatan Sepaku sudah dilakukan awal Oktober bersama tokoh masyarakat dan LSM. Hal itu akan dijadikan rujukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terkait masalah makro.
”Kami menampung masalah-masalah makro lebih dulu terkait kesiapan masyarakat dengan asumsi ibu kota di Kecamatan Sepaku,” katanya. Saat ini, titik nol ibu kota baru belum ditentukan, apakah di Sepaku atau di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.
Tunggu kepastian
Penyusunan lengkap dan detail KLHS menunggu lokasi pasti ibu kota baru, termasuk kajian lengkap Teluk Balikpapan. Pemerintah juga masih mempertimbangkan ketersediaan sumber daya air.
Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III Anang Muchlis mengatakan, ada beberapa potensi sumber daya air yang bisa menyokong kebutuhan air bersih di sekitar Sepaku dan Samboja. BWS Kalimantan III masih menyiapkan lelang pembangunan Bendungan Sepaku Semoi di Sepaku dengan kapasitas 1.500 liter per detik.
”Mulanya, bendungan itu untuk memenuhi kebutuhan air di Balikpapan. Namun, bisa juga digunakan penduduk ibu kota baru,” ujarnya.
Sebelum terlambat, kata Husen, aktivitas ekonomi di sisi utara Teluk Balikpapan sebaiknya hanya untuk ekowisata, perikanan tradisional, dan bisnis perdagangan karbon. Hal itu demi keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial. (CIP)